cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
LEX CRIMEN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana. Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Arjuna Subject : -
Articles 12 Documents
Search results for , issue "Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen" : 12 Documents clear
PERAN PERINTAH JABATAN DAN PERINTAH JABATAN TANPA WEWENANG MENURUT PASAL 51 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA Dagilaha, Yitzhak B.
LEX CRIMEN Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan perintah jabatan dan perintah jabatan tanpa wewenang dalam Pasal 51 KUHP dan bagaimana peran perintah jabatan dan perintah jabatan tanpa wewenang dalam memberi keseimbangan antara perlindungan pelaku dan kepentingan umum. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengaturan perintah jabatan dan perintah jabatan tanpa wewenang dalam Pasal 51 KUHP, pertama-tama untuk melindungi pelaku yang melaksanakan perintah jabatan karena melaksanakan perintah jabatan merupakan sesuatu yang sesuai dengan tata tertib dan juga ada ancaman pidana dalam Pasal 216 ayat (1) KUHP terhadap orang yang tidak menuruti perintah atau permintaan pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu. 2. Peran perintah jabatan dan perintah jabatan tanpa wewenang dalam memberi keseimbangan antara perlindungan pelaku dan kepentingan umum yaitu berdasarkan Pasal 51 KUHP tidak semua perintah jabatan dapat melepaskan seseorang dari pidana melainkan suatu perintah harus dipikir-pikir lebih dahulu; yaitu apakah tidak bertentangan dengan hukum, kepatutan, dan kemanusiaan.Kata kunci: Peran Perintah Jabatan, Perintah Jabatan Tanpa Wewenang, Hukum Pidana
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA DITINJAU DARI PASAL 340 KUHP Marentek, Junio Imanuel
LEX CRIMEN Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tujuan pemidanaan dan unsur-unsur tindak pidana dan bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku pidana pembunuhan berencana ditinjau dari Pasal 340 KUHP. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Tujuan pemidanaan menurut teori yang diambil dari ahli hukum pidana adalah untuk pembalasan yang merupakan tuntutan mutlak dari kesusilaan terhadap penjahat yang telah merugikan orang lain dengan pemidanaan, kemudian teori tujuan yang berguna untuk pencegahan dan pendidikan dan teori gabungan, yang merupakan gabungan teori pembalasan dan teori tujuan. Di dalam KUHP terdapat 2 (dua) macam unsur yaitu unsur objektif yaitu menyangkut perbuatan sesuai keadaan dan unsur subjektif yaitu menyangkut sisi batin pelaku, sengaja (dolus) dan tidak sengaja (culpa). 2. Secara yuridis pertanggungjawaban tindak pidana pembunuhan berencana terdapat dalam Pasal 340 KUHP, dipidana dengan hukuman mati atau dipenjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun.  Membedakan pembunuhan (Pasal 338 KUHP) dan pembunuhan direncanakan dapat dilihat jika pembunuhan biasa itu dilakukan seketika sedangkan pembunuhan berencana, perbuatan menghilangkan nyawa orang lain itu dilakukan setelah ada niat, kemudian mengatur rencana bagaimana pembunuhan itu akan dilaksanakan dalam waktu luang yang dapat diperkirakan si pelaku dapat berpikir dengan tenang.Kata kunci: Pertanggungjawaban, Pidana, Pelaku, Pembunuhan Berencana.
