LEX CRIMEN
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana.
Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Articles
20 Documents
Search results for
, issue
"Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen"
:
20 Documents
clear
TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN PENASEHAT HUKUM MENURUT PASAL 56 AYAT (1) KUHAP
Mapia, Arfin Pratama
LEX CRIMEN Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah pendampingan penasehat hukum bagi tersangka menurut KUHAP dan bagaimana penerapan Pasal 56 ayat 1 KUHAP pada proses pemeriksaan tersangka, di mana dengan metode penelitian hukum normative disimpulkan bahwa: 1. Pendampingan penasehat hukum menurut KUHAP merupakan hak dari tersangka. Bahkan apabila tersangka diancam dengan pidana mati atau 15 (lima belas) tahun keatas dan/atau bagi terdakwa yang kurang mampu yang dipidana 5 (lima) tahun atau lebih atau yang tidak mempunyai penasehat hukum, pejabat disetiap tingkat pemeriksaan wajib memberikan bantuan hukum berupa penujukan penasehat hukum secara cuma-cuma. Penunjukan penasehat hukum dengan tanpa imbalan masih sangat memprihatinkan, idealisme penasehat hukum untuk membela tersangka atau terdakwa kadangkala luntur. 2. Hak atas bantuan hukum atau hak tersangka didampingi penasihat hukum adalah wajib. Penyidik atau pejabat yang memeriksa wajib memberitahu hak-hak tersangka dan menyediakan itu jika tersangka/terdakwa tidak mampu, seperti diatur dalam Pasal 144 jo Pasal 56 ayat 1 KUHAP. Jika hak tersebut tidak dipenuhi maka dakwaan atau tuntutan dari penuntut umum menjadi tidak sah sehigga harus dinyatakan batal demi hukum, sebagaimana dinyatakan dalam beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung.Kata kunci: tersangka; penasehat hukum;
KAJIAN YURIDIS TERHADAP PENYIMPANGAN BANTUAN SOSIAL DESA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI
Natarang, Ilvana Natalia
LEX CRIMEN Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengawasan dan perlindungan hukum untuk peran masyarakat terhadap penyimpangan bantuan sosial dan bagaimana sanksi hukum terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pejabat yang melakukan penyimpangan bantuan sosial desa menurut Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Dengabn menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengawasan dan perlindungan hukum untuk peran masyarakat terhadap penyimpangan bantuan sosial diperlukan Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan di dalam suatu negara karena merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat untuk ikut mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih. Partisipasi masyarakat umum dalam penyelenggaraan negara memberikan jaminan bisa tercapainya Indonesia yang lebih baik yang sampai saat ini masih menjadi mimpi. Kelompok masyarakat miskin dan marjinal sangat ingin didengar suarahnya. 2. Sanksi hukum terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pejabat yang melakukan penyimpangan bantuan sosial menurut Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tercantum pada Pasal 3 yang menjelaskan bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau oranglain atau suatau korporasi, menyelahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah). Selanjutnya.Kata kunci: Kajian Yuridis, Penyimpangan Bantuan Sosial Desa, Tindak Pidana Korupsi.
