cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
LEX CRIMEN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana. Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Arjuna Subject : -
Articles 21 Documents
Search results for , issue "Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen" : 21 Documents clear
KAJIAN YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN REKAM MEDIS ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MALPRAKTEK OLEH DOKTER Simbolon, Suzeth Agustien
LEX CRIMEN Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perkembangan teknologi pada masa sekarang ini berkembang dengan sangat pesat, salah satunya dalam bidang kedokteran. Dengan semakin meningkatnya teknologi dalam dunia kedokteran atau dunia kesehatan di Indonesia semakin tinggi pula bentuk pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh para dokter dalam hal kegiatan malpraktik. Rekam medis merupakan rangkuman informasi lengkap perihal proses pelayanan medis di masa lalu, masa kini, dan perkiraan terjadi di masa yang akan datang.Rekammedis mempunyai peranan yang penting bahkan sangat penting dalam menunjang pelaksanaan Sistem Kesehatan Nasional.Rekammedis dibuat sudah tidak lagi hanya dibuat secara tertulis tetapi juga sudah menggunakan alat-alat elektronik.Merupakan suatu tantangan tersendiri untuk membuktikan keabsahan dari alat bukti elektonik, sehingga menjadi alat bukti yang kuat untuk membuktikan suatu perkara dalam masalah malpraktek oleh dokter. Berdasarkan uraian tersebut di atas, yang melatarbelakangi permasalahan dalam penulisan ini ialah bagaimana pengaturan tentang kedudukan rekam medis dalam kegiatan praktek dokter di Indonesia serta bagaimana kedudukan rekam medis elektronik dalam pembuktian perkara pidana oleh dokter yang melakukan malpraktek. Penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam Undang-Undang Kesehatan No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diatur tentang rekam medis di mana rekam medis memiliki peran yang sangat penting dalam bidang kedokteran.Rekam medis diakui merupakan salah satu alat bukti sah, dengan catatan berbentuk surat atau tertulis maupun juga dalam bentuk elektronik. selanjutnya hal ini juga diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan dari ketentuan Pasal 13 Permenkes. Selanjutnya Rekam medis ini mendapatkan pengaturan yang lebih kuat lagi yaitu melalui peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 749.a/Menkes/per/XXI/1989 tentang rekam medis (medical record). Pasal 1 huruf a tersebut menyebutkan bahwa, rekam medis memiliki pengertian sebagai berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dalam pelayanan lain pada pasien, pada sarana pelayanan kesehatan. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap dokter atau dokter gigi wajib harus membuat rekam medis dalam menjalankan prakteknya,karena  dengan adanya aturan yang mengatur mengenai rekam medis ini maka akan diketahui mengenai apakah yang terjadi antara pasien dengan dokter yang menangani pelayanan kesehatan tersebut.Meskipun sudah diatur dalam permenkes, masih ada banyak pertanyaan mengenai kedudukan dari rekam medis elektronik, karena dalam KUHAP tidak mencantumkan bahwa alat eketronik dapat dijadikan alat bukti itu.
DELIK ADUAN TERHADAP PERKARA KEKERASAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA Mayor, George
LEX CRIMEN Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.  Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Secara umum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan.Dari latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam karya tulis ini yaitu bagaimana terjadinya kekerasan seksual dalam rumah tangga dan bagaimana delik aduan terhadap perkara kekerasan seksual dalam rumah tangga. Karya tulis ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan melalui metode ini dapat ditelaah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai delik aduan dalam perkara kekerasan seksual dalam rumah tangga serta teori-teori dari ahli hukum yang ada dalam literatur-literatur dan karya-karya ilmiah hukum dan untuk menjelaskan beberapa istilah dan pengertian, maka digunakan kamus-kamus hukum. Untuk mengumpulkan bahan-bahan hukum yang diperlukan, penulis melakukan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan kekerasan merupakan wujud penindasan dan pelanggaran hak asasi yang dilakukan seseorang kepada orang lain, kelompok tertentu kepada kelompok lain, orang dewasa, anak-anak, majikan kepada pembantunya dan laki-laki kepada perempuan. Hubungan seksual yang dipaksakan merupakan bentuk kekerasan yang mengakibatkan kerugian bagi korban.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pasal 51: Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan.Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).Delik aduan merupakan kejahatan yang dapat dituntut apabila ada pengaduan dari pihak yang menjadi korban kekerasan seksual yang dirugikan. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadinya kekerasan seksual dalam rumah tangga akibat adanya pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Delik aduan terhadap kekerasan seksual dalam rumah tangga, baik yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya
PENGGUNAAN KEKERASAN SECARA BERSAMA DALAM PASAL 170 DAN PASAL 358 KUHP Maudoma, Soterion E. M.
