cover
Contact Name
Fenny Sumardiani
Contact Email
jurnallitbang@gmail.com
Phone
+6285712816604
Journal Mail Official
jurnallitbang@gmail.com
Editorial Address
Balai Pengelola Alih Teknologi Pertanian Jalan Salak No.22, Bogor 16151 E-mail : jurnallitbang@gmail.com Website : http://bpatp.litbang.pertanian.go.id
Location
Kota bogor,
Jawa barat
INDONESIA
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian
ISSN : 02164418     EISSN : 25410822     DOI : http://dx.doi.org/10.21082
Core Subject : Agriculture,
Jurnal ini memuat tinjauan (review) mengenai hasil-hasil penelitian pertanian pangan hortiikultura, perkebunan, peternakan, dan veteriner yang telah diterbitkan, dikaitkan dengan teori, evaluasi hasil penelitian dan atau ketentuan kebijakan, yang ditujukan kepada pengguna meliputi pengambil kebijakan, praktisi, akademisi, penyuluh, mahasiswa dan pengguna umum lainnya. Pembahasan dilakukan secara komprehensif serta bertujuan memberi informasi tentang perkembangan teknologi pertanian di Indonesia, pemanfaatan, permasalahan dan solusinya. Ruang lingkupnya bahasan meliputi bidang ilmu: pemuliaan, bioteknologi perbenihan, agronomi, ekofisiologi, hama dan penyakit, pascapanen, pengolahan hasil pertanian, alsitan, sosial ekonomi, sistem usaha tani, mikro biologi tanah, iklim, pengairan, kesuburan, pakan dan nutrisi ternak, integrasi tanaman-ternak, mikrobiologi hasil panen, konservasi lahan.
Articles 6 Documents
Search results for , issue "Vol 38, No 1 (2019): Juni, 2019" : 6 Documents clear
TEKNOLOGI PENANGANAN BUAH SEGAR STROBERI UNTUK MEMPERTAHANKAN MUTU / Fresh Handling Techniques for Strawberry to Maintain its Quality Ermi Sukasih; Setyadjit Setyadjit
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 38, No 1 (2019): Juni, 2019
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (96.724 KB) | DOI: 10.21082/jp3.v38n1.2019.p47-54

