cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
LEX CRIMEN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana. Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Arjuna Subject : -
Articles 14 Documents
Search results for , issue "Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen" : 14 Documents clear
IMPLIKASI KEMANDIRIAN KEKUASAAN KEHAKIMAN TERHADAP PENEGAKAN HUKUM Lamorahan, Jatmiko Nugraha
LEX CRIMEN Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bisa dibuktikan bahwa kemadirian kekuasaan kehakiman itu telah dijalankan oleh hakim dalam upaya penegakan hukum dan bagaimana upaya penegakan hukum yang mandiri sudah dijalankan selama ini oleh hakim. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan disimpulkan: 1. Kemandirian kekuasaan hakim dalam penegakan hukum di Indonesia sangat implikatif. Di satu sisi, kemandirian kekuasaan kehakiman bisa memberikan dampak positif, namun di lain sisi bisa juga berdampak negatif. 2. kemandirian kekuasaan kehakiman di Indonesia saat ini telah berjalan dengan baik karena adanya dukungan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu terlepas dari unsur pribadi hakim yang acap kali akan sangat berpengaruh terhadap putusan yang diambil, hakim mendapat mandat penuh dengan kekuasaan kemandiriannya di muka pengadilan dalam mengambil keputusan. Kata kunci: Kekuasaan kehakiman, penegak hukum.
ALAT BUKTI DALAM PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RUPIAH SEBAGAI MATA UANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA Longkutoy, Hilkia H
LEX CRIMEN Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tindak pidana terhadap rupiah sebagai mata uang negara Republik Indonesia dan  bagaimana pengaturan alat bukti dalam pemeriksaan perkara tindak pidana rupiah sebagai mata uang negara Republik Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif dan dapat disimpulkan bahwa:  1. Perbuatan yang termasuk tindak pidana rupiah terdiri dari pelanggaran dan kejahatan. Pelanggaran terjadi apabila tidak menggunakan, menolak dan tidak menerima rupiah dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran untuk menyelesaikan kewajiban danperbuatan meniru rupiah, bukan untuk tujuan pendidikan dan promosi, atau menyebarkan dan mengedarkan rupiah tiruan.Kejahatan terjadi apabila merusak, membeli, menjual, mengimpor, mengekspor, memalsukan, menyimpan, mengedarkan, membelanjakan, secara fisik rupiah palsu dan memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/atau mendistribusikan mesin, peralatan, alat cetak, pelat cetak atau alat lain termasuk bahan baku yang digunakan untuk membuat Rupiah Palsu. 2. Pengaturan alat bukti dalam pemeriksaan perkara tindak pidana rupiah sebagai mata uang negara Republik Indonesia, selain diatur dalam undang-undang tentang hukum acara pidana juga diatur dalam  Undang-Undang  Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang meliputi barang yang menyimpan gambar, suara dan film, baik dalam bentuk elektronik maupun optik, dan semua bentuk penyimpanan data; dan/ataudata yang tersimpan dalam jaringan internet atau penyedia saluran komunikasi lainnya. Pembuktian terhadap alat bukti elektronik dapat disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 11  Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kata kunci: Pemeriksaan tindak pidana rupiah, mata uang.
TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN Kalendesang, Mario
LEX CRIMEN Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Indonesia sebagai negara hukum memiliki beberapa macam hukum untuk mengatur tindakan warga negaranya, antara lain ialah hukum pidana dan hukum acara pidana. Kedua hukum ini memiliki hubungan yang sangat erat, karena pada hakekatnya hukum acara pidana termasuk dalam pengertian hukum pidana. Hanya saja hukum acara pidana atau yang juga dikenal dengan sebutan hukum pidana formal lebih tertuju pada ketentuan yang mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Sedangkan hukum pidana (materiil) lebih tertuju pada peraturan hukum yang menunjukan perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana tersebut.  Walaupun hukum dibuat untuk suatu tujuan yang mulia, yaitu memberikan pelayanan bagi masyarakat guna terciptanya suatu ketertiban, keamanan, keadilan dan kesejahteraaan, namun pada kenyataannya masih tetap terjadi penyimpangan-penyimpangan atas hukum, baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja atau lalai.  Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah (Library Research) merupakan upaya pencarian yang amat bernilai edukatif, itu melatih kita untuk selalu sadar bahwa di dunia ini banyak yang kita tidak ketahui, dan apa yang kita coba cari, temukan, dan ketahui itu tetaplah bukan kebenaran mutlak.  