LEX CRIMEN Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penggunaan kekerasan oleh seseorang terhadap orang lain, merupakan hal yang dilarang dalam hukum pidana karena penggunaan kekerasan membawa akibat berupa luka ataupun kematian.  Untuk itu dalam KUHPidana telah dirumuskan dan diancamkan pidana terhadap berbagai cara dan akibat dari perbuatan yang menggunakan kekerasan. Larangan terhadap penggunaan kekerasan secara bersama dapat ditemukan antara lain dalam Pasal 170 KUHPidana, terletak dalam Buku II (Kejahatan), Bab V (Kejahatan terhadap Ketertiban Umum), tetapi, juga dapat ditemukan pasal lainnya di mana terjadi penggunaan kekerasan bersama, yaitu Pasal 358 KUHPidana yang terletak dalam Buku II (Kejahatan), Bab XX (Penganiayaan). Kata Kunci: Orang, KUHPidana
PEMALSUAN UANG RUPIAH SEBAGAI TINDAK PIDANA MENURUT UU NO. 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG Aringking, Hendra
LEX CRIMEN Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana pemalsuan mata uang Rupiah dan bagaimana implikasi hukum tindak pidana pemalsuan mata uang dengan kejahatan lainnya. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Mata Uang Rupiah adalah simbol negara yang menyatakan eksistensi kemerdekaan dan kedaulatan negara dengan hal monopoli atas pembuatan, peredaran, penarikan dan pemusnahannya, yang dilakukan sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Indonesia. 2. Mata Uang dan perkembangannya yang bermula dari Uang Kartal, Uang Giral, dan kemudian Uang Digital, menyebabkan tindak pidananya juga bergeser. Apabila tindak pidana menurut Pasal 244 dan Pasal 245 KUHP dan Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 hanya mencakup tindak pidana pemalsuan mata uang, maka terhadap Mata Uang Digital bergeser menjadi tindak pidana pembobolan ke akses Komputer. Kata kunci: Pemalsuan, uang rupaih, tindak pidana.
KAJIAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH DOKTER MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN Achmad, Angelina V.
LEX CRIMEN Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Hingga saat ini masih terjadi pro dan kontra maupun perdebatan yang tidak ada akhirnya, dari berbagai pihak yang mendukung aborsi maupun yang kontra aborsi. Dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia hak aborsi dibenarkan secara hukum jika dilakukan karena adanya alasan atau pertimbangan medis atau kedaruratan medis, apabila dilakukan tidak bertentangan dengan hukum dan agama. Dengan kata lain, tenaga medis mempunyai hak untuk melakukan aborsi apabila dengan pertimbangan media atau keadaan darurat medis dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibu yang hamil. Dari latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam karya tulis ini yakni bagaimana pertanggung jawaban yuridis tindak pidana aborsi yang dilakukan oleh dokter? Serta bagaimana penggolongan tindakan aborsi yang dilakukan dokter menurut UU Kesehatan ?  Oleh karena ruang lingkup penelitian ini adalah pada disiplin ilmu hukum, maka penelitian ini merupakan bagian dari penelitian hukum kepustakaan yakni dengan “cara meneliti bahan pustaka” atau yang dinamakan “penelitian hukum normatif”.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa perundang-undangan Indonesia telah mengatur tentang aborsi  dalam dua  undang-undang yaitu  dalam  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana  (KUHP)  dan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan. Tindakan aborsi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia dikategorikan sebagai tindakan kriminal. Setiap orang dilarang melakukan aborsi. Aborsi dapat dilakukan apabila ada indikasi kedaruratan media dan kehamilan akibat perkosaan. Selanjutnya menghadapi kasus abortus provocatus kriminalis, pihak kepolisian juga bekerjasama dengan pihak kedokteran, Dimana banyak sekali para dokter-dokter tersebut demi mendapatkan materi menghalalkan tindakan abortus provocatus kriminalis. Dokter yang melakukan tindakan aborsi sehingga dapat di katakan bahwa sebagai perbuatan pidana atau dapat di golongkan hidden crime. Setiap pelaku kejahatan abortus baik pelaku maupun orang yang turut serta membantu dalam tindak pidana aborsi dapat lebih diperberat lagi sehingga menimbulkan efek jera terhadap pelaku.  Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa tanggung-jawab yuridis akibat tindakan aborsi yang dilakukan dokter adalah apabila merupakan suatu perbuatan pidana maka harus melalui prosedur hukum, yaitu hasil penyelidikan dan penyidikan dimana tindakan tersebut adalah perbuatan pidana. Dalam perundang-undangan Indonesia, pengaturan tentang aborsi terdapat dalam dua undang-undang yaitu KUHP dan UU Kesehatan. Bahwa dalam KUHP dan UU Kesehatan diatur ancaman hukuman melakukan aborsi (pengguguran kandungan, tidak disebutkan soal jenis aborsinya), sedangkan aborsi buatan legal (terapetikus atau medisinalis), diatur dalam UU Kesehatan. Kata Kunci : Kajian Yuridis, Tindak Pidana Aborsi
KAJIAN HUKUM TERHADAP PERILAKU JAHAT ANAK-ANAK Ruitan, Rifaldi
