MUDRA Jurnal Seni Budaya
AIMS The journal presents as a medium to share knowledge and understanding art, culture, and design in the area of regional, national, and international levels. In accordance with the meaning of the word “Mudra”, which is a spiritual gesture and energy indicator, it is hoped that the journal will be able to vibrate the breath of art knowledge to its audience, both academics, and professionals. The journal accommodates articles from research, creation, and study of art, culture, and design without limiting authors from a variety of disciplinary/interdisciplinary approaches such as art criticism, art anthropology, history, aesthetics, sociology, art education, and other contextual approaches. SCOPE MUDRA, as the Journal of art and culture, is dedicated as a scientific dialectic vehicle that accommodates quality original articles covering the development of knowledge about art, ideas, concepts, phenomena originating from the results of scientific research, creation, presentation of fine arts, performing arts and new media from researchers, artists, academics, and students covering areas of study: Performing Arts: dance, puppetry, ethnomusicology, music, theater,performing arts education, performing arts management Fine Arts: fine arts, sculpture, craft art, fine arts education,fine arts management, including new media arts Design: interior design, graphic communication design, fashion design,product design, accessories and/or jewelry design Recording Media : photography, film, television, documentary, video art, animation,game Culture : linguistic, architecture, verbal tradition, as well as other communal tradition The object of research is explored in a variety of topics that are unique, relevant, and contextual with environmental and sustainability aspects, local wisdom, humanity and safety factors. In addition to that, the topic of research needs to be original, creative, innovative, excellence, and competitive.
Articles
16 Documents
Search results for
, issue
"Vol 33 No 2 (2018): Mei"
:
16 Documents
clear
Implementasi Metode Eksperimen untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Menggambar Realis pada Siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Ponorogo
Belinda Dewi Regina
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 33 No 2 (2018): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31091/mudra.v33i2.256
Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Ponorogo merupakan salah satu sekolah di Ponorogo yang mana mengajarkan gambar realis dalam mata pelajaran Seni Budaya. Berdasarkan wawancara dengan guru dan beberapa siswa bahwa prestasi belajar menggambar realis cenderung lebih rendah dibandingkan materi pelajaran Seni Budaya yang lain seperti menggambar kartun. Hal ini ditunjukkan dengan perilaku anak yang selalu membuat kesal para guru saat pembelajaran berlangsung. Sebagian besar siswa tidak tertarik terhadap pembelajaran ini disebabkan rasa jenuh dan kurangnya kemampuan mereka dalam menggambar. Melihat fenomena seperti yang dipaparkan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian “Implementasi Metode Eksperimen untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Menggambar Realis pada Siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Ponorogoâ€. Tujuan penelitian ini (1) Mendiskripsikan proses Implementasi Metode Eksperimen untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Menggambar Realis pada Siswa SMPN 1Ponorogo. (2) Mendiskripsikan seberapa besar perbedaan penggunaan metode Eksperimen dengan metode pembelajaran sebelumnya untuk meningkatkan prestasi belajar menggambar realis pada siswa SMPN 1 Ponorogo. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan, wawancara, angket dan studi dokumentasi. Dengan jumlah siswa kelas VIII B 25 siswa yang terdiri dari 17 putri dan 8 putra, metode eksperimen menggunakan siklus I dan siklus II, didapatkan nilai rata-rata siklus I : 81,8, dan siklus II : 85,6. Dengan menggunakan metode eksperimen membuktikan adanya peningkatan nilai sebanyak 3,8. Dalam hal ini peneliti menemukan bahwa dengan menggunakan metode eksperimen untuk pembelajaran menggambar realis dapat meningkatkan prestasi belajar dibandingkan metode yang digunakan sebelumnya yaitu metode diskusi.State Junior High School 1 Ponorogo is one of the schools in Ponorogo that teaches realist images in Arts and Culture subjects. Based on interviews with teachers and some students that learning achievement of realist drawing tends to be lower than other subjects of Arts and Culture such as drawing cartoons. This is indicated by the behavior of children who always upset the teachers while learning takes place. Most students are not interested in this learning due to their saturation and lack of ability in drawing. Seeing the phenomenon as described above, researchers are interested to conduct research "Implementation of Experimental Methods to Increase Achievement of Realist Drawing Learning at Junior High School Students 1 Ponorogo". The purpose of this research (1) to describe the process of Implementation of Experimental Method to Increase Achievement of Realistic Drawing Learning on Junior High School Students 1 Ponorogo. (2) to describe how much difference of experiment method use with previous learning method to improve learning achievement of realist drawing on students of SMPN 1 Ponorogo. This research is a Classroom Action Research with qualitative descriptive approach. Data collection techniques are conducted through observation, interviews, questionnaires and documentation studies. With the number of students of class VIII B 25 students consisting of 17 daughters and 8 sons, the experimental method using cycle I and cycle II, obtained the average value of cycle I : 81.8, and cycle II : 85.6. Using the experimental method proves an increase in value of 3.8. In this case the researchers found that by using the experimental method for realist drawing learning can improve learning achievement than the method used previously is the method of free copyrights.
