LEX CRIMEN
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana.
Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Articles
20 Documents
Search results for
, issue
"Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen"
:
20 Documents
clear
KEWAJIBAN PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PEMERIKSAAN TERHADAP TERSANGKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA
Tambuwun, Christian
LEX CRIMEN Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Penyidik mendahului dilakukannya pemeriksaan (interogasi) terhadap tersangkadan bagaimana kewajiban-kewajiban Penyidik pada saat melakukan pemeriksaan (interogasi) terhadap tersangka. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Kewajiban-kewajinan Penyidik mendahului dilakukannya pemeriksaan (interogasi) terhadap, yaitu: Kewajiban memanggil tersangka dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar, Kewajiban memberitahu kepada tersangka dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya, Kewajiban memberitahu kepada tersangka haknya mendapat bantuan hukum, Kewajiban memberitahu tentang wajib didampingi penasihat hukum dalam tindak pidana tertentu dan menunjuk penasihat hukum bagi mereka. Tetapi, dalam KUHAP tidak ada sanksi atau akibat hukum yang jelas jika Penyidik melanggar kewajiban-kewajiban tersebut. 2.Kewajiban Penyidik terhadap tersangka pada saat melakukan pemeriksaan (interogasi), yaitu: Kewajiban menanyakan kepada tersangka apa ia menghendaki didengarnya saksi a decharge. Kewajiban memanggil dan memeriksa saksi a decharge jika tersangka menghendaki didengarnya saksi a decharge.            Kewajiban mendapatkan keterangan tersangka tanpa tekanan dari siapapun dan atau bentuk apapun terhadap tersangka. Tetapi, mengenai kewajiban-kewajiban ini, dalam KUHAP tidak ada sanksi atau akibat hukum yang jelas jika Penyidik melanggar kewajiban-kewajiban tersebut.Kata kunci: Kewajiban Penyidik, Pemeriksaan, Tersangka
PENENTUAN UNSUR KERUGIAN NEGARA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI
Temo, Ricky Arsel
LEX CRIMEN Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengelolaan keuangan negara dan penggunaan keuangan negara yang baik dan siapa yang berwenang menentukan unsur kerugian keuangan negara dalam kasus tindak pidana korupsi. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengelolaan keuangan dapat terjadi penyimpangan, dalam bentuk penyalahgunaan wewenang, atau perbuatan melanggar hukum yang berakibat timbulnya kerugian keuangan negara. Problematikanya adalah ketidak pastian hukum dalam menafsirkan mengenai kerugian negara, sesuai dengan prinsip hukum pidana. Kebijakan atau tindakan pemerintah yang diberi atribut untuk kepentingan tertentu, menjadi titik rawan terjadinya penyalahgunaan wewenang, sebagaimana tampak dalam kasus korupsi dewasa ini. Bahkan data korupsi yang ditangani KPK, telah memetahkan wilayah yang menjadi titik rawan korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Kendatipun berbeda modusnya, namun semuanya melekat pada penggunaan kewenangan bebas. 2. BPK, BPKP, dan Kejaksaan diberi wewenang oleh Undang-Undang dalam mengaudit dan dalam hal penentuan unsur kerugian keuangan negara, akan tetapi demi terwujudnya kepastian hukum tentang siapa yang berhak menentukan ada atau tidaknya kerugian negara, Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran No. 04/Bua.6/Hs/SP/XII/2016, hal mana BPK lah yang berhak.Kata kunci: Penentuan unsur kerugian negara, tindak pidana korupsi
PENERAPAN SANKSI PIDANA PENEBANGAN HUTAN TANPA IZIN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Laloan, Grashella
LEX CRIMEN Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk sanksi yang diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan bagaimana penerapan sanksi pidana khususnya terhadap tindakan penebangan hutan tanpa izin. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, bentuk-bentuk sanksi yang diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 merupakan upaya dari bagian penegakan Hukum Lingkungan yang diterapkan kepada kegiatan dan/atau usaha yang ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. Penegakan hukum tersebut ditetapkan dalam bentuk sanksi administrative, perdata dan pidana seperti yang termuat dalam Pasal 76, Pasal. 87 dan Pasal. 97. 2. Sehubungan dengan tindakan penebangan hutan tanpa izin, maka penerapan sanksi pidana dapat dijatuhkan hukuman secara kumulatif, Ketentuan Pasal 97 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyatakan tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pidana merupakan kejahatan, yang secara substansi pengaturannya terdapat dalam Bab XV, yaitu dari Pasal 97 sampai dengan Pasal 120. Perlindungan hutan ini tidak hanya dalam bentuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan tetapi juga mempertahankan hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan dan hasil hutan serta investasi dan perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.Kata kunci: Penerapan sanksi pidana, penebangan hutan, tanpa izin.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KOMSUMEN MENGKONSUMSI MAKANAN KADALUARSA MENURUT UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Rawung, Bella