DAYA PAKSA (OVERMACHT) DALAM PASAL 48 KUHP DARI SUDUT DOKTRIN DAN YURISPRUDENSI Rattu, Raldo
LEX CRIMEN Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana daya paksa (overmacht) dalam pendapat ahli hukum (doktrin) dan bagaimana daya paksa dalam yurisprudensi. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Daya paksa (overmacht) dalam pendapat ahli hukum ada yang berpendapat atas 3 (tiga) yaitu: a. daya paksa absolut; b. daya paksa relatif; dan c. keadaan terpaksa/keadaan darurat (noodtoestand), dan ada yang berpendapat bahwa daya paksa absolut tidaklah termasuk termasuk daya paksa, sehingga daya paksa terdiri atas 2 (dua) saya, yaitu: a. daya paksa relatif dan b. keadaan terpaksa. 2. Daya paksa dalam yurisprudensi di Indonesia antara lain telah mengaskan bahwa perasaan pribadi seseorang, misalnya orangnya dikenal sebagai petugas di daerah tersebut, bukanlah suatu daya paksa (putusan MA  No. 121 K/Kr/1960, 30 Mei 1961) dan gaji yang sedikit dari seorang pegawai negeri bukanlah suatu keadaan terpaksa (noodtoestand) untuk melakukan pemalsuan surat dan pemerasan oleh pegawai negeri (putusan MA Nomor 117 K/Kr/1968, 2 Juli 1969).Kata kunci:  Daya Paksa (Overmacht), KUHP, Doktrin,Yurisprudensia
PENANGGULANGAN TERORISME DI INDONESIA SETELAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TERORISME NOMOR 5 TAHUN 2018 TENTANG TINDAK PIDANA TERORISME Senduk, Marcelus M.
LEX CRIMEN Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya peneltian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penegakan hukum terhadap kejahatan terorisme sebagai extra ordinary crime? Dan bagaimana arah kebijakan penanggulangan terorisme di Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Kejahatan terorisme telah menjadi kejahatan internasional dan lintas batas negara (Transnational Crimes) yang memiliki ciri atau kekhasan tersendiri yang membedakannya dengan kejahatan biasa sehingga terorisme dapat digolongkan sebagai ‘Extraordinary crime’ karena dilakukan dengan tindak kekerasan, menggunakan cara-cara yang sifatnya menakut-nakuti, membahayakan dan bahkan mengakibatkan kematian bagi orang-orang sipil, menargetkan fasilitas umum maupun pemerintah, dilakukan dan direncanakan oleh kelompok yang terorganisir, dengan tujuan untuk mewujudkan hal-hal yang bersifat agama, politik dan ideologi. 2. Arah kebijakan penanggulangan terorisme di Indonesia telah banyak melakukan upaya-upaya dalam menanggulangi terorisme. Upaya tersebut dilakukan dalam lingkup internal dan eksternal. Upaya penanggulangan terorisme dalam lingkup internal menggunakan metode hard power dan metode soft power. Upaya penanggulangan secara internal dilakukan dengan penegakan hukum, pembentukan BNPT, pelibatan TNI dan Polri.Kata kunci: Penanggulangan, Terorisme, Pemberantasan, Tindak Pidana
SISTIM PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI, AHLI DAN PELAPOR TERHADAP KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI Zakawerus, Dennis Josua
LEX CRIMEN Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kewajiban setiap warga negara serta satuan pengawasan intern dalam  melaporkan adanya tindak pidana korupsi dan bagaimana perlindungan terhadap pelapor, saksi dan ahli didalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Terhadap auditor, baik sebagai warga negara maupun sebagai pegawai negeri memiliki hak, tanggung jawab serta kewajiban untuk memberikan informasi atau melaporkan hasil temuannya kepada aparat penegak hukum, apabila temuan tersebut ada indikasi penyimpangan (fraud) yang mengarah pada suatu tindak pidana korupsi, hal ini tentunya dalam rangka mendorong penerapan good corporate governance secara konsisten di dalam dunia usaha. Perlindungan terhadap pelapor atau whistleblower diperlukan untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi orang-orang yang memiliki keberanian untuk melaporkan dan mengungkapkan kasus-kasus tindak pidana korupsi, namun perlu dibedakan antara pelapor yang murni memberikan kesaksian terhadap terjadinya suatu tindak pidana dan terhadap pelapor yang juga turut serta melakukan tindak pidana (participant whistleblower), karena yang terakhir ini masih belum mendapatkan perlindungan dari suatu peraturan perundang-undangan. 2. Dalam penanganan tindak pidana korupsi yang menggunakan alat bukti keterangan ahli (auditor) perlu segera dibuat peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan bagi ahli dan keluarganya (sejalan dengan sebagaimana dimaksud article 32 dan 33 UNCAC/United Nations Convention Against Corruption tahun 2003).Kata kunci: Sistim Perlindungan,  Saksi , Ahli, Pelapor ,Tindak Pidana Korupsi
PROVOKASI UNTUK MELAKUKAN TINDAK PIDANA DARI SUDUT PENGANJURAN (PASAL 55 AYAT (1) KE-2 KUHP) DAN TINDAK PIDANA PENGHASUTAN (PASAL 160 - PASAL 163BIS KUHP) Andawari, Jovian Chrisnan