Abstract

Strawberries (Fragaria sp.) are mostly grown in the mountainy areas in Indonesia and need a long transportation to get to the consumers. Long transportation will cause more than 50% damage to strawberries due to decay. Handling procedures need to be good and proper from farmer to the consumer or processor customer so that fruit reach destination in expected condition. Handling was done during pre-harvest and postharvest so that the quality of fresh strawberry fruit can be preserved. The technology for handling strawberry fruits that already exists includes: pre-harvest by spraying with antimicrobial agent, postharvest include for collecting, sorting and grading, washing, dipping with calcium chloride or naphtalene acetic acid, waxing, fumigation with nitric oxide, coating with chitosan or aloe vera gel combined with glycerol, irradiation, packaging, storage and transportation. The recommended storage temperature for strawberries is at 4oC, it can extend the shelf life of strawberries up to 1011 days with the best chemical characteristics. Implementing of SNI to strawberries in Indonesia to increase product competitiveness and increase added value still needs intensive efforts. 1.The classification and quality standards of strawberries can refer to the SNI No. 8026, 2014 and the Commission Implementing Regulation (2011).Keywords: Strawberry, preharvest, postharvest, fresh handling, quality AbstrakDi Indonesia, stroberi (Fragaria sp.) umumnya tumbuh di daerah pegunungan sehingga memiliki risiko tinggi dalam transportasi ke konsumen. Kerusakan stroberi karena perjalanan yang lama dapat mengakibatkan kerusakan buah lebih dari 50% akibat pembusukan. Penanganan yang baik dan benar diperlukan agar buah tetap dalam keadaan segar sampai ke tangan konsumen, sesuai dengan standar yang berlaku. Buah stroberi perlu ditangani dengan baik sejak prapanen hingga pascapanen agar kesegaran buah dapat dipertahankan. Teknologi penanganan stroberi yang telah dihasilkan meliputi: (1) pada saat prapanen adalah penyemprotan menggunakan antimikroba, (2) pada saat pascapanen pengumpulan buah secara hati-hati, sortasi dan grading, pencucian, pencelupan dengan kalsium klorida atau Naphtalene Acetic Acid, pelilinan, fumigasi dengan nitrit oksida, pelapisan dengan kitosan, gel lidah buaya yang dikombinasikan dengan gliserol, iradiasi, pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutan. Penyimpanan buah stroberi pada suhu 4oC dapat memperpanjang umur simpan buah hingga 10-11 hari dengan karakteristik kimiawi terbaik. Penerapan SNI buah stroberi di Indonesia masih perlu diupayakan lebih intensif untuk meningkatkan daya saing produk dan meningkatkan nilai tambah. Klasifikasi dan standar mutu buah stroberi dapat mengacu pada SNI No 8026 Tahun 2014 dan Commission Implementing Regulation (2011).Kata kunci: Stroberi, prapanen, pascapanen, penanganan segar, mutu
POTENSI PENGEMBANGAN JAGUNG PULUT MENDUKUNG DIVERSIFIKASI PANGAN / Potency of Waxy Corn Development to Support Food Diversification Suarni Suarni; Muh. Aqil; Herman Subagio