GANTI RUGI TERHADAP KELUARGA KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN HILANGNYA NYAWA SESEORANG TANPA MENGHAPUS ATAU MENGURANGI PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA
Kapoh, Evanggelin Oktavian Hesti Utami
LEX CRIMEN Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi pemberian ganti rugi terhadap keluarga korban kecelakaan lalu lintas dan apa pemberian ganti rugi terhadap korban/keluarga korban kecelakaan lalu lintas akan menghapus atau mengurangi pertanggung jawaban pidana. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Hakim memandang setiap santunan yang diberikan kepada korban kecelakaan lalu lintas jalan ini nantinya akan dipertimbangkan dalam memeriksa dan mengadili perkara kecelakaan lalu lintas jalan tersebut sebagai hal yang meringankan bagi terdakwa. Pemberian santunan bagi korban kecelakaan lalu lintas jalan dipandang Hakim sebagai suatu bentuk perhatian dari pembuat (terdakwa) kepada korbannya.Hakim mengatakan bahwa santunan hanyalah sebagai bentuk perhatian dari pembuat kecelakaan lalu lintas jalan kepada korbannya dan bukan sebagai wujud pertanggungjawaban pelaku.Hal ini disebabkan bahwa pemberian santunan itu bukan sebagai sanksi atas terjadinya kecelakaan lalu lintas jalan. Sanksi yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanyalah berupa sanksi pidana penjara saja. 2. Orang yang didakwa melakukan kejahatan terutama mengenai kecelakaan lalu lintas jalan (melanggar Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP) dan diadili di pengadilan, dengan membayar sejumlah uang maka ia akan mendapatkan keringanan hukuman. Hal inilah yang ingin dihindari oleh Hakim agar tidak terjadi kontroversi di dalam masyarakat. Dasar hukum pertimbangan Hakim mengenai pemberian santunan bagi korban kecelakaan lalu lintas jalan sebagai salah satu hal yang meringankan bagi terdakwa adalah sikap pribadi dari Hakim itu sendiri.Tidak ada aturan Hukum yang mengatur hal tersebut. Seorang Hakim akan senantiasa mempertimbangkan bentuk perhatian dari seorang terdakwa maupun keluarganya yang dilakukan terhadap korban terutama korban kecelakaan lalu lintas jalan yang mengalami luka berat bahkan sampai meninggal dunia.Kata kunci: Ganti Rugi, Keluarga Korban Kecelakaan Lalu Lintas, Hilangnya Nyawa Seseorang, Tanpa Menghapus Atau Mengurangi Pertanggung Jawaban Pidana
PENYELESAIAN UANG PENGGANTI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI
Dandel, Abraham Kevin Lawalata
LEX CRIMEN Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kedudukan lembaga kejaksaan dalam menyelesaikan tunggakan uang penganti dalam tindak pidana korupsi dan bagaimana penyelesaian uang pengganti menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang tindak pidana korupsi sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak pidana Korupsi, yang dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Penyelesaian uang pengganti menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang tindak pidana korupsi sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak pidana Korupsi, adalah salah satu cara untuk mengembalikan kerugian negara yang hilang adalah dengan memberikan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Uang pengganti sebagai pidana tambahan dalam tindak pidana korupsi harus dipahami sebagai bagian dari upaya pemidanaan terhadap mereka yang melanggar hukum. Jumlah uang pengganti adalah kerugian negara yang secara nyata dinikmati atau memperkaya terdakwa atau karena kausalitas tertentu, sehingga terdakwa bertanggungjawab atas seluruh kerugian Negara. 2. Kedudukan lembaga kejaksaan dalam menyelesaikan tunggakan uang penganti, menurut hukum jelas dapat menuntut secara  perdata karena Jaksa dapat  mewakili negara atau pemerintah RI, baik di pengadilan (litigasi) maupun di luar pengadilan (non litigasi); termasuk antara lain upaya untuk menyelamatkan/mengembalikan kerugian keuangan negara melalui pengajuan gugatan perdata oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN). Artinya di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.†Dengan demikian dapat dikatakan bahwa  Jaksa Di bidang Perdata dan Jaksa di bidang Tata Usaha Negara, yang bertindak untuk dan atas nama Negara atau Pemerintah boleh bertindak di dalam maupun di luar pengadilan termaksud dalam lapangan hukum perdata untuk beracara hingga ke Mahkamah Agung, dengan surat kuasa khusus.Kata kunci: korupsi; uang pengganti;
SANKSI PIDANA ATAS PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM MELAKUKAN TRANSITO NARKOTIKA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
Mogi, Terry G.