LEX CRIMEN Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana lingkup kejahatan anak menurut perundang-undangan Indonesia dan bagaimana penegakan hukum terhadap anak-anak yang berprilaku jahat dan sudah melakukan tindak pidana menurut hukum positif Indonesia. Metode penelitian yanga digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif dan dapat disimpulkan: 1. Bahwa ruang lingkup kejahatan anak menurut perundang-undangan Indonesia adalah Pencurian; Kasus Narkoba; Kasus membawa senjata tajam; Pengeroyokan; Kejahatan susila; Perjudian; Penggunaan uang palsu; Pelaku penganiayaan; Pelaku penipuan dan penggelapan; Terlibat dalam persekongkolan jahat; Terlibat dalam tindak pidana pembunuhan. 2. Bahwa penegakan hukum terhadap anak yang berprilaku jahat menurut hukum positif Indonesia dapat dilakukan dengan penerapan KUHP seperti pasal-pasal tentang Kejahatan terhadap kesusilaan yang terdapat dalam Bab XIV,   Pasal-pasal tentang Penghinaan yang terdapat dalam Bab XVI, Pasal-pasal tentang Kejahatan terhadap Nyawa yang terdapat dalam Bab XIX, Pasal-pasal tentang Penganiayaan yang terdapat dalam Bab XX, Pasal-pasal tentang Pencurian yang terdapat dalam Bab XXI, dan Pasal-pasal tentang Kelalaian, juga peraturan-peraturan yang ada di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang bertalian dengan masalah anak seperti: UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana; UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perobahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika; UU No. 7 Tahun 1997 tentang Psikotropika; UU No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga; UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia jo. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; dan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme. Kata kunci: Perilaku jahat, anak-anak
PERCOBAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI DELIK SELESAI Zamatea, Zaid
LEX CRIMEN Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dalam Hukum Pidana di Indonesia, suatu percobaan (Poging) merupakan delik yang belum selesai atau belum sempurna sebagai suatu tindak pidana. Pasal 53 KUHP menyatakan bahwa “percobaan untuk melakukan kejahatan terancam hukuman, bila maksud si pembuat sudah nyata dengan dimulainya perbuatan itu dan perbuatan itu tidak jadi sampai selesai hanyalah lantaran hal yang tidak tergantung dari kemauannya sendiri. Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara tegas dan jelas menyatakan delik percobaan dalam frasa menjanjikan yang jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 53 KUHP maka delik itu belum selesai atau belum sempurna, sedangkan pada tindak pidana korupsi tidak diperlukan pembuktiannya apakah janji yang terucap bahkan tertulis terwujud atau tidak, sudah merupakan percobaan melakukan tindak pidana korupsi, dan dapat dipidana. Berdasarkan uraian tersebut di atas, yang melatarbelakangi permasalahan dalam penulisan ini ialah bagaimana konsep percobaan dalam hukum pidana di Indonesia serta bagaimana percobaan melakukan tindak pidana korupsi dianggap sebagai delik selesai. Penelitian ini ialah penelitian hukum normatif atau juga disebut sebagai penelitian hukum kepustakaan. Data penelitian ini ialah data pustaka yang dikumpulkan dari beberapa bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Data yang diperoleh dan dikumpulkan kemudian diolah menjadi pendekatan sistematika dan pendekatan sinkronisasi hukum dengan melakukan interpretasi (penafsiran) secara gramatikal atau menurut tata bahasa untuk kemudian dijadikan bahan pembahasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep percobaan (poging) yang diatur dalam Pasal 53 KUHP dan Pasal 54 KUHP memiliki suatu karakteristik yang berbeda dengan percobaan melakukan tindak pidana korupsi, oleh karena menurut Pasal 54 KUHP disebutkan, percobaan melakukan tindak pidana tidak di pidana. Konsep percobaan melakukan tindak pidana korupsi justru dapat dipidana, oleh karena latar belakang, konsep-konsep yang dianut dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia membutuhkan penanganannya secara khusus, bahkan tindak pidana korupsi telah dijadikan sebagai kejahatan luar biasa/extra ordinary crimes) di Indonesia. Ketentuan KUHP mempunyai hubungan atau kaitannya dengan ketentuan-ketentuan pidana dalam peraturan perundangan-undangan di luar KUHP yang juga tidak sedikit di antaranya mengatur percobaan. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat beberapa ketentuan pidananya yang mengandung unsur percobaan. Pasal 5 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 menunjukkan contoh bahwa tindak pidana korupsi dengan “menjanjikan sesuatu” adalah delik selesai. Di dalam pembuktiannya sangat penting untuk dibuktikan apakah ada suatu janji baik berupa ucapan (lisan), maupun tertulis di antara para pihak (para subjek hukumnya), dan manakala terbukti ada janji yang terucap maupun tertulis dengan sendirinya terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa Percobaan melakukan tindak pidana menurut KUHP tidak dapat dihukum, tetapi percobaan melakukan tindak pidana korupsi justru dapat dihukum karena delik percobaan merupakan delik yang perumusannya secara formil, sehingga ditentukan pada awal  (permulaan) unsur tindak pidana baik yang menjanjikan (hadiah) yang diucapkan (lisan) maupun tertulis, bukan ditentukan pada akibat atau tercapainya maksud pemberian janji/hadiah. Ketentuan KUHP mempunyai hubungan atau kaitannya dengan ketentuan-ketentuan pidana dalam peraturan perundangan-undangan di luar KUHP yang juga tidak sedikit di antaranya mengatur percobaan. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat beberapa ketentuan pidananya yang mengandung unsur percobaan.
