cover
Contact Name
Salman Abdul Muthalib
Contact Email
tafse@ar-raniry.ac.id
Phone
+6282165108654
Journal Mail Official
tafse@ar-raniry.ac.id
Editorial Address
Gedung Fakultas Ushuluddin Lantai I, Prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin, UIN Ar-Raniry, Jln. Lingkar Kampus, Kopelma Darussalam Banda Aceh, Aceh 23111
Location
Kota banda aceh,
Aceh
INDONESIA
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies
ISSN : 26204185     EISSN : 27755339     DOI : 10.22373
TAFSE: Journal of Qur’anic Studies is an open access, peer-reviewed journal that is committed to the publications of any original research article in the fields of Alquran and Tafsir sciences, including the understanding of text, literature studies, living Qur’an and interdisciplinary studies in Alquran and Tafsir. Papers published in this journal were obtained from original research papers,which have not been submitted for other publications. The journal aims to disseminate an academic rigor to Qur’anic studies through new and original scholarly contributions and perspectives to the field. Tafse: Journal of Qur’anic Studies DOES NOT CHARGE fees for any submission, article processing (APCs), and publication of the selected reviewed manuscripts. Journal subscription is also open to any individual without any subscription charges.All published manuscripts will be available for viewing and download from the journal portal for free.
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol 4, No 2 (2019)" : 7 Documents clear
Konsep Perbudakan menurut Sayyid Quṭb dalam Tafsir Fi Zilal al-Qur’an Abd. Wahid; Suarni Suarni; Nurul Fitri
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v4i2.13177

Abstract

Slaves are people who do not have independence in people's lives and have the fate of being traded as objects, sometimes even being treated inhumanely. In historical records, slavery existed before Islam, and when Islam came, slaves were called slaves and this religion forbade all forms of slavery practices with a call to free them. This paper attempts to discuss how to interpret slavery and how to free slaves according to Sayyid Quṭb in Tafsir Fī ilāl al-Qur'ān. The research method used in this study is the mauḍū'i (thematic) method, which is a method that collects verses from the Qur'an that have the same purpose. The data used in this study is the Tafsir Fī ilāl al-Qur'ān. The results of this study indicate that the concept of slavery according to Sayyid Qutb is aimed at conditions of emergency (compulsion), that only in emergency conditions is slavery allowed, such as being allowed to marry slave women during the war, and only slaves who are obtained as prisoners in the fī sabīlillah war are one thing. the only slavery recognized in Islam. While the way of freeing slaves is done by establishing slave freedom through the payment of kafarat, for example, someone frees a slave before having intercourse with a wife who is forbidden to him through zhihar. Budak merupakan orang yang tidak memiliki kemerdekaan dalam hiduporang dan bernasib sebagai benda yang diperjualbelikan, bahkan kadang-kadang diperlakukan tidak manusiawi. Dalam catatan sejarah, perbudakan sudah ada sebelum Islam, dan ketika Islam datang, budak disebut hamba sahaya dan agama ini melarang seluruh bentuk praktik perbudakan dengan seruan memerdekakannya. Tulisan ini berupaya membahas tentang bagaimana penafsiran perbudakan dan cara pembebasan budak menurut Sayyid Quṭb dalam Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode mauḍū’i (tematik), yaitu metode yang menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai maksud yang sama. Data yang digunakan dalam kajian ini adalah Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep perbudakan menurut Sayyid Qutb tertuju pada kondisi darurat (keterpaksaan), bahwasanya hanya dalam kondisi darurat diperbolehkannya perbudakan, seperti dibolehkannya menikah dengan wanita budak pada masa peperangan, dan hanya budak yang diperoleh sebagai tawanan di dalam perang fī sabīlillah lah satu-satunya perbudakan diakui dalam Islam. Sedangkan cara pembebasan budak dilakukan dengan menetapkan kemerdekaan budak melalui pembayaran kafarat, misalnya seseorang memerdekakan budak sebelum menggauli istri yang di haramkan kepada dirinya melalui zhihar.
Bai’at dalam Al-Qur’an menurut Pandangan Ibnu Katsir Samsul Bahri; Zainuddin Zainuddin; Muhammad Husni bin Ismail
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v4i2.13178

