Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

WAWASAN AL QURAN TENTANG PEMBERANTASAN KORUPSI Bahri, Samsul
Ar Raniry : International Journal of Islamic Studies Vol 4, No 2 (2017): Ar Raniry : International Journal of Islamic Studies
Publisher : UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1108.222 KB) | DOI: 10.20859/jar.v4i2.144

Abstract

Korupsi merupakan salah satu tantangan terberat bagi pembangunan di sebuah negara. Kemakmuran rakyat akan sangat sulit tercapai apabila di wilayah tersebut terjadi korupsi. Semakin tinggi tingkat kuantitas dan kualitas praktek korupsi, semakin mempersulit pencapaian kemakmuran rakyat. Dari sisi lain, korupsi tergolong sebagai kejahatan yang luar biasa, dan oleh karenanya pemberantasannya pun harus dilakukan dengan cara luar biasa pula. Pemberantasan secara luar biasa antara lain berupa pengerahan segenap potensi dan pemanfaatan segala instrumen yang ada dalam masyarakat. Salah satu di antaranya adalah pemanfaatan ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan pemberantasan korupsi. Pemanfaatan ayat-ayat al-Qur’an untuk keperluan pemberantasan korupsi tidak dapat dilakukan secara serampangan, tetapi harus melalui kategorisasi dan interpretasi yang memadai. Dari sana akan diketahui bahwa al-Qur’an mempunyai wawasan tersendiri mengenai pemberantasan korupsi yang spesifik.
Wawasan Al Quran tentang Pemberantasan Korupsi Samsul Bahri
Ar-Raniry: International Journal of Islamic Studies Vol 4, No 2 (2017): Ar-Raniry: International Journal of Islamic Studies
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1108.222 KB) | DOI: 10.22373/jar.v4i2.7555

Abstract

Korupsi merupakan salah satu tantangan terberat bagi pembangunan di sebuah negara. Kemakmuran rakyat akan sangat sulit tercapai apabila di wilayah tersebut terjadi korupsi. Semakin tinggi tingkat kuantitas dan kualitas praktek korupsi, semakin mempersulit pencapaian kemakmuran rakyat. Dari sisi lain, korupsi tergolong sebagai kejahatan yang luar biasa, dan oleh karenanya pemberantasannya pun harus dilakukan dengan cara luar biasa pula. Pemberantasan secara luar biasa antara lain berupa pengerahan segenap potensi dan pemanfaatan segala instrumen yang ada dalam masyarakat. Salah satu di antaranya adalah pemanfaatan ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan pemberantasan korupsi. Pemanfaatan ayat-ayat al-Qur’an untuk keperluan pemberantasan korupsi tidak dapat dilakukan secara serampangan, tetapi harus melalui kategorisasi dan interpretasi yang memadai. Dari sana akan diketahui bahwa al-Qur’an mempunyai wawasan tersendiri mengenai pemberantasan korupsi yang spesifik
Ketahanan Pangan dalam Al-Qur’an dan Aktualisasinya dalam Konteks Keindonesiaan Berdasarkan Penafsiran terhadap Surat Yusuf Ayat 47-49 Samsul Bahri; Musdawati Musdawati; Raudhatul Jinan
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 2 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (363.877 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v5i2.9100

Abstract

Food is an essential requirement for humans in carrying out their lives. Indonesia is an agrarian country, but in reality, food security is apparently still very fragile. The evidence is evident from the large number of people's food imported from abroad. There is still a lot of wrong food management which causes Indonesia to not have food sovereignty. This article discusses food security in the Koran by analyzing Qs. Joseph verses 47-49. This study is qualitative, literature and will conduct a search of Qs. Joseph 47-49. This article found that, first, Qs. Yusuf explained the meaning contained in the interpretation of dreams of the fertile period and famine explained what people must do to maintain food security. Second, the contextualization of Indonesia's food defense includes: Increasing the quality and quantity of agricultural products, environmentally friendly agriculture, proportional consumption, moderation, and knowledge of weather and disasters. Pangan merupakan kebutuhan esensial bagi manusia dalam melangsungkan kehidupannya. Indonesia merupakan negara yang agraris, namun ketahanan pangan ternyata masih sangat rapuh. Bukti itu terlihat dari masih banyaknya bahan pangan rakyat yang diimpor dari luar negeri. Masih banyak pengelolaan pangan yang salah sehingga menyebabkan Indonesia tidak mempunyai kedaulatan pangan. Artikel ini membahas tentang ketahanan pangan dalam al-Quran dengan menganalisis QS. Yusuf (12): 47-49. Kajian ini bersifat kualitatif, kepustakaan dan akan melakukan penelusuran ragam penafsiran terhadap QS. Yusuf(12): 47-49. Artikel ini menemukan bahwa, pertama, ayat tersebut menjelaskan makna yang terkandung dalam tafsiran mimpi, terkait masa subur dan paceklik dan menjelaskan apa yang harus dilakukan masyarakat demi menjaga ketahanan pangan. Kedua, kontekstualisasi pertahanan pangan Indonesia meliputi: Peningkatan kualitas dan kuantitas hasil pertanian, pertanian ramah lingkungan, konsumsi yang proporsional dan tidak berlebihan, serta pengetahuan tentang cuaca dan bencana.
Amtsal dalam Ayat-Ayat Surga dan Neraka Samsul Bahri; Hilal Refiana
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (447.524 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v1i1.8068