LEX CRIMEN Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pertanggung jawaban terhadap makanan yang sudah kadaluarsa yang  beredar dan dijual dan bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi makanan kadaluarsa. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pihak yang bertanggung jawab atas makanan yang sudah kadaluarsa yang masih beredar dan dijual adalah pihak pelaku usaha. Ketentuan Pasal 19 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini jelas sekali menegaskan bahwa apa saja yang terjadi yang menimbulkan kerugian pada konsumen menjadi tanggung jawab dari pelaku usaha. Hal-hal yang menimbulkan kerugian bagi konsumen seperti makanan yang sudah kadaluarsa yang masih dijual. Demikian juga pada pasal 1504 KUHPerdata yang berbunyi: “si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksud, atau yang demikian mengurangi pemakaian itu sehingga seandainya si pembeli mengetahui cacat itu, dia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurangâ€. 2. Upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi makanan yang sudah kadaluarsa adalah dengan menuntut tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 19 sampai Pasal 28 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan menuntut ganti kerugian kepada pelaku usaha sesuai dengan ketentuan UU No.7 Tahun 1996 tentang Pangan dan juga menyelesaikan sengketanya melalui pengadilan atau diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Demikian juga dapat menuntut pelaku usaha untuk dapat diberikan hukuman sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 60, 62 dan 63 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.Kata kunci: Perlindungan Hukum, Komsumen, Makanan, Kadaluarsa
ASPEK HUKUM TERHADAP AUTOPSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA MENGGUNAKAN RACUN
Sagai, Bebby Yesica Debora
LEX CRIMEN Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan antara autopsi dan hukum acara pidana dalam penegakan hukum dan bagaimana kegunaan autopsi pada tindak pidana pembunuhan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Hubungan autopsi dengan hukum acara pidana yakni melalui pemeriksaan secara ilmiah dalam melakukan autopsi dapat diperoleh pegangan objektif dan ilmiah dalam melakukan penyidikan, penuntutan, pembelaan atau pemutusan perkara di sidang pengadilan. 2. Kegunaan Autopsi (bedah mayat) merupakan suatu tindakan medis yang dilakukan atas dasar undang-undang sesuai permintaan aparat penegak hukum (penyidik Polri) untuk medapatkan penjelasan penyebab kematian terhadap suatu tindakan pidana pembunuhan.    Kata kunci: Aspek Hukum, Autops, Tindak Pidana, Pembunuhan Berencana, Racun
KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF INDONESIA
Iyan, Anugerah Purnama
LEX CRIMEN Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum Islam dalam kompilasi hukum Islam dan bagaimana kedudukan kompilasi hukum Islam dalam hukum Positif. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Kompilasi Hukum Islam adalah himpunan atau kumpulan berbagai sumber hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang meliputi bidang Hukum Perkawinan, Hukum Perwakafan, dan Hukum Kewarisan. Dari ketiga bidang hukum ini, hanya Hukum Kewarisan saja yang secara langsung merujuk pada ketentuan-ketentuan Hukum Islam, karena belum diatur dalam peraturan perundang-undangan (sekarang masih berupa RUU Kewarisan). Sumber-sumber hukum tersebut menjadikannya sebagai bagian dari hukum positif dengan perbedaan antara lainnya ialah Hukum Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam melainkan berlaku pula bagi pemeluk agama dan kepercayaan lainnya di Indonesia. Hukum Perwakafan dan Hukum Kewarisan hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam dan merupakan bagian penting dari Hukum Islam. 2. Kedudukan Kompilasi Hukum Islam sebagai bagian dari hukum positif berkaitan dengan Kewenangan Peradilan Agama untuk mana peradilan bagi orang-orang beragama Islam dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan dengan menggunakan Kompilasi hukum Islam sebagai pedoman, sehingga terdapat kesamaan persepsi dikalangan para hakim mengingat umat Islam pun masih terdiri atas berbagai mashab maupun sekte tertentu.Kata kunci: Kompilasi, Hukum Islam, Hukum Positif
KAJIAN YURIDIS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1987 TENTANG PENYEDIAAN DAN PENGGUNAAN TANAH UNTUK KEPERLUAN TEMPAT PEMAKAMAN
Lumombo, Deni Tamawiwy
LEX CRIMEN Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana prosedur pembangunan tempat pemakaman sesuai dengan peraturan yang berlaku dan bagaimana pentingnya peraturan tentang pemakaman menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1987. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pendirian Bangunan Pemakaman telah jelas diatur dalam beberapa peraturan yang berlaku di Indonesia dan telah memiliki prosedur yang tepat dimana Pemerintah dalam hal Pembangunan Pemakaman Umum, Bukan Umum, Pemakaman Khusus, Krematorium bahkan Untuk tempat penyimpanan abu jenazah telah disediakan lahan dengan melalui prosedur yang telah ditetapkan pemerintah melalui pertimbangan- pertimbangan yang ada agar terciptanya lingkungan atau kawasan yang tertata dengan baik dan benar yang memperhatikan juga mengenai aspek tata ruang kawasan perkotaan maupun desa serta kepada setiap warga yang akan membangun makam akan dikenakan retribusi yang ditetapkan sesuai dengan peraturan yang berlaku. 2. Penerapan Izin Mendirikan bangunan Pemakaman sesuai peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1987 tentang penyediaan tanah untuk tempat pemakaman masih belum sepenuhnya terlaksana dengan baik karena masih ditemukaannya bangunan-bangunan pemakman yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada sehingga peran pemerintah sangat dibutuhkan dan ketaatan masyarakat terhadap peraturan ini perlu agar tercapainnya keserasian dan penggunaan tanah yang sesuai.Kata: Kajian Yuridis, Penyediaan, Pengadaan. Tanah, Pemakaman.