Maka hasil Penelitian ini menunjukan bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak tersangka dalam proses penyidikan dan bagaimana ketentuan hukum atas pencabutan keterangan terdakwa di dalam persidangan, pertama bahwa perlindungan hukum terhadap hak-hak tersangka dalam proses penyidikan yaitu mempunyai hak-hak sejak ia mulai diperiksa Pasal 52 KUHAP. Dalam  pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.”[1] Dalam penjelasan pasal itu, jelas yang dimaksud yaitu tersangka tidak boleh dipaksa atau ditekan. Penjelasan itu mengatakan : “Supaya pemeriksaan mencapai hasil yang tidak menyimpang dari pada yang sebenarnya maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa”. Kedua bahwa ketentuan hukum terhadap pencabutan keterangan terdakwa di dalam persidangan yaitu Keterangan terdakwa diatur di dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bersama alat bukti lainnya yang mempunyai kekuatan pembuktian. Secara yuridis, pencabutan keterangan terdakwa diperkenankan dan/atau diperbolehkan hal ini dikarenakan terdakwa memiliki hak ingkar sebagaimana yang diatur dalam Pasal 52 KUHAP dan keterangan di muka sidang merupakan keterangan yang sebenarnya. Sekalipun terdakwa memiliki hak untuk memberikan keterangan yang bebas di tingkat penyidikan atau pengadilan kepada penyidik atau kepada hakim dan berhak untuk tidak menjawab, ia masih memiliki hak untuk berbicara seputar proses penyidikan yang telah berlangsung dan bila ia berbicara yang tidak sebenarnya atau memberikan keterangan yang berbelit-belit maka hal ini akan menjadi alasan atau hal-hal yang memberatkan bagi terdakwa dalam putusan yang akan dijatuhkan hakim.  Dari penelitian ini dapat di simpulkan bahwa perlindungan hukum terhadap hak-hak tersangka dalam proses penyidikan terdapat dalam pasal 52 KUHAP yaitu tersangka mempunyai hak-hak sejak dimulai diperiksa pada tingkat penyidikan sedangkan ketentuan hukum atas pencabutan keterangan terdakwa di dalam persidanagan terdakwa juga memiliki hak ingkar yang sebagaimana yang diatur juga dalam pasal 52 KUHAP. [1] Hamzah Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Cet.II. Jakarta. 2008. 34.
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN DI BIDANG KEHUTANAN Tihirang, Indra Ch.R.
LEX CRIMEN Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Akibat yang ditimbulkan dari kejahatan di bidang kehutanan termasuk illegal logging sangatlah besar, karena tidak saja merugikan masyarakat dan negara tetapi juga menimbulkan kerusakan hutan yang pada skala makro menimbulkan kerusakan lingkungan hidup secara  global. Upaya  pemerintah untuk memberantas tindak pidana di bidang kehutanan terus dilakukan guna mereduksi dampak negatif yang timbul. Hanya saja penegakan hukum terhadap kejahatan  di bidang kehutanan tidak selamanya berjalan dengan baik yang disebabkan oleh  beberapa faktor, baik faktor yuridis maupun non yuridis. Oleh karena itu faktor-faktor tersebut perlu mendapat perhatian Pemerintah agar penegakan hukum di bidang kehutanan pada masa mendatang dapat berjalan dengan baik. Kata kunci: Kejahatan, kehutanan
PENEGAKAN HUKUM OLEH KPK TERHADAP PENYALAHGUNAAN KEWENANGAN YANG DILAKUKAN OLEH PENEGAK HUKUM DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KORUPSI Datukramat, Arfan
LEX CRIMEN Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana upaya penegakan hukum oleh KPK terhadap penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan para penegak hukum dalam penyelesaian tindak pidana korupsi dan apa fungsi dan kewenangan KPK Republik Indonesia dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia telah sesuai dengan UU no 30 tahun 2002. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dapat disimpulkan bahwa: 1. Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK terhadap penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan penegak hukum dalam menyelesaikan tindak pidana korupsi yaitu dengan mengoptimalkan  kewenangan dan Independensi serta integritas Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia sebagai lembaga negara yang melaksanakan koordinasi, supervisi, penyelidikan dan penyidikan bahkan sampai penuntutan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh aparatur pejabat negara sebagai bagian dari penyelenggaraan negara. Secara garis besar sasaran KPK dalam penegakan hukum dibagi menjadi 4 (empat) bidang, yakni penindakan, pencegahan, koordinasi dan supervisi, serta monitoring. Ini dilakukan untuk melaksanakan tupoksinya dengan baik untuk menindak dengan tegas sesuai aturan hukum yang berlaku maupun mencegah Tindak Pidana Korupsi agar tidak terulang lagi dimasa depan. 2. Berdasarkan Pasal 6 dan 7 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002, maka tugas dari KPK ini meliputi: melakukan koordinasi dan supervisi terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang berwenang, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara terutama dalam bidang pengawasan ketat sesuai aturan hukum yang berlaku. Kata kunci: Penegakan hukum, KPK