Abstract

The Qur'an is one of the eternal miracles and is used to challenge the disbelievers. One of the miraculous aspects of the Qur'an is the beauty of language. Amtsal or tamtsil is one of the uslub of the Qur'an in expressing various explanations in terms of its miracles. Matsal means equating something with several related things. However, matsal is not just an equation, it is a parable that is gharib in the sense of astonishing or surprising. The main problem in this discussion is on the one hand in the Qur'an it is stated that knowledge of the occult is only known by Allah. But on the other hand in a number of verses of the Qur'an, there are descriptions or parables about heaven and hell which basically include the unseen through the verses of amtsal. This discussion is studied using the maudhu'i (thematic) method through library research in the form of content analysis. The Qur'an describes heaven in various ways, generally by giving a material description and accompanied by spiritual pleasures of a spiritual nature. By often including the mention of the attributes of heaven and the attributes of hell, it is hoped that people will be happy (hope) with heaven and avoid (fear) hell. Al-Qur’an merupakan salah satu mukjizat yang kekal dan dipergunakan untuk menantang orang-orang yang ingkar. Salah satu segi kemukjizatan al-Qur’an adalah keindahan bahasa. Amtsal atau tamtsil merupakan salah satu uslub al-Qur’an dalam mengungkapkan berbagai penjelasan dari segi kemukjizatannya. Matsal diartikan mempersamakan sesuatu dengan beberapa hal yang saling berkaitan. Namun, matsal bukan sekedar persamaan, ia adalah perumpamaan yang gharib dalam arti menakjubkan atau mengherankan. Pokok masalah dalam pembahasan ini adalah di satu sisi dalam al-Qur’an disebutkan bahwa pengetahuan tentang persoalan gaib hanya diketahui oleh Allah. Namun di sisi lain dalam sejumlah ayat al-Qur’an terdapat penggambaran atau perumpamaan tentang surga dan neraka yang pada dasarnya termasuk hal gaib melalui ayat-ayat amtsal. Pembahasan ini dikaji dengan metode maudhu’i (tematik) melalui kajian kepustakaan (library research) yang berbentuk analisis isi (content analysis). Al-Qur’an menjelaskan tentang surga dengan berbagai cara, yang umumnya dengan memberikan gambaran yang bersifat material dan disertai dengan kenikmatan rohani yang bersifat spiritual. Dengan sering menyertakan penyebutan sifat-sifat surga dan sifat-sifat neraka, diharapkan agar manusia senang (berharap) dengan surga dan menghindari (takut) akan neraka.
Ragam Metode Komunikasi dalam Al-Qur’an Samsul Bahri; Isra Wahyuni
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 1 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (544.724 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v6i1.9202