PERADILAN TINDAK PIDANA KESUSILAAN YANG DILAKUKAN ANAK Dauliha, Ismail
LEX CRIMEN Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui faktor apakah yang menyebabkan terjadinya tindak pidana kesusilaan yang dilakukuan anak dan bagaimanakah proses peradilan tindak pidana kesusilaan yang dilakukan anak. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini dapat disimpulkan: 1. Tindak tindak pidana kesusilaan yang dilakukan anak di sebabkan oleh faktor Ekonomi, lingkungan dan  Pemerintahan. 2. Dalam proses peradilan Tindak pidana anak pada dasarnya hampir sama dengan prosesperadilan pidana untuk orang dewasa, namun ada tahap-tahap tertentu yang membedakan peradilan anak mengingat kondisi mental anak. Kata kunci: Peradilan tindak pidana, kesusilaan, anak.
ANALISIS HUKUM BISNIS TENTANG KERUGIAN KEUANGAN PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) Mokoginta, Rukly
LEX CRIMEN Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kekayaan negara pada BUMN adalah Keuangan Negara, yakni uang negara yang dipisahkan pada pengelolaannya sebagai bentuk penyertaan modal secara langsung dari negara. BUMN adalah badan usaha sehingga merupakan entitas bisnis yang orientasi bisnisnya tertuju pada upaya untuk mendapatkan laba (keuntungan). Permasalahannya ialah tidak semua BUMN yang ada di Indonesia dikatakan sebagai BUMN baik dan sehat, oleh karena sejumlah BUMN masih menderita kerugian yang cukup bahkan sangat besar. Tidak sedikit justru BUMN yang bersangkutan menderita kerugian oleh karena berbagai faktor, sehingga jika timbul kerugian terhadap BUMN, maka kerugian tersebut merupakan kerugian terhadap Keuangan Negara dan dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Dari latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam karya tulis ini yaitu bagaimana kriteria keuangan negara pada perusahaan BUMN, dan bagaimana akibat hukum kerugian pada keuangan perusahaan BUMN.  Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Untuk mendapatkan sumber data dalam penelitian ini, digunakan beberapa pendekatan penelitian yakni pendekatan peraturan perundang-undangan yakni kajian terhadap sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkait erat dengan materi pokok penelitian.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa Keuangan Negara dalam perspektif Hukum Bisnis dirujuk pada keuangan yang ada dalam BUMN, maka berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, terdapat kriteria yang penting yang bertolak dari pengertian BUMN dalam frasa “BUMN adalah seluruh modalnya dimiliki oleh negara”; dan frasa “BUMN adalah sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara”. Kedua frasa tersebut menentukan kriteria yakni untuk dapat dikatakan sebagai BUMN ialah jika seluruh modalnya dimiliki oleh negara, dan untuk dapat dikatakan BUMN ialah jika sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara. Selanjutnya BUMN merupakan entitas bisnis yang lumrah jika di waktu tertentu mendapatkan keuntungan besar, sedang, atau kurang, bahkan di suatu waktu justru menderita kerugian. Dari aspek permodalannya, maka modal perusahaan-perusahaan BUMN adalah yang bersumber atau berasal dari negara yakni dari kekayaan negara yang dipisahkan. Kerugian keuangan negara terkait erat dengan tindakan melawan hukum (onrechtsmatigedaad), atau juga dikenal dengan istilah lainnya sebagai perbuatan melawan hukum. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa Keuangan Negara pada perusahaan BUMN terwujud dalam kriteria jika seluruh modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, dan jika sebagian besar (mayoritas) modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Kedua kriteria tersebut menandakan adanya kekayaan negara pada perusahaan BUMN sehingga tunduk sepenuhnya pada ketentuan hukum BUMN menurut Undang-Undang No. 19 Tahun 2003. Kerugian Keuangan Negara pada perusahaan BUMN bukan kerugian keuangan negara, melainkan kerugian perusahaan BUMN itu sendiri. Dengan demikian, kerugian keuangan tersebut tunduk pada ketentuan hukum privat baik yang diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 maupun Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang PT. Kata Kunci : Hukum Bisnis
KETERANGAN SAKSI SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH TERHADAP PEMERIKSAAN PERKARA PERDAGANGAN ORANG DI PENGADILAN Bunaen, Indra Revalino
