cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota banjarbaru,
Kalimantan selatan
INDONESIA
Naditira Widya
ISSN : 14100932     EISSN : 25484125     DOI : -
Core Subject : Humanities, Art,
Arjuna Subject : -
Articles 9 Documents
Search results for , issue "Vol 14 No 2 (2020): NADITIRA WIDYA VOLUME 14 NOMOR 2 OKTOBER 2020" : 9 Documents clear
PULAU ABIDON : POTENSI ARKEOLOGI DI KAWASAN PULAU TERLUAR RAJA AMPAT Sri Chiirullia Sukandar
Naditira Widya Vol 14 No 2 (2020): NADITIRA WIDYA VOLUME 14 NOMOR 2 OKTOBER 2020
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/nw.v14i2.420

Abstract

Pulau Abidon merupakan suatu pulau karang berbukit-bukit yang berada di kawasan pulau-pulau terluar Raja Ampat di Papua Barat bagian utara. Tulisan ini membahas mengenai potensi arkeologi yang terdapat di situs gua-gua di Pulau Abidon. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami potensi arkeologi yang terdapat di Pulau Abidon. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat eksploratif. Berdasarkan data dan hasil analisis diindikasikan adanya persentuhan budaya asing yang masuk ke kawasan Papua. Potensi arkeologis tersebut dibuktikan dengan tinggalan fragmen gerabah dan lukisan dinding gua. Gambar arang di Gua Abidon 3 menggambarkan kontak budaya dengan penutur bahasa Austronesia. Lebih lanjut, hunian gua dibuktikan dengan temuan berupa alat-alat dari batu, tulang, dan kerang, fragmen gerabah, dan perhiasan kerang. Tinggalan budaya di gua-gua pulau Abidon diduga merupakan alat-alat penunjang kehidupan para penghuninya. Pulau Abidon is a hilly coral island located in the outer islands of Raja Ampat in the northern region of Papua Barat. This research discusses the potency of archaeology in cave sites on Pulau Abidon. This research was aimed to comprehend the archaeology of Pulau Abidon. The method used in this research is exploratory. Based on the data and analysis results, it is indicated that there was a cultural contact with a foreign culture that entered the Papua region. This potency of archaeology was evident by potsherds and rock arts. The charcoal drawings in Gua Abidon 3 illustrate a cultural contact with the Austronesian-language speakers. Furthermore, the cave habitation was evident also by the discovery of tools of stone, bones and shells, and shell ornaments. The cultural heritage in the caves on Pulau Abidon is suggested to be a means of supporting the life of the inhabitants.
KERANGKA MANUSIA DARI SITUS GUA JAUHARLIN 1, KOTA BARU, KALIMANTAN SELATAN [THE HUMAN SKELETON FROM GUA JAUHARLIN 1, KOTA BARU, KALIMANTAN SELATAN] Delta Bayu Murti; Eko Herwanto; Nia Marniati Etie Fajari; Ulce Oktrivia; Gregorius Dwi Kuswanta; Muhammad Wishnu Wibisono; Toetik Koesbardiati
Naditira Widya Vol 14 No 2 (2020): NADITIRA WIDYA VOLUME 14 NOMOR 2 OKTOBER 2020
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/nw.v14i2.423