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 38, No 1 (2019): Juni, 2019
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (398.747 KB) | DOI: 10.21082/jp3.v38n1.2019.p1-12

Abstract

The success of staple food diversification can contribute to reduce rice consumption and encouraging national food self-sufficiency. Among food crops commodities, corn provide a potential to support local food based diversification. The type of corn that is preferable by consumer is white/waxy corn. Kernel color of waxy corn consists of white, yellow, purple, and black. Waxy corn can be harvest since the mild stage to anticipate food and malnutrition and make it more superior than other cereals. Corn processed into various products by using traditional, semi-traditional, and food industry products with specific superiority. Waxy corn is currently available in the market such as local varieties and newly released varieties such as Pulut URI-1 and Pulut URI-2. The market opportunity of waxy corn-based products in Indonesia has a more competitive advantage than before due to the change of lifestyle and food dietary. Promotion of waxy corn technologies needs to be done quickly to the related stakeholders including farmers, snacks producers, and businessman of waxy corn-based products to enhance the adoption of this commodity to support food diversification.Keywords: Waxy corn, food diversification, development AbstrakKeberhasilan diversifikasi pangan pokok berdampak terhadap pengurangan konsumsi beras sehingga mendorong keberlanjutan swasembada pangan. Salah satu komoditas yang dapat dimanfaatkan untuk diversifikasi pangan adalah jagung. Di antara beberapa jenis jagung yang berkembang, jagung pulut disukai oleh banyak konsumen. Jagung pulut memiliki warna yang beragam mulai dari putih, kuning, ungu, hingga hitam. Jagung pulut dapat dipanen muda atau lebih awal sehingga dapat mengantisipasi kerawanan pangan dan gizi. Hal ini menjadikan jagung pulut lebih unggul dibanding komoditas serealia lainnya. Berbagai produk olahan pangan dapat dihasilkan dari jagung pulut, mulai dari tradisional, semi tradisional, dan hingga modern, masing-masing memiliki nilai tambah tersendiri. Varietas jagung pulut telah tersedia, baik lokal maupun varietas unggul baru (URI-1 dan URI-2). Peluang pasar pangan berbasis jagung pulut di Indonesia makin terbuka seiring dengan perubahan gaya hidup dan pola makan konsumen yang mengarah pada hidup sehat. Dalam upaya pengembangan diversifikasi pangan perlu disosialisasikan paket teknologi budi daya dan pengolahan jagung pulut kepada masyarakat luas, terutama petani, pengrajin makanan, dan pebisnis produk pangan.Kata kunci: Jagung pulut, diversifikasi pangan, pengembangan
ADAPTASI TANAMAN HORTIKULTURA TERHADAP PERUBAHAN IKLIMPADA LAHAN KERING Adaptation of Horticultural Crops to Climate Change in the Upland Yusdar Hilman; Suciantini Suciantini; Rini Rosliani
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 38, No 1 (2019): Juni, 2019
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (112.377 KB) | DOI: 10.21082/jp3.v38n1.2019.p55-64