LEX CRIMEN Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan saksi dalam proses penyelesaian perkara tindak pidana perdagangan orang dan bagaimana pemeriksaan keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah dalam proses pembuktian perkara perdagangan orang di pengadilan.  Denagn menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Kedudukan saksi dalam proses penyelesaian perkara tindak pidana perdagangan orang menunjukkan sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya. Perlu adanya satu alat bukti yang sah lainnya untuk mendukung keterangan seorang saksi korban untuk membuktikan terdakwa bersalah dapat terpenuhi apabila ada Alat bukti lain yang sah seperti keterangan ahli; surat; petunjuk; keterangan terdakwa dan hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. 2. Pemeriksaan keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah dalam proses pembuktian perkara perdagangan orang di pengadilan sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor  21 Tahun  2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam hal saksi dan/atau korban tidak dapat dihadirkan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, keterangan saksi dapat diberikan secara jarak jauh melalui alat komunikasi audio visual. Selama proses pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan/atau korban berhak didampingi oleh advokat dan/atau pendamping lainnya yang dibutuhkan. Saksi dan/atau korban berhak meminta kepada hakim ketua sidang untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa. Dalam hal saksi dan/atau korban akan memberikan keterangan tanpa kehadiran terdakwa, hakim ketua sidang memerintahkan terdakwa untuk keluar ruang sidang. Pemeriksaan terdakwa dapat dilanjutkan setelah kepada terdakwa diberitahukan semua keterangan yang diberikan saksi dan/atau korban pada waktu terdakwa berada di luar ruang sidang pengadilan. Kata kunci: Keterangan saksi, alat bukti, perdagangan orang

Page 2 of 3 | Total Record : 21


Filter by Year

2015 2015


Filter By Issues
All Issue Vol. 12 No. 5 (2024): Lex Crimen Vol. 12 No. 4 (2024): Lex crimen Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Crimen Vol. 11 No. 5 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 2 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 1 (2022): Lex Crimen Vol 10, No 13 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 12 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 11 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 10 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 8 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 5 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 4 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 3 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 2 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 1 (2021): Lex Crimen Vol 9, No 4 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 3 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 2 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 1 (2020): Lex Crimen Vol 8, No 12 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 10 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 3 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 2 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 1 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 6 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 3 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 1 (2018): Lex Crimen Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 9 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 5 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 4 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 3 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 2 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 1 (2017): Lex Crimen Vol 5, No 7 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 6 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 5 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 4 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 3 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 2 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 1 (2016): Lex Crimen Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 3 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 2 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 1 (2015): Lex Crimen Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 2 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 1 (2014): Lex Crimen Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 4 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 3 (2013): Lex Crimen Vol. 2 No. 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 1 (2013): Lex Crimen Vol 1, No 4 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 3 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 2 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 1 (2012) More Issue