Pemuliaan Tanaman Padi melalui Pertunjukan Wayang Kulit dalam Upacara Bersih Desa di Geneng, Trucuk, Klaten, Jawa Tengah
Sutiyono Sutiyono;
. Rumiwiharsih;
Bambang Suharjana
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 33 No 2 (2018): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31091/mudra.v33i2.267
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk pemuliaan tanaman padi melalui pertunjukan wayang kulit lakon Dewi Sri dalam upacara Bersih Desa. Pendekatan penelitian yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di Geneng, Trucuk, Klaten, Jawa Tengah dari bulan Mei  hingga September 2017. Sebagai subjek penelitian adalah masyarakat petani Desa Geneng, sesepuh Desa Geneng, dalang wayang kulit, pengrawit, jurukunci makam, penjual makanan, dan peziarah. Cara pengumpulan data ditempuh dengan: observasi, dokumentasi, studi pustaka, dan wawancara. Data penelitian dianalisis dengan tahapan: koleksi data, reduksi data, pemeriksaan data, dan penarikan kesimpulan. Untuk mengetahui keabsahan data dilakukan dengan triangulasi. Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa: (1) Tata cara pemuliaan tanaman padi adalah dengan mengadakan upacara Bersih Desa meliputi pembersihan manusia dan lingkungan secara  fisik dan batin di Desa geneng yang disertai doa berssama, (2) Tata cara pemuliaan tanaman padi adalah dengan mempresentasiknan Lakon Dewi Sri dalam pertunjukan wayang kulit, yang mengisahkan bahwa kehidupan manusia sangat tergantung pada kehidupan Dewi Sri yang memberi kesejahteraan umat manusia.This study aims to describe the form of rice plant breeding through shadow puppet performing art in Bersih Desa ritual. The research approach used is qualitative approach. The research was conducted in Geneng, Trucuk, Klaten, Central Java from May to September 2017. As the research subjects were farmers of Geneng Village, Geneng village elders, puppeteer puppeteers, pengrawit, jurukunci graves, food vendors, and pilgrims. Data collection is done by: observation, documentation, literature study, and interview. Research data is analyzed by stages: data collection, data reduction, data examination, and conclusion. To know the validity of data is done with triangulation. The expected result of this research is the form of rice plant breeding through wayang kulit kulit play Dewi Sri in Clean Village ceremony is a cultural activity consisting of: (1) Procedure of rice plant breeding is to conduct a physical and mental cleansing ceremony in Geneng Village accompanied by a prayer together, (2) The procedure of rice plant breeding is by presenting Dewi Sri in the wayang kulit show, which tells us that human life is very dependent on the life of Dewi Sri giving the welfare of mankind.