Abstract

Horticultural products (fruits, vegetables and ornamental crops) which have high competitiveness and added value, require supporting appropriate cultivation technology. The objective of this paper was to sort out adaptive technologies that can be implemented for horticultural cultivation, especially on dry land, to minimize yield loss due to climate changes. Horticultural crops in dry lands faced various problems. Characteristics of horticultural crops, among others were easily damage, bulky, sensitive to water stress and the incidence of pests and diseases. Another issue that has begun to happen in the field is the occurrence of extreme climate change, especially El Nino or La Nina that caused crop failures, damage to agricultural land resources, increased in frequency, extent, and intensity of drought, increased moisture, increased in the susceptibility to pests and the disease. Thus the integrated efforts that are needed in strengthening the capability of dry land to face climate change are by the application of adaptative technology, drafting disaster mitigation concepts, observing climate change, policy analysis related to the application of adaptive technology on climate change. The discussed Horticulture Commodities are focused on economically profitable crops, including: vegetables (potatoes, shallots, chili), fruits (bananas, citrus and melons) and ornamental crops (chrysanthemums, orchids, Polycias and Gerbera) scattered in two zoning zones where namely (i) lowland (0-600 meters above sea level); (ii) highlands (> 600 meters above sea level) and (iii) in both elevations of the site which have wet climates and dry climates. Attempsto be made to promote horticultural crops include performing water-efficient irrigation (drip irrigation), mulching, the use of shading on certain crops, proper fertilization, the use of organic fertilizer, planting system and planting distance, and tolerant varieties. Some adaptative technologies that can be adopted for horticultural crops include (1) developing watersaving irrigation technologies (drip and sprinkler irrigation on shallots), (2) applying healthy crop cultivation (good quality seeds, variety tolerant to disease and sub-optimal environment for tomatoes, red or hot chilli shallots and bananas), (3) using environmentally friendly chemical control (concept of threshold control in red or hot chilli), (4) protecting yield and quality of harvest (the use of silver black mulch on shallots and melons, and the use of shade for ornamental plants on dry land).Keywords: Horticulture, climate change, upland, adaptation technology AbstrakSistem produksi hortikultura (buah buahan, sayuran, dan tanaman hias) yang berdaya saing tinggi dan bernilai tambah memerlukan dukungan teknologi. Tulisan ini merangkum teknologi adaptasi komoditas hortikultura pada lahan kering dalam upaya meminimalisasi tingkat kehilangan hasil akibat perubahan iklim. Usaha tani tanaman hortikultura pada lahan kering dihadapkan pada berbagai masalah, di antaranya tanaman mudah dan cepat rusak, sensitif terhadap cekaman lingkungan, dan rentan terhadap hama dan penyakit. Masalah lain yang berdampak negatif terhadap sistem produksi komoditas hortikultura ialah perubahan iklim ekstrem, terutama el-nino dan la-nina. Perubahan iklim tidak hanya menyebabkan kegagalan panen, tetapi juga merusak sumber daya lahan pertanian, meningkatkan luas areal dan intensitas tanaman yang mengalami kekeringan, meningkatkan kelembaban, dan perkembangan hama dan penyakit tanaman. Oleh karena itu diperlukan integrasi pengelolaan lahan dan aplikasi teknologi adaptif perubahan iklim, penyusunan konsep mitigasi bencana, observasi perubahan iklim, dan analisis kebijakan yang terkait dengan aplikasi teknologi adaptasi terhadap perubahan iklim. Pembahasan difokuskan pada tanaman yang secara ekonomi menguntungkan, antara lain kentang, bawang merah, cabai untuk komoditas sayuran; pisang, jeruk, dan melon untuk komoditas buah-buahan; dan krisan, anggrek, polycias dan gerbera untuk tanaman hias. Komoditas hortikultura tersebut tersebar di dua zonasi ketinggian tempat, yakni dataran rendah (0–600 m dpl) dan dataran tinggi (> 600 m dpl). Beberapa teknologi adaptasi yang dapat diadopsi di antaranya (1) irigasi hemat air (irigasi tetes dan irigasi curah pada bawang merah), (2) budi daya tanaman sehat (benih bermutu, varietas toleran penyakit dan lingkungan suboptimal untuk komoditas kentang, cabai, bawang merah, dan pisang, (3) pengendalian hama dan penyakit ramah lingkungan (konsep ambang pengendalian pada cabai, jeruk), dan (4) perlindungan hasil dan peningkatan kualitas hasil panen (penggunaan mulsa plastik hitam perak pada tanaman bawang merah dan melon, serta penggunaan naungan pada tanaman hias anggrek dan krisan). Kata kunci: hortikultura, perubahan iklim, lahan kering, teknologi adaptasi
BUDI DAYA DAN ADAPTASI VARIETAS UNGGUL BARU PADI PADA LAHAN RAWA LEBAK SUMATERA SELATAN / Cultivation and Adaptation of New Superior Varieties Paady in Lebak Swampy Lands in South Sumatra Suparwoto, Suparwoto; Waluyo, Waluyo
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 38, No 1 (2019): Juni, 2019
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (200.347 KB) | DOI: 10.21082/jp3.v38n1.2019.p13-22