LEX CRIMEN Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana cara pengaturan menganjurkan/membujuk/menggerakkan (uitlokken) dalam Pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP berkenaan dengan tindakan provokasi (menghasut, memancing, mempengaruhi) untuk melakukan tindak pidana dan bagaimana cara pengaturan delik-delik penghasutan dalam Pasal 160 sampai Pasal 163bis KUHP berkenaan dengan tindakan provokasi untuk melakukan tindak pidana. Dengan menggunakan metode peneltian yuridis normative, disimpulkan: 1. Pengaturan menganjurkan/membujuk/menggerakkan (uitlokken) dalam Pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP berkenaan dengan tindakan provokasi (menghasut, memancing, mempengaruhi) untuk melakukan tindak pidana yaitu perbuatan menganjurkan/membujuk/menggerakkan (uitlokken) dapat mencakup perbuatan perbuatan provokasi sepanjang cara melakukan provokasi adalah sesuai cara-cara yang ditentukan dalam Pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP.  2. Pengaturan delik-delik penghasutan dalam Pasal 160 sampai Pasal 163bis KUHP berkenaan dengan tindakan provokasi untuk melakukan tindak pidana, yaitu tindakan provokasi berupa tindakan-tindakan penghasutan tertentu telah dijadikan delik tersendiri dalam Pasal 160, Pasal 161, Pasal 162, Pasal  163, dan Pasal 163bis KUHP.Kata kunci: Provokasi, Tindak Pidana, Sudut Penganjuran, Penghasutan.
SANKSI PIDANA TERHADAP KORPORASI AKIBAT MELAKUKAN KEJAHATAN PORNOGRAFI Aji, Moh. Krisna Bayu
LEX CRIMEN Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk kejahatan pornografi apabila dilakukan oleh korporasi dapat dikenakan sanksi pidana dan bagaimana pemberlakuan sanksi pidana terhadap korporasi akibat melakukan kejahatan pornografi. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Kejahatan pornografi apabila dilakukan korporasi dan dapat dikenakan sanksi pidana merupakan perbuatan-perbuatan kejahatan sebagaimana diatur pada Pasal 29 sampai dengan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, antara lain memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi atau menyediakan jasa pornografi dan bentuk-bentuk perbuatan lainnya.Tindak pidana pronogarfi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, sampai dengan Pasal 38 adalah kejahatan. 2. Sanksi pidana terhadap korporasi akibat melakukan kejahatan pornografi yang dapat dikenakan selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap korporasi dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap Pasal Pasal 29 sampai dengan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Selain pidana pokok korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa: pembekuan izin usaha; pencabutan izin usaha; perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan pencabutan status badan hukum.Kata kunci: Sanksi Pidana, Korporasi, Pornografi
VISUM ET REPERTUM DALAM PROSES PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) Tarigan, Indri Novita
LEX CRIMEN Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaiamana visum et repertum dalam proses pembuktian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dan apa kendala pengambilan visum et repertum dalam proses pembuktian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Bahwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa hanya diperlukan atau dibutuhkan keterangan seorang saksi korban saja dianggap sudah cukup sepanjang didukung dengan satu alat bukti lain yang sah menurut undang-undang. Dalam kasus yang dikemukan dalam penulisan ini oleh penulis, pada proses pembuktiannya digunakan alat bukti yaitu keterangan saksi korban, keterangan saksi, keterangan terdakwa dan alat bukti surat yaitu Visum Et Repertum untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Baik dalam proses penyidikan sampai pada proses pembuktian di persidangan, ditemukan persesuaian antara keterangan saksi, keterangan terdakwa dan dihubungkan dengan bukti surat Visum Et Repertum. 2. Pada umumnya, sering kali terjadi faktor penghambat pembuktian kekerasan psikis pada kasus kekerasan dalam rumah tangga disebabkan: Pertama, masih terdapat perbedaan pemahaman dikalangan aparat penegak hukum tentang penerapan hukum kekerasan dalam rumah tangga, sehingga terjadi pula perbedaan persepsi tentang pembuktiannya; Kedua, terdapat rentang waktu yang cukup lama antara kejadian dan pemeriksaan Visum Et Repertum, sehingga hasil visum menjadi kurang mendukung terhadap proses hukum.Kata kunci: Visum Et Repertum, Proses Pembuktian, Tindak Pidana, Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
SANKSI PIDANA BAGI INDUSTRI FARMASI AKIBAT TIDAK MELAKSANAKAN KEWAJIBANNYA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA Saroinsong, Eka