Abstract

Bai'at is one way to show a person's form of obedience to his leader. An incomplete understanding of bai'at can cause slander among Muslims. Moving on from the problem above, the author will examine Ibn Kathir's interpretation of the verses of bai'at. This research is bibliographic and data collection is done through the mauḍū'ī method. The results of the study show that the person who betrays the bai'at to the leader on the basis of obeying Allah and the Messenger, then Allah will inflict punishment on him, on the other hand, for those who obey the bai'at in matters that are ma'ruf on the basis of obeying Allah and the Messenger, then he will get a reward from Allah swt. Imam Ibn Kathir interprets the verse of bai'at as meaning "whoever obeys the apostle, then he has obeyed Allah." Bai’at merupakan salah satu cara dalam menampakkan bentuk ketaatan seseorang terhadap pemimpinya. Pemahaman yang tidak utuh terhadap bai’at dapat menimbulkan fitnah di antara umat islam. Beranjak dari persoalan di atas, penulis akan mengkaji tentang penafsiarn Ibnu Katsir terhadap ayat-ayat bai’at. Penelitian ini bersifat kepustakaan dan dalam pengumpulan data dilakukan melalui metode mauḍū’ī. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Orang yang mengkhianati bai’at terhadap pemimpin atas dasar mentaati Allah dan Rasul, maka Allah akan menimpa azab baginya, sebaliknya bagi yang mentaati bai’at dalam hal yang ma’ruf atas dasar menaati Allah dan Rasul, maka ia akan beroleh balasan pahala dari Allah Swt. Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat bai’at sama artinya dengan “barangsiapa mentaati rasul, maka dia telah menaati Allah.”
Penelitian Tafsir dan Pendekatan Kualitatif Fauzi Fauzi
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v4i2.12483

Abstract

This article aims to analyze the interpretation research and the approaching model it uses. Data collection techniques using documentation. The result of the research is that most of the research on the interpretation of the Qur'an is carried out with a qualitative approach by emphasizing the ability and competence of researchers to analyze existing data. Data collection includes documentation techniques. The development of al-Qur'an research and interpretation today also leads to how to examine texts that live in a society whose data collection techniques are addition to documentation, as well as observation and interviews. Interpretation researchers are required to continue to develop themselves to understand aspects of the interpretation methodology related to sources, methods, and perspectives. The current approach is also continuously enriched so that it is able to provide analysis in interpretation research in order to make a contribution of knowledge for the development of science and knowledge. Artikel ini bertujuan menganalisis penelitian tafsir dan model pendekatan yang digunakannya. Teknik pengumpulan data mengunakan dokumentasi. Hasil penelitiannya adalah penelitian tafsir al-Qur’an banyak dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan menekannya kemampuan dan kompetensi peneliti untuk menganalisis data-data yang ada. Pengumpulan data di antaranya dengan dilakukan teknik dokumentasi. Perkembangan penelitian al-Qur’an dan tafsir dewasa ini juga mengarah bagaimana meneliti teks-teks yang hidup dalam masyarakat yang teknik pengumpulan datanya di samping dokumentasi, juga observasi dan wawancara. Peneliti tafsir dituntut untuk terus mengembangkan diri untuk memahami aspek metodologi tafsir baik terkait sumber, metode maupun perspektifnya. Pendekatan kekinian juga terus diperkaya agar mampu memberikan analisis dalam penelitian tafsir agar memberikan contribution of knowledge bagi pengembangan ilmu dan pengetahuan.
Penafsiran Ayat–Ayat Amar Ma’ruf Nahi Munkar menurut Muhammad Fethullah Gülen Muslim Djuned; Pinar Ozdemir
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v4i2.13179

Abstract

Amar ma'rūf nahi munkar is the command of Allah swt. to invite to the good things and prevent the bad for society. Many interpreters have explained the meaning of the verses amar ma'rūf nahi munkar. Fethullah Gülen is a character who tries to give an interpretation of the verse by relating it to the reality of people's lives. This paper discusses the verses of amar ma'ruf nahi munkar interpreted by Muhammad Fethullah Gülen and issues surrounding the position of enforcing amar ma'rūf nahi munkar. This research is a descriptive literature study, wanting to describe the figure of Gulen who wants to be researched based on facts from existing news, books, and magazines. The results showed that Gülen classified the interpretation of the verses of amar ma'ruf nahi munkar in 3 parts. First, amar ma'rūf nahi munkar as the goal of life. Second, amar ma'ruf nahi munkar as a sign of a believer. Third, enforce the commandments of ma'rf nahi munkar in accordance with nature. According to Gülen, people who carry out this sacred task well, then they will be protected by Allah from all disasters that come from heaven or earth, even though the number of people who carry out this task is not much. Meanwhile, those who forget this task are feared to die in a state of hypocrisy, for neglecting the task that Allah has assigned to every Muslim. Amar ma’rūf nahi munkar merupakan perintah Allah swt. untuk mengajak kepada hal-hal yang baik dan mencegah yang buruk bagi masyarakat. Banyak penafsir yang telah menjelaskan makna ayat-ayat amar ma’rūf nahi munkar. Fethullah Gülen merupakan seorang tokoh yang mencoba memberi penafsiran ayat tersebut dengan mengaitkannya pada realitas kehidupan masyarakat. Tulisan ini membahas ayat-ayat amar ma’ruf nahi munkar yang ditafsirkan oleh Muhammad Fethullah Gülen dan persoalan seputar kedudukan menegakkan amar ma’rūf nahi munkar. Penelitian ini bersifat kajian kepustakaan yang bersifat deskriptif, ingin menggambarkan sosok Gulen yang ingin diteliti berdasarkan fakta dari berita, buku, dan majalah yang ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Gülen mengklasifikasikan penafsiran ayat-ayat  amar ma’ruf nahi munkar dalam 3 bagian. Pertama, amar ma’rūf nahi munkar  sebagai tujuan hidup. Kedua, amar ma’ruf nahi munkar sebagai tanda orang mukmin. Ketiga, menegakkan amar ma’rūf nahi munkar sesuai dengan fitrah. Menurut Gülen, masyarakat yang melakukan tugas suci ini dengan baik, maka mereka itu akan dilindungi Allah dari segala bencana yang datangnya dari langit atau bumi, meskipun jumlah orang yang menjalankan tugas ini tidak banyak. Sedangkan yang melupakan tugas ini, dikhawatirkan akan meninggal dalam keadaan munafik, karena melalaikan tugas yang dibebankan Allah kepada setiap orang Muslim.
Lafaz al-Rajaʼ dan al-Tamanni dalam Al-Qur’an Furqan Amri; Retno Dumilah
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v4i2.12541