Abstract

Lebak swampy lands are one of the contributors to rice production in Indonesia, especially in South Sumatra. This agroecosystem is affected by river water overflow and rainfall. Based on the height and duration of waterlogging, the lebak swampy land is divided into three typologies, namely shallow lebak swampy lands, middle swampy lands, and deep swampy lands. This paper discusses cultivation and adaptation of new superior varieties of rice on lebak swampy  lands. In this agroecosystem, rice is cultivated in the dry season after low tide, starting from shallow lebak swampy lands, then continuing to the middle lebak swampy lands and deep lebak swampy lands. Problems with rice cultivation on lebak swampy lands include: (1) stagnant water, (2) drought in the dry season, (3) continuous use of the same variety, (4) the use of poor quality seeds, (5) limited varieties superior, and (6) fertilizer use is not as recommended. Paddy cultivation in lebak swampy lands uses only local varieties such as Siputih which can be sown up to three times, so that the age of the seedlings can reach two months with high posture. Land preparation is carried out by cleaning weeds until they are ready for planting and using hand tractors in shallow and middle lebak swampy lands. The seed comes from its own multiplication (40 kg / ha). Ciherang and IR-42 varieties are used from season to planting season with fertilization according to the ability of farmers. Thus, the results obtained are low, ranging from 3.5-4.5 t / ha GKP. One way to improve rice productivity in lebak swampy lands is the use of new improved varieties. Inpara and Inpari varieties can grow and produce in shallow lebak swampy lands and middle lebak swampy lands. In shallow lebak swampy lands it is recommended to use drought tolerant varieties such as Situbagendit, Limboto, Batutegi, Inpago, Inpari-1, Inpari-4, Inpari-6, and Inpara-5. In deep lebak swampy lands, rice can only be cultivated once a year, using superior varieties in the long dry season. The recommended superior varieties are Inpara-3, Inpara-4, and Inpara-5 which are tolerant to soaking.Key words: Paddy, lebak swampy lands, superior varieties, cultivation, adaptation AbstrakLahan rawa lebak merupakan salah satu agroekosistem penyumbang produksi beras di Indonesia, terutama di Sumatera Selatan. Agroekosistem ini dipengaruhi oleh luapan air sungai dan curah hujan. Berdasarkan tinggi dan lama genangan air, lahan rawa lebak dipilah menjadi tiga tipologi, yaitu lebak dangkal, lebak tengahan, dan lebak dalam. Makalah ini membahas budi daya dan adaptasi varietas unggul baru padi pada lahan rawa lebak. Pada agroekosistem ini padi dibudidayakan pada musim kemarau setelah air surut, dimulai dari lebak dangkal, kemudian dilanjutkan pada lebak tengahan dan lebak dalam. Permasalahan budi daya padi pada lahan rawa lebak antara lain: (1) genangan air, (2) kekeringan pada musim kemarau, (3) penggunaan varietas yang sama secara terus-menerus, (4) penggunaan benih tidak bermutu, (5) keterbatasan varietas unggul, dan (6) penggunaan pupuk tidak sesuai anjuran. Budi daya padi pada lahan lebak dalam hanya menggunakan varietas lokal seperti Siputih yang dapat disemai sampai tiga kali, sehingga umur bibit bisa mencapai dua bulan dengan postur yang tinggi. Penyiapan lahan dilakukan dengan cara pembersihan gulma sampai siap tanam dan menggunakan traktor tangan pada lebak dangkal dan lebak tengahan. Benih berasal dari perbanyakan sendiri  (40 kg/ha). Varietas Ciherang dan IR-42 digunakan dari musim ke musim tanam dengan pemupukan sesuai kemampuan petani. Dengan demikian, hasil yang diperoleh rendah, berkisar antara 3,5-4,5 t/ha GKP. Salah satu cara untuk memperbaiki produktivitas padi pada lahan lebak adalah penggunaan varietas unggul baru. Varietas Inpara dan Inpari dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik pada lebak dangkal dan lebak tengahan. Pada lebak dangkal disarankan menggunakan varietas toleran kekeringan seperti Situbagendit, Limboto, Batutegi, Inpago, Inpari-1, Inpari-4, Inpari-6, dan Inpara-5. Pada lebak dalam, padi hanya dapat diusahakan satu kali dalam satu tahun, menggunakan varietas unggul pada musim kemarau panjang. Varietas unggul yang disarankan ialah Inpara-3, Inpara-4, dan Inpara-5 yang toleran rendaman.Kata kunci: Padi, rawa lebak, varietas unggul, budi daya, adpatasi.
TEKNOLOGI TUMPANGSARI KARET - TANAMAN PANGAN: KENDALA DAN PELUANG PENGEMBANGAN BERKELANJUTAN / Technology of Rubber-Crop Intercropping: Constraints and Opportunities of Sustainable Development Sahuri Sahuri
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 38, No 1 (2019): Juni, 2019
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jp3.v38n1.2019.p23-34