Tradisi Ziarah Makam Bathara Katong (Tinjauan Deskripsi Akulturasi Budaya)
Amirul Nur Wahid;
. Sumarlam;
Slamet Subiyantoro
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 33 No 2 (2018): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31091/mudra.v33i2.289
Masyarakat Jawa, tak terkecuali masyarakat Ponorogo seringkali memiliki kebiasaan-kebiasaan tertentu yang dilakukakan. Kebiasaan-kebiasaan ini diwariskan secara turun temurun hingga menjadi sebuah tradisi. Tradisi ziarah makam Bathara Katong merupakan salah satunya. Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Ponorogo dan sekitarnya sejak zaman dahulu. Bathara Katong merupakan tokoh sentral dalam penyebaran agama Islam. Pada saat itu terjadi transisi antara agama lama dan baru dari segala aspek. Transisi inilah yang menjadikan akulturasi budaya diantara kedua hal tersebut. Akulturasi budaya ini juga merambah bidang kesenian di area sekitar makam, misalnya munculnya kesenian Jemblung yang merupakan akulturasi antara dua kebudayaan menjadi satu. Selain kesenian, akulturasi juga dapat ditemukan di arsitektur bangunan-bangunan, proses ziarah, serta benda-benda yang dibawa oleh peziarah makam Bathara Katong. Nama Bathara Katong sendiri sebenarnya merupakan sebuah akulturasi kebudayaan. Hanya saja dikarenakan mengikuti perkembangan zaman, tradisi ini juga mengalami perubahan-perubahan dalam akulturasinya. Artikel ini akan mencoba mengupas hal tersebut.Javanese are no exception Ponorogo people have certain habits. This habit is passed down from generation to generation and then becomes a tradition. The pilgrimage tradition of Bathara Katong's tomb is one of them. This tradition is done by the people of Ponorogo and its surroundings since antiquity. Bathara Katong is a central figure in the spread of Islam in Ponorogo. There was a transition between old and new cultures from various aspects. This transition is considered to be the cause of cultural acculturation. Acculturation of this culture also penetrated the field of art in the area around the tomb, for example the emergence of art Jemblung which is the acculturation between two cultures into one. In addition to art, acculturation can also be found in the architecture of the building, the process of pilgrimage, and the objects brought by the pilgrims of the tomb of Bathara Katong. The name Bathara Katong itself is actually an example of cultural acculturation. Just because it follows the times, this tradition has also changed. This article will try to explore it.
Perancangan Souvenir Beridentitas Tradisi Telingaan Aruu Khas Suku Dayak
Wyna Herdiana
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 33 No 2 (2018): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31091/mudra.v33i2.309
Suku Dayak merupakan salah satu suku yang terdapat di Kalimantan yang memiliki kebudayaan â€Telingaan Aruu†yang sangat khas. Tradisi tersebut merupakan tradisi yang diteruskan secara turun temurun kepada para wanita suku Dayak. Namun, tradisi ini sudah mulai ditinggalkan karena anggapan bahwa tradisi tersebut sudah ketinggalan jaman. Oleh karena itu perlu ada pengenalan mengenai kebudayaan tersebut kepada masyarakat umum, agar generasi muda tetap mengetahui adanya tradisi tersebut di Indonesia. Hal inilah yang membuka peluang untuk dibuatnya perhiasan sebagai salah satu bentuk souvenir khas suku Dayak. Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah 1). Pembuatan alternatif desain perhiasan yang mengangkat kebudayaan â€Telingaan Aruu†yang akan dijadikan sebagai souvenir khas Suku Dayak, tradisi tersebut merupakan tradisi khas suku Dayak yang sudah mulai punah; 2) Perwujudan prototype dari alternatif desain. Konsep desain yang digunakan adalah Massive Jewelry with Telingaan Aruu Tradition Typical of Dayak Tribe yaitu kata kunci Massive diambil karena perhiasan dibuat dalam ukuran cukup besar yang eyecatching, perhiasan besar mengandung makna bahwa kesanggupan dalam menahan derita suku Dayak cukup besar. Metode yang digunakan adalah dengan analisis aspek teknis dan aspek estetis dengan stilasi dan deformasi bentuk. Hasil yang diperoleh adalah pembuatan souvenir berupa perhiasan dengan bahan dasar perak dan terdiri dari beberapa jenis perhiasan, yaitu gelang, kalung, anting-anting, dan cincin.Dayak tribe is one of many tribes in Kalimantan with a distinctive tradition of “Telingaan Aruuâ€. This tradition is passed through many generations of Dayak women. However, this tradition is now facing the threat of extinction. Therefore, there was a strong need to brought back the tradition to the wider public as a keepsake for many generations about to come. By this ground, there was an opportunity to design a Dayak tribe inspired souvenir with a form of jewelry. Accordingly, this research has two aims: 1) to create some design alternatives with “Telingaan Aru†as the main inspiration for Dayak tribe souvenir, in order to save the tradition from extinction; 2) to create the prototype from the design alternatives. The design concept is “Massive Jewelry with Telingaan Aruu Tradition Typical of Dayak Tribeâ€. “Massive†itself was chosen to be the keyword as the jewelry will be designed with eyecatching massive size, in which this massive size also has the meaning of willingness to withstand all the suffer in Dayak tribe life. The research will utilize the technical and esthetical aspects analysis method with stylation and deformation. Furthermore, this research resulted in a Dayak tribe souvenir in a form of jewelry such as bracelet, necklace, earrings, and ring; with silver as the main material.