Abstract

Penelitian di situs Gua Jauharlin 1 telah dilakukan selama dua tahun, pada 2018 dan 2019. Pada tahun kedua diperoleh temuan kerangka manusia. Kondisinya hampir lengkap, tanpa bagian kaki, dan diberi kode GJL 1.1. Akan tetapi, di dekat cranium GJL 1.1, ditemukan sepasang tulang kaki manusia yang diduga milik individu GJL 1.1. Tujuan penelitian ini adalah menentukan identitas rangka GJL 1.1 berkaitan dengan data individu dan analisis konteks kuburnya. Penelitian ini menggunakan metode analisis makroskopis untuk data individu GJL 1.1, serta pendekatan arkeotanatologi untuk analisis konteks kuburnya. Analisis makroskopis menghasilkan informasi profil biologis GJL 1.11, yang mengindikasikan individu berjenis kelamin laki-laki, umur 26,9-42,5 tahun, tinggi badan 155,1 cm–165 cm, dan memiliki afiliasi dengan populasi Asia. Aktivitas mengunyah sirih pinang terindikasi berdasarkan fitur warna kuning kecoklatan pada permukaan labial dan buccal gigi individu GJL 1.1. Hasil analisis arkeotanatologi menunjukkan arsitektur kubur peletakan-penimbunan mayat GJL 1.1, serta tipe kubur yang bersifat primer. Hasil uji short tandem repeat combined deoxyribonucleic acid index system (STR CODIS) dengan menggunakan sampel dari sepasang tulang kaki dan rangka GJL 1.1, menunjukkan bahwa keduanya adalah individu yang berbeda. The two-season researches in Gua Jauharlin 1 site were carried out in 2018 and 2019. A human skeleton, sans its lower limbs, was discovered during the second season of excavation and coded GJL 1.1. However, a pair of human leg bones were found close to the cranium of GJL 1.1, which was suggested to belong to the individual of GJL 1.1. The research objective was to determine the identity of the GJL 1.1 in association with its individual attribute and the analysis of its burial context. This study uses a macroscopic analysis method to obtain individual data of GJL 1.1, as well as an archeothanatology approach to analyse the burial context. The macroscopic analysis yielded information on the biological profile of GJL 1.11 suggesting the individual is male, aged 26.9-42.5 years, height 155.1-165 cm, and has an affiliation with the Asian population. The brownish-yellow stain on the labial and buccal surface of human teeth of GJL 1.1 indicate betel nut chewing. The result of archeothanatological analysis suggests the architecture of the burial of GJL 1.1 with regard to laying-covering corpses and a primary burial. The results of the short tandem repeat combined deoxyribonucleic acid index system (STR CODIS) test, using samples from a pair of leg bones and the GJL 1.1 skeleton, indicate that the two came from different individuals.
ASPEK GEOARKEOLOGI TERHADAP STRATEGI SUBSISTENSI MASYARAKAT DI PESISIR SELATAN BELITUNG DARI ABAD KE-19 SAMPAI AWAL ABAD KE-20 MASEHI Aryandini novita; Ari Mukti Wardoyo Adi
Naditira Widya Vol 14 No 2 (2020): NADITIRA WIDYA VOLUME 14 NOMOR 2 OKTOBER 2020
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/nw.v14i2.425

Abstract

Manusia dapat melakukan berbagai aktivitas untuk bertahan hidup sesuai dengan lingkungan fisik di sekitarnya, dan pada akhirnya menyisakan bentanglahan yang sedemikian rupa saat ini. Dalam upaya bertahan hidup, strategi subsistensi merupakan faktor paling mendasar dalam aktivitas kehidupan manusia. Rekonstruksi aktivitas manusia dalam menjalankan strategi subsistensinya pada masa lalu dapat dilakukan dengan mengkaji lingkungan fisik dan tinggalan arkeologi yang tersisa. Pulau Belitung memiliki peranan penting pada masa kolonial karena kondisi geografisnya. Potensi tambang timahnya mampu menarik perhatian pemerintah Hindia-Belanda untuk mulai melakukan eksploitasi pada abad ke-19 Masehi. Penelitian ini bertujuan untuk memahami pola aktivitas masyarakat di pesisir selatan Pulau Belitung dalam menjalankan strategi subsistensinya dari abad ke-19 hingga awal abad ke-20 Masehi, dengan menggunakan pendekatan geoarkeologi. Variabel yang digunakan sebagai dasar analisis adalah topografi, morfologi, bentuklahan, serta distribusi situs arkeologi dan jenis temuan arkeologi yang ditinggalkan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola aktivitas masyarakat di pesisir selatan Pulau Belitung melibatkan dua ekosistem, yakni perairan dan kelekak. Dua ekosistem tersebut memiliki kedudukan penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di pesisir selatan Pulau Belitung, di mana tambang timah merupakan produk yang mayoritas dieksploitasi. Humans can carry out various activities to survive following the physical environment around them, and eventually, leaving such landscapes as it is today. To survive, the subsistence strategy is the most fundamental factor in human life activities. The reconstruction of human activities in carrying out their subsistence strategy in the past can be done by examining the physical environment and the remaining archaeological remnants. Pulau Belitung played an important role during the colonial period due to its geographical conditions. The potential for tin mining was able to attract the attention of the Dutch East Indies government to start exploiting it in the 19th century. This study aims to comprehend the pattern of community activity on the southern coast of Pulau Belitung in carrying out its subsistence strategy from the 19th to the early 20th century, using a geoarcheological approach. The variables used as the basis for the analysis are topography, morphology, landform, and distribution of archaeological sites and the types of archaeological items left behind. The results of this study indicate that the pattern of community activity on the southern coast of Pulau Belitung Island involves two ecosystems, which are aquatic and kelekak. The two ecosystems have an important position in the daily life of the people on the southern coast of Pulau Belitung, where tin mining is the product that is mostly exploited.
PROSES PEMBENTUKAN BUDAYA DAN DINAMIKA FUNGSI SARKOFAGUS PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI PETANU [CULTURAL FORMATION PROCESS AND THE FUNCTION DYNAMICS OF SARCOPHAGUS IN THE PETANU RIVER CATCHMENT] Nyoman Arisanti; Nyoman Sunarya
Naditira Widya Vol 14 No 2 (2020): NADITIRA WIDYA VOLUME 14 NOMOR 2 OKTOBER 2020
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/nw.v14i2.426