LEX CRIMEN Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kewajiban industri farmasi menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan bagaimana sanksi pidana bagi pengurus industri farmasi akibat tidak melaksanakan kewajibannya menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Kewajiban industri farmasi terhadap narkotika yang berada dalam penguasaan industri farmasi wajib disimpan secara khusus dan wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam penguasaannya. Narkotika dapat disalurkan oleh Industri Farmasi dan wajib memiliki izin khusus penyaluran narkotika dari Menteri. Industri Farmasi wajib mencantumkan label pada kemasan Narkotika, baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku Narkotika. 2. Sanksi pidana bagi pengurus industri farmasi akibat tidak melaksanakan kewajibannya untuk mencantumkan label pada kemasan narkotika, baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku Narkotika dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Bagi pimpinan industri farmasi apabila memproduksi Narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).Kata kunci: Sanksi Pidana, Industri Farmasi, Tidak Melaksanakan Kewajibannya, Narkotika
PENGHENTIAN PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PORNOGRAFI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 Mukuan, Marchelino
LEX CRIMEN Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tindak pidana pornografi menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 dan bagaimana penghentian penuntutan oleh Penuntut Umum dalam tindak pidana pornografi berdasarkan KUHAP. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Tindak pidana pornografi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. 2. Penghentian penyidikan oleh penyidik dalam penyidikan tindak pidana pornografi berdasarkan KUHAP adalah karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana pornografi atau penyidikan dihentikan demi hukum. Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan tindak pidana pornografi, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka dan keluarganya. Penghentian penuntutan tindak pidana pornografi oleh penuntut umum harus dituangkan dalam satu surat penetapan penghentian penuntutan (SP3) yang berisi penjelasan dengan terang dan jelas apa yang menjadi alasan penilaian penuntut umum melakukan tindakan penuntutan.Kata kunci: Penghentian  Penyidikan  dan  Penuntutan, Tindak Pidana, Pornografi

Page 1 of 2 | Total Record : 12


Filter by Year

2019 2019


Filter By Issues
All Issue Vol. 12 No. 5 (2024): Lex Crimen Vol. 12 No. 4 (2024): Lex crimen Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Crimen Vol. 11 No. 5 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 2 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 1 (2022): Lex Crimen Vol 10, No 13 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 12 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 11 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 10 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 8 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 5 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 4 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 3 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 2 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 1 (2021): Lex Crimen Vol 9, No 4 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 3 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 2 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 1 (2020): Lex Crimen Vol 8, No 12 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 10 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 3 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 2 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 1 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 6 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 3 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 1 (2018): Lex Crimen Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 9 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 5 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 4 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 3 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 2 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 1 (2017): Lex Crimen Vol 5, No 7 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 6 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 5 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 4 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 3 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 2 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 1 (2016): Lex Crimen Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 3 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 2 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 1 (2015): Lex Crimen Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 2 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 1 (2014): Lex Crimen Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 4 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 3 (2013): Lex Crimen Vol. 2 No. 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 1 (2013): Lex Crimen Vol 1, No 4 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 3 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 2 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 1 (2012) More Issue