Nilai Pendidikan Karakter Dalam Ragam Gerak Tari Srimpi Pandelori
Gita Purwaning Tyas
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 33 No 2 (2018): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31091/mudra.v33i2.329
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui makna ragam gerak nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam ragam gerak tari Srimpi Pandelori gaya Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan naratif. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan naratif dengan latar di KHP Kridha Mardhawa Kraton Yogyakarta. Informan penelitian yaitu beberapa pengajar tari Srimpi Pandelori di Kawedanan Hageng Punakawan Kridha Mardhawa, objek penelitiannya adalah ragam gerak tari Srimpi Pandelori. Sumber data penelitian diperoleh dari sumber data primer hasil observasi ragam gerak melalui latihan tari Srimpi Pandelori di Bangsal Kasatriyan dan pentas tari Srimpi Pandelori di Bangsal Srimanganti, sumber data sekunder yang diperoleh melalui pengumpulan data dokumentasi yang berupa foto dan video tari Srimpi Pandelori, serta buku tentang tari Srimpi. Teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis terdiri dari reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa tari srimpi pandelori mengandung makna dan nilai pendidikan karakter yang tercermin dalam beberapa ragam gerak diantaranya yaitu ragam gerak sembahan yang terdapat pada awal dan akhir tarian, tasikan kengser, ulap-ulap, sudukan, ecen, aben sikut, dan nglayang. Makna ragam gerak tersebut terdiri dari makna: 1) tentang kesyukuran terhadap Tuhan yang Maha Esa, 2) tentang menghargai diri sendiri, 3) kehati-hatian diri atau sikap waspada, dan 4) tentang kebaikan dan keburukan. Tari srimpi pandelori juga mengandung nilai pendidikan , nilai pendidikan yang terkandung dalam tari srimpi pandelori adalah 1) nilai pendidikan religi, 2) nilai pendidikan sopan santun, 3) nilai pendidikan tanggung jawab, 4) nilai pendidikan etika, dan 5) nilai pendidikan kepribadian.This research was aimed to reveal the meaning of movement style and the educational value contained in Srimpi Pandelori dance. This research was qualitative research by using the narrative approach. This research was a qualitative research by using narrative approach. The setting of this research was in Kawedanan Hageng Punakawwan Kridha Mardhawa. The informans of this research were the teachers in Kawedanan Hageng Punakaewan Kridha Mardhawa. Meanwhile, the object of this research was Srimpi Pandelori dance. The primary data for this research was obtained from the observation of various gestures in Srimpi Pandelori dance practiced in Kasatriyan Bangsal and Srimpi Pandelori dance performance in Bangsal Srimanganti. The secondary data were obtained from documents in the form of photo and video, as well as a handbook about Srimpi dance. The data were collected through observation, interview, and documentation. The analysis techniques consisted of data reduction, presentation of data, and conclusions. The result of the research showed that Srimpi Pandelori dance contained meaning and values reflected in some of the various movements including the beginning and the end of dance namely, tasikan kengser, ulap-ulap, sudukan, ecen, aben sikut, and nglayang. The meaning of the movements in Srimpi Pandelori dance included : 1) gratituded God the Almighty, 2) self-esteem, 3) self-caution or awareness, and 4) goodness and badness. In addition Srimpi Pandelori dance also had  educational value about 1) religion, 2) moral, 3) responsibility, 4) ethics, and 5) personality.