Abstract

Rubber farmer income is not stable because the latex price is still fluctuative and tend to be low. The application of rubber-crop intercropping is one the strategies in increasing of land productivity and rubber farmer income. Farmers generally plant rubber with a standard single-row spacing of rubber (SR) 6-7 m x 3 m (475- 550 trees/ha), so the row-spacing area could be planted with crops up to 2 years. Furthermore, rubber canopy closure which cover surface of land could intensively reduce 55% of light intensity and 60% of crop yield. This paper explains about constraints and opportunities of development of rubber-crop intercropping technology to increase rubber farmer income and food production sustainability. One aspect that are concerned about is changing the standard single-row spacing (SR) to double-row spacing (DR). This aspect could be useful to enlarge the rubber spacing area land and thus the crops as intercropping could be properly planted. Crops are easier to get sunlight, temperature, and water if the crops are planted in DR system. However, population of rubber plant is slightly reduced and thus latex yield is also relatively declined comparing with SR system. Nevertheless, the DR system as rubber-crop intercropping has a good opportunity to develop for long term period, because light penetration area of 3-4 m from the row of rubber plant is still more than 80% on 8-9 years old of rubber plant. The development of rubber-crop intercropping technology could protect rubber farmers from fluctuation of rubber price and also enhance additional value. The analysis shows DR with upland rice, corn, and soybean is feasible to be developed with 1.98 of a marginal benefit cost ratio (MBCR).Keywords: Rubber, rubber spacing, intercropping, food-crops AbstrakPendapatan petani karet belum stabil karena harga lateks berfluktuasi dan cenderung rendah. Penerapan tumpangsari karet - tanaman pangan merupakan salah satu strategi dalam meeningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani karet. Petani umumnya menanam karet dengan sistem jarak tanam tunggal (JT) 6 - 7 m x 3 m (476 - 550 pohon/ha) sehingga lahan di antara tanaman karet hanya dapat ditanami tanaman pangan sampai tanaman pokok berumur 2 tahun. Selanjutnya tajuk tanaman karet sudah menutup permukaan lahan sehingga mengurangi intensitas cahaya sekitar 55% dan menurunkan hasil tanaman pangan sampai 60%. Tulisan ini membahas kendala dan peluang pengembangan teknologi tumpangsari karet - tanaman pangan dalam upaya peningkatan pendapatan petani dan produksi pangan secara berkelanjutan. Aspek yang menjadi perhatian dalam hal ini adalah mengubah sistem jarak tanam tunggal (JT) menjadi jarak tanam ganda (JG) agar ruang terbuka di antara tanaman karet lebih lebar untuk ditanami tanaman pangan sebagai tanaman sela. Pada areal di antara tanaman karet sistem JG, tanaman pangan lebih mudah mendapatkan sinar matahari, suhu, dan air, namun populasi tanaman karet sedikit berkurang, sehingga hasil lateks juga relatif berkurang dibanding tanaman karet sistem JT. Meski demikian, areal pertanaman karet sistem JG lebih berpeluang bagi pengembangan tumpangsari karet - tanaman pangan dalam jangka panjang, karena sampai tanaman karet berumur 8-9 tahun, penetrasi cahaya pada areal jarak 3-4 m dari barisan tanaman karet masih lebih dari 80%. Pengembangan teknologi tumpangsari karet - tanaman pangan dapat melindungi petani dari fluktuasi harga karet dan memberikan nilai tambah. Hasil analisis menunjukkan tumpangsari karet sistem JG dengan padi gogo, jagung, dan kedelai layak dikembangkan dengan marginal benefit cost ratio (MBCR) 1,98.Kata kunci: Karet, jarak tanam karet, tumpangsari, tanaman pangan
PEWARISAN GEN SAPI KEMBAR: PELUANG PENINGKATAN POPULASI DI INDONESIA / The Inheritance of Twinning Gene in Cattle: Option for Population Improvemnet in Indonesia Bess Tiesnamurti
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 38, No 1 (2019): Juni, 2019
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jp3.v38n1.2019.p35-46