Abstract

The existence of synonymy in the Koran is a debate among commentators. Some consider the existence of synonymy in the Koran and others deny it. Various words in the Qur'an appear to be synonymous at birth, but when examined carefully it turns out that each of these words has its own connotation. This study aims to explain the context of the use of the words al-Rajāʼ and al-Tamannīʼ and the interpretation of the commentators on the verses of al-Rajāʼ and al-Tamannīʼ. This study uses the thematic method by collecting verses related to the problems of the two pronunciations and by referring to the explanations of the commentators in the books of interpretation. The results showed that the writer found the lafaz al-Rajāʼ in the Koran 18 times with 7-word variations, while the al-Tamanni lafaz was found 9 times and had 7-word variations in each of the two words. Lafaz al-Rajāʼ and al-Tamannīʼ are interpreted with the meaning of hope or ideals, but in terms of the difference, al-Rajāʼ lafaz is devoted to hopes that are most likely to be achieved and achieved and accompanied by effort, while al-Tamann lafaz is hoping that cannot be achieved. achieved or the probability of achieving it is very small. Keberadaan sinonimitas dalam al-Qur’an menjadi perdebatan di kalangan para mufasir. Sebagian menilai adanya sinonimitas dalam Al-Qur’an dan sebagian yang lain mengingkarinya. Beragam kata dalam Al-Qur’an yang pada lahirnya tampak bersinonim, namun bila diteliti secara cermat ternyata masing-masing kata tersebut mempunyai konotasi tersendiri. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan konteks penggunaan kata al-Rajāʼ dan al-Tamannīʼ serta penafsiran para  mufassir terhadap ayat-ayat al-Rajāʼ dan al-Tamannīʼ. Penelitian ini menggunakan metode tematik dengan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan permasalah kedua lafaz tersebut dan dengan merujuk kepada penjelasan para mufassir dalam kitab-kitab tafsir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penulis menemukan lafaẓ al-Rajāʼ dalam Al-Qur’an sebanyak 18 kali dengan 7 bentuk variasi kata, sedangkan lafaz al-Tamanni ditemukan sebanyak 9 kali serta memiliki 7 bentuk variasi kata pada masing-masing kedua Lafaz tersebut. Lafaz al-Rajāʼ dan al-Tamannīʼ diartikan dengan makna harapan atau cita-cita, namun dari segi perbedaannya lafaz al-Rajāʼ dikhususkan kepada harapan yang kemungkinan besar dapat dicapai dan diraih serta diiringi dengan usaha, sedangkan lafaz al-Tamannīʼ merupakan  pengharapan yang tidak dapat tercapai atau kemungkinan ketercapaiannya sangat  kecil. 
Pemaknaan Kiamat dalam Penafsiran Umar Sulaiman Abdullah Al-Asyqar Zulihafnani Zulihafnani; Soleh bin Che’ Had
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v4i2.13180