Wayfinding Sign pada Ruang Pameran Tetap di Museum Nasional Indonesia – Jakarta
Heru Budi Kusuma
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 33 No 2 (2018): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31091/mudra.v33i2.331
Wayfinding atau orientasi topografi, merupakan kemampuan menentukan lokasi, menemukan tempat dalam fasilitas gedung. Sebagai media penunjuk arah, Wayfinding Sign yang diterapkan pada ruang pameran tetap belum memenuhi kebutuhan yang dapat memberikan informasi yang cukup, mengenai arah mana yang harus dituju untuk mencapai area tertentu, warna-warna yang tercantum dalam panel informasi pun tidak memberikan arti tertentu. Permasalahan pada Wayfinding Sign pada ruang pameran tetap yang dianalisis meliputi: Ukuran; dimensi tanda yang proporsional terhadap luas area dimana tanda tersebut berada,sehingga memungkinkan tanda tersebut dapat mudah terlihat. Warna; berkaitan dengan warna pada tanda telah sesuai peruntukannya dan memperhatikan warna disekitar tanda berada. Kontras; berkaitan dengan estetika tanda yang dominan terhadap kondisi disekitar tanda sehingga tanda tampak eksistensinya. Intensitas; berkaitan terhadap sesuatu yang dapat memberikan stimulus sehingga menarik perhatian terhadap tanda. Posisi ; berkaitan dengan perletakan tanda yang memperhatikan jangkauan penglihatan pengunjung yang mengarah ketempat tanda tersebut berada. Untuk memfokuskan penelitian dan menemukan hubungan antara satu data dengan data yang lain, maka penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Data hasil observasi, pengukuran, deskripsi, dan analisis data dengan teknik Triangulasi Data diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Directional Sign; menggunakan tanda ‘warna’ yang tidak ada hubungannya dengan lokasi lantai ruang pameran dan nuansa warna ruangan yang ditunjukan, dan terdapat sign yang menginformasikan arah yang tidak tepat. Informational Sign; tanda yang memberikan informasi tentang materi koleksi yang didisplay dalam ruang pameran tetap, sudah sesuai dan efektif. Identificational Sign; perletakannya yang tidak tepat sehingga menggangu kenyamanan pengunjung dalam membaca informasinya dan membuat posisi membaca yang tidak sehat dan aman.Wayfinding or topographic orientation, is the ability to determine the location, find a place in a building facility. As a signpost, Wayfinding Sign that is applied to the exhibition space still does not meet the needs that can provide enough information, on which direction should be addressed to reach a certain area, the colors contained in the information panel did not give a certain meaning. Problems with Wayfinding Sign on fixed exhibition space analyzed include: Size; dimensional marks proportional to the area in which they are located, allowing them to be easily visible. Color; related to the color on the mark has been appropriate designation and pay attention to the color around the mark resides. Contrast; related to the aesthetics of the dominant sign to the condition around the sign so that the sign appears its existence. Intensity; relates to something that can provide a stimulus that draws attention to the mark. Position; relating to the marking placement that takes into account the visibility of the visitor leading to where the mark is located. To focus the research and find the relationship between one data with other data, then this research using qualitative research method. Data result of observation, measurement, description, and data analysis with Data Triangulation technique obtained conclusion as follows: Directional Sign; using a 'color' sign that has nothing to do with the floor location of the exhibit hall and the color tone of the room shown, and there is a sign that informs the improper direction. Informational Sign; a sign that provides information about the collection material displayed in a fixed exhibit space, is appropriate and effective. Identificational Sign; inappropriate placement so as to interfere with the comfort of visitors in reading the information and create an unhealthy and safe reading position.