Abstract

The evidence of cattle with twinning birth is reported over the world, as well as in Indonesia, with the frequency in dairy cattle is a bit higher compared to beef cattle (4ƒ{10% : 1%). The heritability of twinning cattle is considered to be low, so does for the repeatability. This paper outlines the inheritance of twin born cattle, its geographic distribution and utilization for population accelaration as well as its contribution for meat supply. In Indonesia, twin born cattles are reported in 11 provinces and occured in Ongole crossbred (PO), Bali, Angus, Aceh, SimmentalxPO crossbred, LimousinexPO crossbred and FH breeds. The occurence of cattle with twinning birth in dairy and beef cattle is around 27.250 and 165.990 heads, with estimation 13.625 and 82.995 heads of dairy and beef cows, respectively. The optimistic scenario is expected to deliver 19.735 and 71.406 heads of dairy and beef calves every year, whereas pesimistic scenario resulting the birth of dairy and beef calves of 10.306 and 50.875 heads, respectively. These scenarios contribute to 2,6% and 1,8% of national calves born (3.500.000 heads every year) for optimistic and pesimistic scenarios, respectively, indicating that twinning genes in cattle do not significantly contribute to the addition of calves born in Indonesia. Several efforts to maintain the the population of twin born cattle can be conducted through option such as a) to maintain the twin born cattle population to the institution belongs to government or private; b) to allow farmers to raise the twin born cattle and c) to empower local farmers association as a networking who raise the twin born cattle. Eventhough the twin born calves contribution is low for national calves born, however, it is suggested to keep the genetic values for further requirement in the future, to provide technologies for early identification or moleculer of twinning cattle carriers as well as to explore the genetic potential for further development. In the future, development of the twinning cattle can be conducted through frozen sperm distribution for artificial insemination.Keywords: Beef cattle, dairy cattle, gene for twinning, heritability AbstrakSapi dengan potensi beranak kembar memiliki frekuensi kelahiran lebih tinggi pada sapi perah (410%) dibanding sapi potong (1%). Laju pewarisan (heritabilitas) sifat kelahiran kembar sangat rendah, demikian pula dengan laju pengulangan (ripitabilitas). Tulisan ini membahas sifat pewarisan gen sapi beranak kembar di Indonesia, distribusi sapi dengan potensi gen kelahiran kembar, peluang pemanfaatannya bagi peningkatan populasi dan penyediaan daging sapi. Di Indonesia, kelahiran kembar sapi terdapat di 11 provinsi dan terjadi pada rumpun sapi PO, Aceh, Bali, FH, persilangan Aberden Angus, persilangan Simmental x PO, persilangan Limousine x PO. Gen beranak kembar sapi perah dan sapi potong berturut turut diperkirakan sekitar 27.250 ekor dan 165.990 ekor, dimana populasi sapi betina sekitar 13.625 dan 82.995 ekor untuk sapi perah dan sapi potong. Skenario optimis pemanfaatan gen sapi kembar , diharapkan dapat memberikan angka kelahiran sebanyak 19.735 dan 71.406 ekor, berturut-turut untuk sapi perah dan sapi potong. Sementara skenario pesimis menghasilkan kelahiran anak sapi perah dan sapi potong, berturut-turut sejumlah 10.306 dan 50.875 ekor. Kedua skenario tersebut menyumbang 2,6% (optimis) dan 1,8 % (pesimis) dari total kelahiran per tahun (3.500.000 ekor). Keberadaan sapi beranak kembar di Indonesia belum memberikan sumbangan nyata bagi peningkatan populasi, akan tetapi perlu dipertahankan keberadaannya. Berbagai usulan yang dapat dilakukan untuk mempertahankan populasinya antara lain: a) pengumpulan di satu tempat, baik milik pemerintah atau swasta yang tertarik memelihara dan melakukan pengamatan dengan biaya yang sangat mahal; b) pemeliharaan sapi kembar diserahkan kepada peternak dengan konsekuensi sewaktu waktu akan punah karena keterbatasan kemampuan membiayai pemeliharaan, c) membentuk kelompok peternak pemelihara sapi kembar sebagai sarana pertukaran informasi. Namun demikian, eksplorasi sifat genetik perlu terus dilakukan baik secara konvensional maupun secara molekuler, sementara pengembangan sapi kembar dapat dilakukan melalui pembuatan semen beku yang diimplementasikan dengan teknologi inseminasi buatan.Kata Kunci: Sapi potong, sapi perah, gen beranak kembar, heritability.

Page 1 of 1 | Total Record : 6