Abstract

In the Qur'an there are many verses that talk about the apocalypse, there are also various interpretations produced by the interpreters. This paper wants to examine the interpretation and understanding of Umar Sulaiman al-Asyqar regarding the doomsday verse, this may be different from other commentators because of the different methods and characteristics of interpretation. This research is a bibliographical study with the data sources being the books of al-Ma'ānī al-Ḥasān fī Tafsīr al-Qur'ān and al-'Aqīdah fi 'i al-Kitāb wa al-Sunnah: al-Qiyāmah al-Kubra. Data was collected through thematic methods), and the analysis was carried out descriptively. The results of the study indicate that Umar Sulaiman interprets the word tafjīr as having the same meaning (synonym) as the word tasjīr which means burning (انفجار) or exploding (انسجار), while previous commentators distinguish the word tafjīr which means mixed up (إختلاط) with the word tasjīr which means lit (إضطرام). Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang berbicara mengenai kiamat, terdapat beragam pula penafsiran yang dihasilkan oleh para penafsir. Tulisan ini ingin mengkaji penafsiran dan pemahaman Umar Sulaiman al-Asyqar mengenai ayat kiamat, hal ini berkemungkinan berbeda dengan mufasir lainnya karena metode dan karakteristik penafsiran yang berbeda. Penelitian ini bersifat kepustakaan dengan sumber data kitab al-Ma‘ānī al-Ḥasān fī Tafsīr al-Qur‘ān dan al-‘Aqīdah fi Ḍū’i al-Kitāb wa al-Sunnah: al-Qiyāmah al-Kubra. Pengumpulkan data dilakukan melalui metode tematik), dan analisi dilakukan secara deskriptif. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Umar Sulaiman menafsirkan kata tafjīr  mempunyai persamaan makna (sinonim) dengan kata tasjīr yang diartikan menyala (انفجار) atau meledak (انسجار), sedangkan mufasir terdahulu membedakan kata tafjīr yang diartikan bercampur baur (إختلاط) dengan kata tasjīr yang diartikan menyala (إضطرام).
Siyasah Dusturiyyah sebagai Sistem Perpolitikan dalam Al-Qur’an Salman Abdul Muthalib; Muhammad Faizur Ridha bin Mohd Pauzi
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v4i2.13176

Abstract

Siyasah dusturiyyah so far has not been revealed in detail. In the world history stage, it can be seen that the good or bad of a country depends on the system of government. The Qur'an has clearly stated the necessity of government. Allah SWT ordered the Messenger of Allah to get used to and train himself in government affairs. Thus, to find the ideal of Islam in the process of administering the government, the title of the thesis on "Interpretation of the Siyāsah Dusturiyāh Verses (Study of Government Systems)" is very interesting to study. Data analysis was carried out using thematic (Maudhu'ï). In the thematic method, all related verses are collected, then studied in more depth from various aspects related to them. This method is also supported by arguments or truths that can be justified scientifically and rationally. Based on the method used, the Qur'an explains that leadership in the dusturiyah siyāsah can be adapted to every era. Leadership in Islam is natural for every human being as well as motivates Islamic leadership. Humans are entrusted by Allah SWT to be the caliph to lead the people in religion and the world, also regulate the people and guard religion and politics. The system of government referred to in the Qur'an consists of five: the Imamate, the People and Their Obligations, Bai'at, Ahl al-Hall Wa al-Aqd, and Wizarah. Siyasah dusturiyyah selama ini belum terungkap secara terperinci. Dalam pentas sejarah dunia dapat dilihat bahwa baik buruknya negara tergantung dengan sistem pemerintahan. Alquran secara tegas telah menetapkan keharusan adanya pemerintahan. Allah Swt memerintahkan Rasulullah Saw untuk membiasakan dan melatih diri dalam urusan kepemerintahan. Dengan demikian untuk menemukan idealitas Islam dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, maka judul skripsi tentang “Penafsiran Ayat-Ayat Siyāsah Dusturiyāh (Kajian Sistem Pemerintahan)” sangat menarik untuk dikaji. Analisis data yang dilakukan dengan menggunakan tematik (Maudhu’ï). Dalam metode tematik semua ayat yang berkaitan dikumpulkan, kemudian dikaji secara lebih mendalam dari berbagai aspek yang berkaitan dengannya. Dalam metode ini juga didukung dengan dalil-dalil atau kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan rasional. Berdasarkan metode yang digunakan, Alquran menjelaskan bahwa kepemimpinan dalam siyāsah dusturiyāh dapat disesuaikan dengan setiap zaman. Kepemimpinan dalam Islam merupakan fitrah bagi setiap manusia sekaligus memotivasi kepemimpinan yang Islami. Manusia di amanahi Allah Swt untuk menjadi khalifah untuk memimpin umat dalam agama dan dunia, juga mengatur umat serta menjaga agama dan politik. Sistem pemerintahan yang disebut di dalam Alquran terdiri dari lima: yaitu Imamah, Rakyat dan Kewajibannya, Bai’at, Ahl al-Hall Wa al-Aqd, dan Wizarah.

Page 1 of 1 | Total Record : 7