LEX CRIMEN Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum mengenai transito narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan bagaimana pemberlakuan sanksi pidana atas perbuatan melawan hukum dalam melakukan transito narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengaturan hukum mengenai transito narkotika dan prekursor narkotika diatur menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, dan Peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor 168/Menkes/Per/ll/2005. Transito narkotika harus dilengkapi dengan dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang sah dari pemerintah negara pengekspor dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah dari pemerintah negara pengimpor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor dan pengimpor. 2. Pemberlakuan sanksi pidana dapat dikenakan atas perbuatan melawan hukum dalam melakukan transito narkotika dan prekursor narkotika termasuk jenis-jenis perbuatan lainnya yang berkaitan erat dengan tindak pidana transito yang telah terbukti secara sah menurut hukum dapat dikenakan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, pidana penjara dan pidana denda sesuai dengan bentuk perbuatan pidana yang terbukti dilakukan. Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda yang berlaku. Selain pidana denda korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan hukum.Kata kunci: Sanksi Pidana, Perbuatan Melawan Hukum, Melakukan Transito Narkotika
PENYITAAN HARTA BENDA HASIL TINDAK PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA
Lawalata Dandel, Danielo Chris
LEX CRIMEN Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah mengetahui jenis-jenis tindak pidana apa yang dapat dilakukan tindakan penyitaan terhadap harta benda hasil tindak pidana dan apakah yang menjadi tujuan dari penyitaan harta benda hasil tindak pidana menurut Hukum Pidana Indonesia, di mana dengan menggunakan metode penelitian hukum normative disimpulkan bahwa: 1. Jenis-jenis tindak pidana yang harta benda hasil tindak pidana dapat dilakukan narkotika, tindak pidana illegal loging, tindak pidana illegal fishing dan tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana asal. 2. Tujuan dilakukannya penyitaan terhadap harta benda hasil tindak pidana adalah untuk mengembalikan kerugian keuangan negara dan tujuan akhir penyitaan yaitu untuk sebesar-besarnya kemanfaatan bangsa dan negara. Â Â Kata kunci: korupsi; penyitaan;
TINDAK PIDANA PENIMBUNAN PANGAN POKOK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PANGAN
Lewan, Reinvin
LEX CRIMEN Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui  bagaimana pengaturan dakwaan penimbunan atau penimpanan pangan pokok dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 dan bagaimana pengaturan tindak pidana penimbunan atau penyimpanan pangan pokok dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pasal 133 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 dapat menjadi dakwaan tunggal terhadap Pelaku Usaha Pangan yang menimbun/menyimpan Pangan Pokok melebihi jumlah maksimal yang mengakibatkan harga Pangan Pokok menjadi mahal/melambung tinggi; tetapi jika Pelaku Usaha Pangan tetap melanjutkan perbuatan menimbun/menyimpan itu setelah harga menjadi mahal/melambung tinggi, maka dapat disertakan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014, sehingga dakwaan berbentuk dakwaan kumulatif. 2. Pasal 133 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 mengancamkan pidana terhadap Pelaku Usaha Pangan yang menimbun atau menyembunyikan Pangan Pokok (terutama beras) melebihi jumlah maksimal yang ditentukan yang mengakibatkan harga Pangan Pokok menjadi mahal atau melambung tinggi; di mana jumlah maksimal ini. Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012, akan diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah, dan untuk telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi, tetapi Peraturan Pemerintah ini kembali menyerahkan pengaturan jumlah maksimal tersebut kepada Peraturan Menteri Perdagangan; tetapi sampai sekarang Peraturan Menteri dimaksud belum diterbitkan.Kata kunci: Tindak Pidana, Penimbunan, Pangan Pokok
PENYIDIKAN PELANGGARAN KETENTUAN PIDANA ATAS RAHASIA DAGANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG
Baeruma Maabuat, Cindy Gaciela
LEX CRIMEN Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya yaitu untuk mengetahui bagaimanakah terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum terhadap rahasia dagang dan bagaimanakah penyidikan pelanggaran hukum atas rahasia dagang menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang, yang dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Bentuk-bentuk pelanggaran hukum rahasia dagang terjadi apabila seseorang dengan sengaja mengungkapkan rahasia dagang dengan cara mengingkari kesepakatan atau mengingkari kewajiban tertulis atau tidak tertulis untuk menjaga rahasia dagang yang bersangkutan dan pihak lain memperoleh atau menguasai rahasia dagang tersebut dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan rahasia dagang pihak lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 2. Penyidikan pelanggaran hukum atas rahasia dagang dilakukan oleh penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi Hak Kekayaan Intelektual diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-uundang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Rahasia Dagang. Kewenangan penyidik, yaitu melakukan pemeriksaan atas kebenaran pengaduan atau keterangan dan pembukuan, pencatatan dan dokumen lainnya, barang bukti serta terhadap pihak yang melakukan tindak pidana di bidang Rahasia Dagang. Penyidik dapat melakukan penyitaan terhadap bahan dan/atau barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Rahasia Dagang, dan/atau meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Rahasia Dagang.Kata kunci: rahasia dagang; penyidikan;
SANKSI PIDANA BAGI PEMBERI BANTUAN HUKUM AKIBAT MELAKUKAN PELANGGARAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM
Budiman, Rolan Y.