Abstract

Terdapat tiga daerah aliran sungai (DAS) yang mengandung tinggalan arkeologi yang tinggi, antara lain adalah DAS Pakerisan, DAS Wos, dan DAS Petanu. Salah satu tinggalan arkeologi masa prasejarah yang ditemukan pada DAS Petanu adalah sarkofagus. Sarkofagus DAS Petanu masih difungsikan oleh penduduk setempat sampai saat ini. Sarkofagus masuk kembali dalam sistem konteks sekali lagi, setelah melalui serangkaian proses pembentukan budaya, dan perubahan fungsi dalam tatanan kehidupan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk memahami proses pembentukan budaya yang terjadi pada sarkofagus. Lebih lanjut, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui perubahan fungsi sarkofagus dan faktor yang melatarbelakangi perubahan tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan induktif-kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan studi pustaka. Sarkofagus telah mengalami berbagai proses mulai dari buat, pakai, buang, hingga digunakan kembali oleh masyarakat setempat saat ini. Terlepas dari signifikansinya dalam sistem ideologis, sarkofagus telah mengalami pergeseran fungsi dari konteks pemakaman menjadi ritus keagamaan yang lebih sakral. Perubahan fungsi sarkofagus ini disebabkan karena adanya perubahan ideologi masyarakat masa kini, dan adanya kepercayaan mengenai kekuatan benda kuno dalam masyarakat Hindu di Bali. There are three river catchments (DAS) that present abundant archaeological remains, including the Pakerisan, the Wos, and the Petanu. One of the prehistoric archaeological remains found in the Petanu river catchment is a sarcophagus. The sarcophagi of the Petanu river catchment are still used by local residents today. After going through a series of processes of cultural formation and changes in function in people’s living structure, once again the Petanu sarcophagi re-enters a context system. This study aims to comprehend the cultural formation process that has affected the purpose of the Petanu sarcophagi. Further, this study also aims to determine changes in the function of sarcophagi and the factors which caused the changes. This study uses qualitative-inductive reasoning. Data was collected by interview, observation, and literature study. The sarcophagi have undergone various processes ranging from making, using, disposing of, to being reused by the local community today. Despite its significance in the ideological system, the sarcophagus has undergone a shift in function from the context of a funeral to that of a more sacred religious rite. Such alteration in the function of the sarcophagus is due to changes in the ideology of today's society, and the belief in the power of ancient objects in Hindu society in Bali.
BANDAR SUKABUMI IN THE BEGINNING OF THE 19TH CENTURY: THE ROLE OF POLITICAL AUTHORITY IN THE DEVELOPMENT OF RIVER-CITY IN KOTAWARINGIN REGION, SOUTHWESTERN KALIMANTAN Moh Ali Fadillah
Naditira Widya Vol 14 No 2 (2020): NADITIRA WIDYA VOLUME 14 NOMOR 2 OKTOBER 2020
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/nw.v14i2.427

