Artikel ini menganalisis konflik antara ojek pangkalan (opang) dan ojek online (ojol) di Bandung melalui pendekatan sosio-legal dan etika hukum Islam, khususnya kaidah hadis la dharara wa la dhirar (“tidak boleh membahayakan diri dan orang lain”). Konflik ini mencerminkan ketimpangan akses terhadap ruang kota serta ketidakhadiran negara dalam menjamin keadilan mobilitas. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui studi literatur, observasi, dan penguatan dengan data empiris dari studi sebelumnya. Temuan menunjukkan bahwa konflik tidak hanya berbasis ekonomi, tetapi juga melibatkan perebutan legitimasi ruang dan kuasa sosial informal. Di sisi lain, keberadaan ojol belum diakui sepenuhnya dalam kerangka hukum positif sebagai moda transportasi publik. Dalam konteks ini, kaidah hadis la dharara wa la dhirar Ibnu Majah (2341) dapat menjadi fondasi etik untuk menilai kebijakan dan merumuskan tata kelola transportasi yang berkeadilan. Artikel ini merekomendasikan integrasi prinsip maqāṣid al-sharīʿah dalam perumusan regulasi transportasi berbasis aplikasi sebagai upaya menuju transformasi kebijakan yang adil dan inklusif.
Copyrights © 2025