LEX CRIMEN Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk perbuatan pidana yang dapat dikenakan sanksi pidana apabila dilakukan oleh pemberi bantuan hukum menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum dan bagaimana sanksi pidana diberlakukan bagi pemberi bantuan hukum akibat melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Bentuk perbuatan pidana yang dapat dikenakan sanksi pidana apabila dilakukan oleh pemberi bantuan hukum menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, yaitu pemberi bantuan hukum menerima atau meminta pembayaran dari penerima bantuan hukum dan/atau pihak lain yang terkait dengan perkara yang sedang ditangani pemberi bantuan hukum. Larangan untuk menerima atau meminta pembayaran dari penerima bantuan hukum dimaksudkan, karena pemerintah telah menyediakan dana untuk penyelenggaraan Bantuan Hukum yang dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. 2. Sanksi pidana diberlakukan bagi pemberi bantuan hukum akibat melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, yaitu bagi pemberi bantuan hukum yang terbukti menerima atau meminta pembayaran dari penerima bantuan hukum dan/atau pihak lain yang terkait dengan perkara yang sedang ditangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Ketentuan-ketentuan hukum mengenai pemberlakuan sanksi pidana bagi pemberi bantuan hukum karena melanggar larangan yang berlaku bertujuan untuk memberikan efek jera bagi pelakunya dan bagi pemberi bantuan hukum lainnya merupakan suatu peringatan untuk tidak melakukan perbuatan yang sama.Kata kunci: Kajian Yuridis, Sanksi Pidana, Pemberi Bantuan Hukum.
PEMBERLAKUAN SANKSI PIDANA AKIBAT TERBUKTI MEMINTA PEMBAYARAN DARI PENERIMA BANTUAN HUKUM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM
Kasiha, Yoel M. F.
LEX CRIMEN Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana aturan pemberian bantuan hukum kepada penerima bantuan hokum dan bagaimana pemberlakuan sanksi pidana terhadap pemberi bantuan hukum akibat terbukti mememinta pembayaran dari penerima bantuan hukum menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pemberian bantuan hukum diberikan kepada penerima bantuan hukum yang sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dan tidak melanggar ketentuan pidana, dilaksanakan sesuai dengan asas dan tujuan pemberian bantuan hukum, ruang lingkup pemberian bantuan hukum dan syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum dengan memperhatikan hak dan kewajiban pemberi bantuan hukum dan penerima bantuan hukum serta pemanfaatan dana untuk penyelenggaraan bantuan hukum yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja dan Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). 2.Pemberlakuan sanksi pidana terhadap pemberi bantuan hukum akibat terbukti mememinta pembayaran dari penerima bantuan hukum menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, yaitu dapat dikenakan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pemberlakuan ancaman sanksi pidana ini dimaksudkan untuk melindungi penerima bantuan hukum agar dapat memperoleh jasa pelayanan hukum dengan cuma-cuma, karena dana penyelenggaraan bantuan hukum telah disediakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah.Kata kunci: Sanksi Pidana, Meminta Pembayaran, Penerima, Bantuan Hukum