Artikel ini mendiskusikan suatu pendapat yang cukup kontroversial dalam konteks keulamaan di Nusantara pada akhir abad 20. Pendapat itu dikemukakaan oleh Abdul Hamid Hakim dari Padang Panjang Sumatera Barat tentang penafsiran perluasan makna ahli kitab dalam al-Qur’an yang berdampak pada signifikansi hukum. Menurut Hakim, konsep ahli kitab dapat ditafsirkan secara lebih luas dari hanya sekedar makna klasik yang merujuk pada Yahudi dan Nasrani an sich. Namun bisa dicakupkan pada agama selain dua di atas dalam koridor syibh/serupa ahli kitab seperti Majuzi, Shabi’in, Budha, Hindu dan sebagainya. Dari segi corak pendapat mengenai batasan makna ahli kitab, Hakim tergolong pada golongan yang apresiatif dan inklusif dalam memaknainya. Dalam konteks inilah lalu cakupan luas itu berdampak pada aspek hukum, khususnya mengenai perkawinan muslim dengan wanita ahli kitab dari golongan agama yang diperluas tersebut. Hakim berkesimpulan bahwa sepanjang perkawinan muslim dengan wanita ahli kitab dan bukan sebaliknya, berdasarkan ayat ke 5 dari surat al-Maidah yang men-takhsish keumuman larangan menikahi wanita musyrikat dalam surat al-Baqarah ayat 221, maka bisa dibenarkan dengan alasan tertentu yang ketat. Alasan perkawinan menjadi dibenarkan jika suami muslim bisa menarik sang istri kepada agamanya dan mendidik istrinya tersebut sebagaimana pengalaman yang dilakukan beberapa sahabat Nabi. Namun jika sebaliknya, sang suami terancam dengan keimanannya maka perkawinan itu demi hifz ad-din dan menampik mafsadat dalam teori kaidah fiqih dan ushul fiqih, maka perkawinan itu pun demi hukum dilarang/diharamkan.
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2017