JUAL BELI TANAH YANG BELUM BERSERTIFIKAT DITINJAU DARI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH Oleh: Mardalin Gomes
Gomes, Mardalin
LEX CRIMEN Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana prosedur jual beli tanah yang belum bersertifikat menurut PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan bagaimana akibat-akibat hukum jual beli tanah yang belum bersertifikat. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Jual beli tanah yang belum terdaftar menurut hukum positif di Indonesia harus dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang yang dibuktikan dengan Akta Jual Beli. Jual beli tanah yang belum terdaftar yang dibuktikan dengan Akta Jual Beli dari PPAT adalah sah menurut hukum dan merupakan alat bukti yang dapat digunakan untuk keperluan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang akan dilaksanakan oleh pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional melalui Kantor Pertanahan setempat. 2. Jual beli tanah yang belum terdaftar yang dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agaraia, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah mengakibatkan jual beli tanah yang belum terdaftar tersebut sah dan memperoleh jaminan kepastian serta perlindungan hukum menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.Kata kunci:Â Jual Beli Tanah, Belum Bersertifikat, Pendaftaran Tanah
PENERAPAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2011
Lepong, Tiara Putri Asmara
LEX CRIMEN Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum terhadap tindak pidana perdagangan berjangka komoditi dan bagaimana penerapan hukum terhadap tindak pidana perdagangan berjangka komoditi ditinjau dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengaturan hukum terhadap tindak pidana perdagangan berjangka komoditi diatur Pasal 71, Pasal 72, dan Pasal 73 UU No. 10 Tahun 2011. Dalam pasal-pasal tersebut kita dapat mengetahui unsur-unsur yang memenuhi seseorang dapat dikenakan sanksi pidana akibat melakukan tindak pidana perdagangan berjangka komoditi. Sanksi pidana tersebut berupa pidana penjara maupun pidana denda yang ditujukan terhadap segala bentuk tindak pidana yang dilakukan tidak hanya oleh para pihak atau pelaku pasar selaku individu atau orang, melainkan juga dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa perdagangan berjangka yang telah berbentuk badan hukum. Perusahaan penyedia jasa perdagangan berjangka juga dapat dikenakan sanksi administratif dari Bappebti apabila melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 atau peraturan pelaksanaannya.   2. Penerapan hukum terhadap tindak pidana perdagangan berjangka komoditi sama dengan penerapan hukum terhadap tindak pidana yang lain yaitu setiap Pihak yang terbukti melakukan tindak pidana harus dihukum berdasarkan ketentuan dalam undang-undang. Namun apabila ditinjau dari Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2011 dimana pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Bappebti diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perdagangan berjangka. Sehingga apabila korban ingin melapor telah terjadi tindak pidana perdagangan berjangka komoditi, korban harus membuat laporan langsung ke kantor Bappebti yang berlokasi di Jakarta.Kata kunci: Penerapan Hukum, Tindak Pidana, Berjangka Komoditi.
TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2013 SEBAGAI TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL YANG TERORGANISASI (TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME)
Rantung, Edwin Fernando
LEX CRIMEN Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana pendanaan terorisme dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme dan bagaimana pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan dalam hal dipandang sebagai tindak pidana transnasional yang terorganisasi (transnational organized crime). Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengaturan tindak pidana pendanaan terorisme dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013, yaitu Pasal 4 merupakan tindak pidana pokok pendanaan terorisme yang telah mencakup rumusan 3 (tiga) tindak pidana berkenaan dengan pendanaan terorisme dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 juncto Perpu Nomor 1 Tahun 2002, yaitu Pasal 11 (menyediakan atau mengumpulkan dana), Pasal 12 (mengumpulkan harta kekayaan untuk melakukan tindakan berkenaan dengan bahan nuklir), dan Pasal 13 huruf a (memberikan atau menyewakan uang, barang atau harta kekayaan lainnya); tetapi yang dicakup hanya sepanjang perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (Bel.: opzet; Lat.: dolus) karena Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 hanya memiliki unsur dengan sengaja. 2. Dalam hal pendanaan terorisme yang dilakukan lintas negara dipandang sebagai tindak pidana transnasional yang terorganisasi (transnational organized crime) maka negara-negara yang berpandangan demikian dapat membuat membuat perjanjian kerja sama antarnegara yang akan makin mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme.Kata kunci: Tindak Pidana, Pendanaan, Terorisme.