Inovasi Aplikasi Media Pembelajaran Tari Bali Berbasis Android
Ni Made Dian Widiastuti
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 33 No 2 (2018): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31091/mudra.v33i2.336
Tari Bali sebagai seni yang cukup populer di masyarakat dengan jumlah peminat untuk mempelajarinya terus bertambah. Bertambahnya peminat tidak diimbangi dengan jumlah media yang ada untuk membantu proses pembelajarannya, mengingat bahwa belajar tari Bali tidak mudah dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda pada setiap tariannya dan waktu yang diperlukan tidak sedikit. Bagi masyarakat modern yang dinamis tidak semua orang memiliki waktu khusus untuk belajar tari di sanggar, sehingga diperlukan teknologi atau media pembelajaran yang praktis sebagai alternatif dalam belajar tari Bali. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) spesifikasi produk aplikasi media pembelajaran tari Bali berbasis android, (2) proses pengembangan media pembelajaran tari Bali berbasis android dengan mengambil materi tari Cendrawasih. Penelitian ini menggunakan metode penelitian dan pengembangan atau Research and Development (R&D) dengan model pengembangan yang digunakan sebagai acuan yaitu model Four-D oleh Thiagarajan (1974). Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam proses penelitian ini adalah dengan observasi dan wawancara. Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) produk yang dikembangkan berupa aplikasi pembelajaran tari Cendrawasih yang disajikan kedalam smartphone berbasis android dengan sajian materi secara bertahap mulai dari deskripsi, ragam gerak tari, hingga kuis (2) proses pengembangannya yang telah dilakukan saat ini menggunakan tahapan define, design, develop. Kegiatan define dengan menentukan masalah yang terjadi, design merancang materi ataupun tampilan media, dan develop adalah mewujudkan hasil rancangan kedalam bentuk nyata.Balinese Dance is popular art in the community with the number of enthusiasts to learn it continues to grow. Increased interest is not matched by the amount of media available to aid the learning process, considering that learning Balinese dance is not easy with different difficulty levels in each dance and the time required is not small. For the dynamic modern society not everyone has a special time to learn dance in the studio, so it takes technology or practical learning media as an alternative in learning Balinese dance. This study aims to describe (1) the specification of application of Balinese dance-based dance learning media, (2) the process of developing Balinese dance based learning media by taking Cendrawasih dance material. This research uses research and development method or Research and Development (R & D) with the development model used as a reference that is Four-D model by Thiagarajan (1974). Data collection techniques used in this research process is by observation and interview. The result of research shows that (1) the product developed in the form of Cendrawasih dance learning application which is presented into android based smartphone with gradual material presentation starting from description, dance variety, to quiz (2) development process which has been done now using define stage, design, develop. Activities define by determining the problem that occurs, design material or media display, and develop is to realize the results of the design into the real form.
Fungsi Dan Makna Simbolik Kesenian Jaranan Jur Ngasinan Desa Sukorejo Kecamatan Sutojayan Kabupaten Blitar
Dwi Zahrotul Mufrihah
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 33 No 2 (2018): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31091/mudra.v33i2.337
Jaranan Jur Ngasinan merupakan kesenian yang tumbuh dan berkembang di Desa Sukorejo Kecamatan Sutojayan Kabupaten Blitar. Kesenian Jaranan Jur Ngasinan memiliki keunikan dalam hal fungsi yang disesuaikan dengan kepercayaan masyarakat pendukungnya. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti mengajukan beberapa rumusan masalah yakni bagaimana fungsi dan makna yang terkandung dalam Kesenian Jaranan Jur Ngasinan Desa Sukorejo Kecamatan Sutojayan Kabupaten Blitar. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan fungsi dan makna simbolik Kesenian Jur Ngasinan Desa Sukorejo Kecamatan Sutojayan Kabupaten Blitar. Data diperoleh peneliti dengan menggunakan pendekatan kualitatif studi kasus. Peneliti memfokuskan pada isu atau persoalan, kemudian memilih satu kasus terbatas untuk mengilustrasikan persoalan. Subjek pada penelitian ini Tari Tayung Raci, terdapat didalamnya yaitu isi kesenian dari pertunjukan dan pelaku seni. Hasil penelitian antara lain fungsi Jaranan Jur Ngasinan sebagai sarana ritual, presentasi estetis, sebagai pengikat solidaritas kelompok masyarakat, dan sebagai media pelestarian budaya. Kedua, makna kesenian Jaranan Jur Ngasinan Desa Sukorejo Kecamatan Sutojayan Kabupaten Blitar terdapat pada nama “Jurâ€, gerak, musik, tata rias dan busana, property, dan pola lantai. Dari penjelasan itu dapat disimpulkan bahwa Jaranan Jur Ngasinan memiliki berbagai fungsi dan memiliki makna simbolik tentang prajurit yang juga terkait dengan nilai-nilai budaya masyarakat di sekitar sana.Jaranan  Jur Ngasinan is an art which grow and develop on Sukorejo village, Sutojayan sub-distric, Biltar regency. This art has uniqueness in function which compromise to supporting community’s. Based on that background, the researcher make some research questions there are how are function and meaning which are contained in Jaranan Jur Ngasinan art, Sukorejo Village, Sutojoyan Subdistrict, Blitar Regency. There are special purposes from this research for described the function and symbolic meaning of Jaranan Jur Ngasinan art, Sukorejo Village, Sutojoyan Subdistrict, Blitar Regency. Data obtained by researcher by using qualitative approach of case study. Researchers focused on the issue, then choose one limited case to illustrate the issue. The subject of this research is the Tayung Raci Dance, which contains the contents of art from performers and performers of art The result which gained by researcher. First Jaranan Jur Ngasinan have function as ritual facility, presentation of the beauty, a fastener of solidarity community, and media cultural preservation. Second, meaning of Jaranan Jur Ngasinan Sukorejo Village, Sutojayan Subdistrict, Blitar Regency are an honest meaning which is come from the name "Jur", motion, music, makeup and clothes, property, and floor patterns. From that explanations can be concluded that Jaranan Jur Ngasinan have various function and have symbolic meaning about soldier which also related to values of society culture around there.
Fenomena Upacara Yadnya Dan Judi Tajen Dalam Penciptaan Karya Seni Rupa
I Wayan Suardana
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 33 No 2 (2018): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31091/mudra.v33i2.347
Bagi masyarakat Hindu, melaksanakan upacara yadnya merupakan bagaian yang tak terpisahkan, baik yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara atas nama pribadi, kelompok dadya, maupun desa pakraman. Masyarakat melaksanakan upacara dengan perasaan tulus iklas, murni dan suci sebagai ucapan terimakasih pada Yang Kuasa atas segala rahmatNYA. Suatu hal yang sangat memprihatinkan adalah pelaksanaan upacara yang murni, suci, tulus iklas, dengan tampilan yang sangat artistik, tidak selalu diikuti dengan suasana religius karena upacara tersebut sering dimanfaatkan untuk menunjukan stratifikasi kehidupan sosial di masyarakat, sehingga sering dalam ritual seremonial lebih utama dari religiusnya. Selain itu banyak ritual selalu dibarengi dengan judi tajen yang dimaknai sebagai tabuh rah. Sebuah fenomena, antara ritual yang suci selalu bergandengan dengan gengsi dan judi yang maksiat. Hal ini disebabkan karena pemahaman masyarakat tentang upacara yadnya, tabuh rah dan tajen sangat kurang. Upacara pun tak terhindar dari situasi paradoksal, berada dalam suatu posisi yang sangat sulit, karena upacara yang sangat religius selalu dibarengi dengan gengsi dan judi yang maksiat. Tujuan penciptaan ini adalah untuk memberi pemahaman pada masyarakat bahwa upacara yadnya harus dilaksanakan dengan hati yang tulus iklas dan tidak boleh diikuti dengan judi. Hasil penciptaan ini diharapkan dapat dijadikan studi komparatif bagi seniman dan mahasiswa dalam penciptaan karya seni lebih lanjut.Religious ceremonies are inseparable part of being Balinese Hindus, either those related to personal yadnya rites, dadya groups, or desa pakraman. Various ritual facilities are attractively and beautifully displayed, expressing the beauty of those offerings as well as sincere, pure and sacred feeling. What concerns us most is that the supposedly sacred rituals that are held with sincere and pure feelings are not always meant to be purely religious activities. It could be because such rituals are held to show off social status; therefore ceremonial aspects are more dominant than the religious ones. In fact, more often than not, tajen cockfights accompany the rituals construed as tabuh rah: a phenomenon that combines sacred rituals with a show off and immoral gambling. The reason has been the lack in understanding of the rituals: tabuh rah and tajen. Here lies a difficult paradox: the sacred religious rites have always been accompanied by a show off and immoral cockfight as gambling. The creation of this sculpture work is intended to give bettors (or bobotohs) an understanding that the rituals should be held with sincerity and not using them for gambling. The creation is expected to serve the purpose of comparative studies on further creation sculptural works.
