Pemerintah di seluruh dunia menghadapi tekanan yang semakin besar untuk menurunkan emisi karbon dan menyelaraskan diri dengan komitmen iklim global. Dalam konteks Indonesia, aparatur sipil negara (ASN) memegang peran strategis dalam mengimplementasikan kebijakan yang mendukung pembangunan rendah karbon di berbagai lembaga publik. Meskipun sustainable leadership (SL) diakui penting dalam mendorong perilaku pro-lingkungan, mekanisme spesifik yang menghubungkan kepemimpinan dengan low-carbon behavior (LCB) karyawan masih kurang mendapat perhatian empiris. Studi ini bertujuan mengisi kesenjangan tersebut dengan menguji peran mediasi green intellectual capital (GIC) dalam hubungan antara SL dan LCB. Penelitian ini menggunakan desain survei kuantitatif terhadap 348 ASN dari kementerian, pemerintah daerah, dan lembaga publik di Indonesia. Data dianalisis menggunakan partial least squares structural equation modeling (PLS-SEM) melalui SmartPLS 4, disertai serangkaian uji ketahanan untuk mengatasi common method bias, bias non-respons, serta memeriksa potensi endogenitas guna memastikan validitas temuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa SL tidak berpengaruh langsung terhadap LCB, tetapi hubungannya sepenuhnya dimediasi oleh GIC. Temuan ini mengindikasikan bahwa kepemimpinan berkelanjutan mendorong perilaku pengurangan karbon terutama melalui pembentukan pengetahuan, kemampuan, nilai, dan sistem organisasi yang berorientasi pada keberlanjutan. Dengan demikian, studi ini memperluas perspektif berbasis sumber daya (resource-based view) dengan memberikan bukti bahwa SL dapat memperkuat aset intelektual hijau organisasi yang pada akhirnya mendorong perilaku karyawan menuju praktik rendah karbon. Secara praktis, penelitian ini menegaskan pentingnya investasi berkelanjutan dalam pengembangan kepemimpinan hijau, program pelatihan, serta manajemen pengetahuan lingkungan sebagai strategi kebijakan untuk mempercepat pencapaian target nol bersih Indonesia.
Copyrights © 2026