Abstract

Kotawaringin is the name of a small kingdom founded in the first half of the 17th century, centered in Kotawaringin Lama on the upper reaches of Sungai Lamandau, in southwestern Kalimantan. In the early 19th century the royal capital was moved to Pangkalan Bun. The shift of the capital city is an important factor in the history of human geography as a cause of changes in demography and urbanization. This research aimed to find clarity about the agglomeration of river cities in terms of symbolic and pragmatic aspects. Such aspects include the origin, existence, reasons for shifting capital and the type of culture that underlies the function of Kotawaringin as a center of government and trade that grew during the early colonial period. The research used methods which were carried out by observing sites indicated as capitals and ports, combining it with studies of historical sources, as well as collecting physical evidence, including a number of symbolic objects associated with royal legitimacy. Results of contextual analysis provide a set of knowledge about the growth of river city as the implementation of the spatial planning policy of the government and the support of urban communities rooted in Malay culture. The Kingdom of Kotawaringin reached a peak of progress during the reign of Prince Ratu Imanuddin, after the capital was moved to Pangkalan Bun from Kotawaringin Lama. The location of the new capital is on the lower reaches of the Sungai Lamandau, precisely on the banks of the Sungai Arut, which was formerly called Bandar Sukabumi. Kotawaringin adalah nama sebuah kerajaan kecil yang didirikan pada paruh pertama abad ke-17 Masehi, berpusat di Kotawaringin Lama di kawasan hulu Sungai Lamandau, di barat daya Kalimantan. Pada awal abad ke-19 Masehi, ibukota kerajaan dipindahkan ke Pangkalan Bun. Pergeseran ibukota merupakan faktor penting dalam sejarah geografi manusia sebagai penyebab perubahan demografi dan urbanisasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kejelasan tentang aglomerasi kota sungai ditinjau dari aspek simbolik dan pragmatis. Aspek-aspek tersebut mencakup asal usul, keberadaan, alasan perpindahan ibukota dan jenis budaya yang mendasari fungsi Kotawaringin sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan yang tumbuh pada masa kolonial awal. Penelitian ini menggunakan metode yang dilakukan dengan mengamati situs-situs yang diindikasikan sebagai ibukota dan pelabuhan, memadukannya dengan studi sumber-sumber sejarah, serta mengumpulkan bukti-bukti fisik, termasuk sejumlah benda simbolis yang terkait dengan legitimasi kerajaan. Hasil analisis kontekstual memberikan seperangkat pengetahuan tentang pertumbuhan kota sungai sebagai implementasi kebijakan perencanaan tata ruang pemerintah, dan dukungan masyarakat kota yang berakar pada budaya Melayu. Kerajaan Kotawaringin mencapai puncak kemajuan pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Imanuddin, setelah ibu kota dipindahkan ke Pangkalan Bun dari Kotawaringin Lama. Lokasi ibu kota baru berada di bagian hilir Sungai Lamandau, tepatnya di tepi Sungai Arut yang dahulu dinamai Bandar Sukabumi.
SAMPUL DEPAN NADITIRA WIDYA VOLUME 14 NO 2 OKTOBER 2020 Naditira Widya
Naditira Widya Vol 14 No 2 (2020): NADITIRA WIDYA VOLUME 14 NOMOR 2 OKTOBER 2020
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

AMPUL DEPAN NADITIRA WIDYA VOLUME 14 NO 2 OKTOBER 2020
PREFACE NADITIRA WIDYA VOLUME 14 NOMOR 2 OKTOBER 2020 Naditira Widya
Naditira Widya Vol 14 No 2 (2020): NADITIRA WIDYA VOLUME 14 NOMOR 2 OKTOBER 2020
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

PREFACE NADITIRA WIDYA VOLUME 14 NOMOR 2 OKTOBER 2020
APPENDIX NADITIRA WIDYA VOLUME 14 NOMOR 2 OKTOBER 2020 Naditira Widya
Naditira Widya Vol 14 No 2 (2020): NADITIRA WIDYA VOLUME 14 NOMOR 2 OKTOBER 2020
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

APPENDIX NADITIRA WIDYA VOLUME 14 NOMOR 2 OKTOBER 2020
SAMPUL BELAKANG NADITIRA WIDYA VOLUME 14 NO 2 OKTOBER 2020 Naditira Widya
Naditira Widya Vol 14 No 2 (2020): NADITIRA WIDYA VOLUME 14 NOMOR 2 OKTOBER 2020
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