Onomatopoea sebagai Pembuka Signifikasi Teks dalam Komik Tintin Petualangan Tintin Penerbangan 714 ke Sidney versi Terjemahan Bahasa Indonesia
Deny Tri Ardianto;
Dwi Susanto;
Sayid Mataram
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 33 No 2 (2018): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31091/mudra.v33i2.349
Komik Tintin memperlihatkan onomatopoea yang dimanfaatkan untuk memperjelas makna. Onomatopoea memberikan “celah†sebagai pembuka makna teks dengan melihat gagasan yang lain dalam teks. Pembacaan yang dilakukan atas onomatopoea adalah pembacaan dekonstruksi. Masalah utama dari hal itu adalah apakah makna dalam teks dengan mendasarkan pada bagian terpinggir dari teks seperti onomatopoea. Objek material dari tulisan ini komik terjemahan dari Tintin edisi Petualangan Tintin Penerbangan 714 ke Sidney. Objek formalnya adalah makna dari teks Tintin. Data yang digunakan adalah onomatopoea dalam teks, gagasan yang muncul dari teks, isi cerita dan lain-lain. Teknik interpretasi data dilakukan dengan mendasarkan pada prosedur pembacaan dekonstruksi. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa onomatopoea menjadi pembuka makna teks melalui serangkaian oposisi seperti onomatopoea versus narasi teks, onomatopoea versus visual, dan narasi teks versus visual. Onomatopoea mengikat sekuen sebelum dan sesudahnya dan meluruhkan narasi teks serta visual yang “tidak penting†disekitar onomatopoea. Gagasan interteks yang muncul adalah melanjutkan proyek rasionalisme, bias kolonial dan keunggulan ras, serta meluruhnya gagasaan tersebut melalui kritik atas materialisme. Hal itu ditunjukkan melalui teks-teks petualangan, konflik ideologis, hingga hero yang super seperti pada era Romantisme Eropa.Tintin comic utilizes onomatopoeia to clarify meaning. Onomatopoeia gives a "window" as an opening to the meaning intended in the text by relating to other context in it. Onomatopoeia reading is a deconstructive reading. The main problem of this type of reading is whether the meaning in the text is based on the marginalized part of the text such as onomatopoeia. The material object of this paper is a comic translation of Tintin's Adventure entitled Tintin Flight 417 to Sidney. The formal object of this paper is the meaning of the text in the comic. The data of this research are onomatopoeia in the text, ideas that arise from the text, and the content of the story. Data interpretation technique was conducted according to deconstruction reading procedure. The results show that onomatopoeia clarify the meaning of the text through a series of oppositions such as onomatopoeia versus text narrative, onomatopoeia versus visual, and text narrative versus visual. Onomatopoeia binds the previous and following sequences and sheds the "unecessary" visuals and narrative texts around it. The intertextual ideas that arise are issues related to rationalism, colonial bias and racial superiority, and the dissolve of those ideas due to criticisms of materialism. These are shown through the texts of adventure, ideological conflict, and super hero characteristics like commonly presented in the era of European Romance.