PENJATUHAN PIDANA MATI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA Runtunuwu, Gabriela Megawaty
LEX CRIMEN Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana dasar pelaksanaan pidana mati di Indonesia dan bagaimana keberadaan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika menurut hukum positif Indonesia. Dengan menggunakan penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Eksistensi pidana mati di Indonesia pada kenyataannya ma­sih merupakan polemik (antara-yang pro dan kontra), namun realitasnya, sanksi pidana mati selain masih berlaku di dalam hukum pidana positif, dalam Konsep KUHP Na­sional juga masih diatur. Pidana mati dalam Konsep KUHP Nasional, sebagai sanksi pidana yang bersifat eksepsional dan dikeluarkan dari paket pi­dana pokok. 2. KUHP maupun UU No 35 Tahun 2009, yang secara tegas memberikan hukuman setimpal bagi pelanggar berat kejahatan narkotika berupa hukuman mati dan dipertegas lagi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi untuk menerapkan sanksi pidana mati bagi para pelaku tindak pidana narkotika tidak melanggar hak asasi manusia, justru para pelaku telah melanggar hak asasi manusia lain, yang memberikan dampak terhadap kehancuran generasi muda di masa datang. Kata kunci: Pidana mati, Narkotika.
SANKSI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA DI DALAM PESAWAT UDARA SELAMA PENERBANGAN Amin, Jessica A
LEX CRIMEN Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk perbuatan yang dapat diketegorikan sebagai tindak pidana di dalam pesawat udara selama penerbangan dan bagaimana sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana di dalam pesawat udara selama penerbangan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dapat disimpulkan bahwa: 1. Bentuk-bentuk perbuatan yang dapat diketegorikan sebagai tindak pidana di dalam pesawat udara selama penerbangan yakni melakukan perbuatan asusila, melanggar ketertiban dan ketentraman dalam penerbangan, mengambil atau merusak peralatan pesawat udara dan mengoperasikan peralatan elektronika yang mengganggu navigasi penerbangan yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan, Perbuatan-perbuatan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana.  2. Sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana di dalam pesawat udara selama penerbangan yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan dipidana dengan pidana penjara atau pidana denda sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan. Sanksi pidana penjara yang diberlakukan mulai dari paling singkat 1 tahun dan paling lama 15 tahun penjara dan Pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
AKIBAT HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN ORANG Kawilarang, Julio G
LEX CRIMEN Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa akibat hukum terhadap tindak pidana penyelundupan orang dan bagaimana kebijakan pemerintah terhadap tindak pidana penyelundupan orang. Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan dapat disimpulkan bahwa: 1.  Pasal 120 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian secara garis besar menegaskan akibat hukum terhadap tindak pidana penyeludupan orang, yaitu: (a). setiap orang yang melakukan perbuatan yang bertujuan mencari keuntungan, dengan membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi, yang tidak memiliki hak secara sah untuk memasuki Wilayah Indonesia atau keluar dari Wilayah Indonesia, dipidana karena Penyelundupan Manusia dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 dan paling banyak Rp1.500.000.000,00. (b). Pasal 86 : Ketentuan Tindakan Administratif Keimigrasian tidak diberlakukan terhadap korban perdagangan orang dan Penyelundupan Manusia. 2. Indonesia tidak akan memberikan suaka politik atau menyiapkan relokasi khusus bagi mereka, namun bekerja sama dengan UNHCR dan IOM guna mengupayakan pemulangan atau menyalurkan para migran gelap tersebut ke negara penerima. Pemerintah Indonesia mendukung proses suaka ini dengan merujuk para pencari suaka ke UNHCR, dan mengijinkan para pengungsi tinggal di Indonesia sementara menunggu  kepastian nasibnya. Pencari suaka yang ditolak oleh UNHCR diupayakan untuk kembali ke negara asalnya dengan bantuan fasilitas IOM. Kata kunci:  Tindak pidana, penyelundupan orang.
PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA TINDAK PIDANA DARI KEJAKSAAN KEPADA KEPOLISIAN Afandi, Ridwan
LEX CRIMEN Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Hasil penelitian menunjukan bagaimana proses penyelesaian pengembalian berkas perkara pidana sejak diserahkan oleh penyidik kepada penuntut umum menurut kitab undang-undang hukum acara pidana serta dasar dan ruang lingkup kejaksaan mengembalikan berkas perkara kepada kepolisian, Pertama proses penyelesaian perkara pidana yang diserahkan oleh penyidik kepada penuntut umum harus adanya  fungsi kejaksaan dengan baik sesuai dengan prosedur hukum untuk menciptakan proses peradilan yang baik, jujur, dan berjalan sesuai dengan undang-undang, dituntut kerjasama yang baik, dan jujur pula antara kedua instansi penegak hukum ini harus selalu terjalin, karena kesempurnaan dalam pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tidak terlepas dari kesempurnaannya hasil penyidikan oleh Kepolisian, dengan demikian tercipta pula suatu penuntutan yang sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan yang berlaku. Kedua dasar dan ruang lingkup kejaksaan mengembalikan berkas perkara kepada kepolisian terdapat dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia maupun KUHAP mengenai tugas dan kewenangan Kejaksaan, dan selain juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan ruang lingkupnya juga terdapat dalam KUHAP pasal 6 ayat (1) huruf b mengenai penyidikan dihentikan demi hukum, pasal 8 ayat (3) huruf a dan b mengenai menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama dan kedua, pasal 110 ayat (3), (4), dan Pasal 138 ayat (1) dan (2) Mengenai mengadakan prapenuntutan. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah Library research, yakni penelitian yang dilakukan melalui mengumpulkan data atau karya tulis ilmiah yang bertujuan dengan obyek penelitian atau pengumpulan data yang bersifat kepustakaan, atau telaah yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah yang pada dasarnya tertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang relevan.  Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa proses penyelesaian pengembalian berkas perkara pidana yang diserahkan oleh penyidik kepada penuntut umum harus adanya fungsi antara penyidik dengan kejaksaan dalam hal penyidik dalam melakukan penyidikan penyidik harus memberitahukan kepada kejaksaan yang termuat dalam pasal 14 huruf b KUHAP. Sedangkan dasar dan ruang lingkup kejaksaan dalam proses pengembalian berkas perkara pidana kepada kepolisian terdapat dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan Republik Indonesia mengenai tugas dan kewenangan kejaksaan maupun KUHAP. Kata kunci: Berkas perkara, Kejaksaan, Kepolisian
AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN Marianus, Efraim Theo
LEX CRIMEN Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak tersangka dalam proses penyidikan dan bagaimana ketentuan hukum atas pencabutan keterangan terdakwa  dalam persidangan di Pengadilan. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan disimpulkan bahwa: 1. Tersangka mempunyai hak-hak sejak ia mulai diperiksa. Pasal 52 KUHAP : “Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.” Dalam penjelasan pasal itu, jelas yang dimaksud yaitu tersangka tidak boleh dipaksa atau ditekan. Secara garis besar hak-hak tersebut tergambar dalam prinsip azas praduga tak bersalah. Sebagai jaminan ditegakkan asas praduga tak bersalah dalam KUHAP, maka KUHAP telah memberikan jaminan yang tegas mengatur tentang hak-hak tersangka. 2. Pencabutan keterangan terdakwa di pengadilan harus berdasarkan alat bukti dan alasan yang logis guna mendukung pencabutan keterangannya di persidangan. Dasar dilakukannya pencabutan itu antara lain didalam penyidikan terdakwa disiksa, dipukuli hal ini senada dengan Putusan Mahkamah Agung No. 381 K / Pid / 1995, tidak didampingi oleh penasihat hukum,  tidak bisa membaca atau menulis sewaktu menandatangani berita acara pemeriksaan, adanya unsur atau faktor psikologis yang berlebihan sewaktu dalam penyidikan. Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa.

Page 1 of 2 | Total Record : 14


Filter by Year

2013 2013


Filter By Issues
All Issue Vol. 12 No. 5 (2024): Lex Crimen Vol. 12 No. 4 (2024): Lex crimen Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Crimen Vol. 11 No. 5 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 2 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 1 (2022): Lex Crimen Vol 10, No 13 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 12 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 11 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 10 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 8 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 5 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 4 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 3 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 2 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 1 (2021): Lex Crimen Vol 9, No 4 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 3 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 2 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 1 (2020): Lex Crimen Vol 8, No 12 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 10 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 3 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 2 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 1 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 6 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 3 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 1 (2018): Lex Crimen Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 9 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 5 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 4 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 3 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 2 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 1 (2017): Lex Crimen Vol 5, No 7 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 6 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 5 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 4 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 3 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 2 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 1 (2016): Lex Crimen Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 3 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 2 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 1 (2015): Lex Crimen Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 2 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 1 (2014): Lex Crimen Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 4 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 3 (2013): Lex Crimen Vol. 2 No. 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 1 (2013): Lex Crimen Vol 1, No 4 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 3 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 2 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 1 (2012) More Issue