SAMPUL BELAKANG NADITIRA WIDYA VOLUME 14 NO 2 OKTOBER 2020

Page 1 of 1 | Total Record : 9


Filter by Year

2020 2020


Filter By Issues
All Issue Vol 17 No 1 (2023): Naditira Widya Volume 17 Nomor 1 Tahun 2023 Vol 16 No 2 (2022): Naditira Widya Volume 16 Nomor 2 Tahun 2022 Vol 16 No 1 (2022): Naditira Widya Volume 16 Nomor 1 Tahun 2022 Vol 15 No 2 (2021): NADITIRA WIDYA VOLUME 15 NOMOR 2 OKTOBER 2021 Vol 15 No 1 (2021): NADITIRA WIDYA VOLUME 15 NOMOR 1 APRIL 2021 Vol 14 No 2 (2020): NADITIRA WIDYA VOLUME 14 NOMOR 2 OKTOBER 2020 Vol 14 No 1 (2020): NADITIRA WIDYA VOLUME 14 NOMOR 1 APRIL 2020 Vol 13 No 2 (2019): NADITIRA WIDYA Vol 13, No 1 (2019): NADITIRA WIDYA Vol 13 No 1 (2019): NADITIRA WIDYA Vol 12 No 2 (2018): Naditira Widya Volume 12 Nomor 2 Oktober Tahun 2018 Vol 12, No 2 (2018): Naditira Widya Volume 12 Nomor 2 Oktober Tahun 2018 Vol 12, No 1 (2018): NADITIRA WIDYA VOLUME 12 NOMOR 1 TAHUN 2018 Vol 12 No 1 (2018): NADITIRA WIDYA VOLUME 12 NOMOR 1 TAHUN 2018 Vol 11, No 2 (2017): Naditira Widya Volome 11 Nomor 2 Oktober 2017 Vol 11 No 2 (2017): Naditira Widya Volome 11 Nomor 2 Oktober 2017 Vol 11 No 1 (2017): Naditira Widya Vol. 11 No. 1 April 2017 Vol 11, No 1 (2017): Naditira Widya Vol. 11 No. 1 April 2017 Vol 10 No 2 (2016): Naditira Widya Vol. 10 No. 2 Oktober 2016 Vol 10, No 2 (2016): Naditira Widya Vol. 10 No. 2 Oktober 2016 Vol 10, No 1 (2016): Naditira Widya Vol. 10 No. 1 Tahun 2016 Vol 10 No 1 (2016): Naditira Widya Vol. 10 No. 1 Tahun 2016 Vol 9 No 2 (2015): OKtober 2015 Vol 9, No 2 (2015): OKtober 2015 Vol 9, No 1 (2015): April 2015 Vol 9 No 1 (2015): April 2015 Vol 8, No 2 (2014): Oktober 2014 Vol 8 No 2 (2014): Oktober 2014 Vol 8 No 1 (2014): April 2014 Vol 8, No 1 (2014): April 2014 Vol 7 No 2 (2013): Oktober 2013 Vol 7, No 2 (2013): Oktober 2013 Vol 7, No 1 (2013): April 2013 Vol 7 No 1 (2013): April 2013 Vol 6, No 2 (2012): Oktober 2012 Vol 6 No 2 (2012): Oktober 2012 Vol 6, No 1 (2012): April 2012 Vol 6 No 1 (2012): April 2012 Vol 5, No 2 (2011): Oktober 2011 Vol 5 No 2 (2011): Oktober 2011 Vol 5, No 1 (2011): April 2011 Vol 5 No 1 (2011): April 2011 Vol 4, No 2 (2010): Oktober 2010 Vol 4 No 2 (2010): Oktober 2010 Vol 4 No 1 (2010): April 2010 Vol 4, No 1 (2010): April 2010 Vol 3 No 2 (2009): Naditira Widya Vol. 3 No.2 Vol 3, No 2 (2009): Naditira Widya Vol. 3 No.2 Vol 3 No 1 (2009): Naditira Widya Vol. 3 No.1 Vol 3, No 1 (2009): Naditira Widya Vol. 3 No.1 Vol 2, No 2 (2008): Naditira Widya Vol. 2 No.2 Vol 2 No 2 (2008): Naditira Widya Vol. 2 No.2 Vol 2 No 1 (2008): Naditira Widya Vol. 2 No.1 Vol 2, No 1 (2008): Naditira Widya Vol. 2 No.1 Vol 1, No 2 (2007): Naditira Widya Volume 1 Nomor 2 Tahun 2007 Vol 1 No 2 (2007): Naditira Widya Vol. 1 No.2 Vol 1 No 1 (2007): Naditira Widya Vol. 1 No.1 Vol 1, No 1 (2007): Naditira Widya Vol. 1 No.1 No 16 (2006): Naditira Widya Nomor 16 Oktober 2006 No 16 (2006): Naditira Widya Nomor 16 Oktober 2006 More Issue