Abstract

Humans are social creatures who live by interacting and socializing. In the Qur'an, Allah Almighty commands humans to communicate using good and noble words. In fact, there are often misunderstandings that result in the breakdown of a relationship caused by ineffective communication. Therefore, it is necessary to have a method in the communication process that aims to establish good communication. The command to speak effectively is contained in the Qur'an and hadith which must be applied in everyday life. This method is known as qaulan karīman, qaulan maysūran, qaulan balīghan, qaulan layyinan, qaulan sadīdan, and qaulan ma'rufan. If communication is well established between the communicator and the communicant, it will give birth to a harmonious relationship, both of them will understand, appreciate, and respect each other so as to foster a sense of pleasure between the two. Manusia adalah makhluk sosial yang hidup dengan berinteraksi dan bermasyarakat. Dalam al-Qur’an, Allah Swt memerintahkan manusia untuk berkomunikasi menggunakan perkataan yang baik dan mulia. Pada kenyataannya, sering terjadi kesalahpahaman yang mengakibatkan retaknya sebuah hubungan yang disebabkan oleh komunikasi yang tidak efektif. Oleh sebab itu, perlu adanya metode dalam proses komunikasi yang bertujuan agar terjalin komunikasi yang baik. Perintah untuk berkata dengan efektif terdapat dalam al-Qur`an dan hadis yang harus diaplikasikan oleh setiap manusia dalam kehidupan sehari-hari. Metode tersebut dikenal dengan istilah qaulan karīman, qaulan maysūran, qaulan balīghan, qaulan layyinan, qaulan sadīdan, dan qaulan ma’rūfan. Apabila komunikasi terjalin dengan baik antara komunikator dengan komunikan, maka akan melahirkan hubungan yang harmonis, keduanya akan saling memahami, menghargai, dan menghormati sehingga menumbuhkan rasa senang antara keduanya.
Konsepsi Demokrasi Menurut Al-Qur'an Samsul Bahri; Nurkhalis Nurkhalis; Muhammad Rizki
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v6i2.10301

Abstract

Democracy is one of the power management systems considered the most suitable to be applied in modern countries today. As a source of guidance for humans, the Qur'an has explained the concept of the system of administering power. The conception of democracy is thus believed to be accommodated in the Qur'an. On that basis, the main problem that needs to be answered is, what is the conception of democracy in the Qur'an? The data for this paper was collected by following the steps in the mawḍu'i interpretation, after that, it was analyzed by following the thematic interpretation stage. The results of the analysis show that the term of the Qur'an, which represents the meaning of democracy, is syurā. In suyrā, norms are found that regulate the necessity of conducting deliberation in worldly affairs, both family affairs, muamalah, and political affairs. The concept of democracy in the form of syrā is mentioned in QS. Al-Baqarah: 233, QS. Ali 'Imrān: 159, and QS. al-Syurā: 38. There are four points of connection between the verses of the Qur'an about democracy and democracy today. First, the obligation to hold opinion meetings and prohibit dictators. Second, freedom of expression. Third, respecting opinions that are superior to the results of deliberation. Fourth, the majority vote is taken into account by protecting the rights of minorities. Demokrasi merupakan salah satu sistem pengelolaan kekuasaan yang dipandang paling cocok untuk diterapkan di negara-negara modern dewasa ini. Sebagai sumber petunjuk bagi manusia, Al-Qur’an telah menjelaskan konsepsi mengenai sistem penyelenggaraan kekuasaan. Konsepsi mengenai demokrasi dengan demikian diyakini terakomodasi dalam Al-Qur’an. Atas dasar itu, permasalahan utama yang perlu dicarikan jawabannya adalah, bagaimanakah konsepsi demokrasi dalam Al-Qur’an? Data untuk tulisan ini dikumpulkan dengan mengikuti langkah-langkah dalam tafsir mawḍu’i, selanjutnya dianalisis dengan tahapan penafsiran secara tematik. Hasil analisis menunjukkan bahwa terma Al-Qur’an yang merepresentasikan makna demokrasi adalah syūrā. Dalam syūrā ditemukan norma yang mengatur keharusan melakukan musyawarah dalam urusan-urusan duniawi, baik urusan keluarga, muamalah, maupun urusan bidang politik. Konsep demokrasi dalam bentuk syūrā disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 233, QS. Āli ‘Imrān: 159, dan QS. al-Syūrā: 38. Terdapat empat poin hubungan ayat-ayat Al-Qur’an tentang demokrasi dan demokrasi masa kini. Pertama, kewajiban melakukan temu pendapat dan melarang diktator. Kedua, kebebasan mengeluarkan pendapat. Ketiga, menghargai pendapat yang lebih unggul dari hasil musyawarah. Keempat, suara mayoritas diperhitungkan dengan melindungi hak-hak minoritas.
Bai’at dalam Al-Qur’an menurut Pandangan Ibnu Katsir Samsul Bahri; Zainuddin Zainuddin; Muhammad Husni bin Ismail
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v4i2.13178

Abstract

Bai'at is one way to show a person's form of obedience to his leader. An incomplete understanding of bai'at can cause slander among Muslims. Moving on from the problem above, the author will examine Ibn Kathir's interpretation of the verses of bai'at. This research is bibliographic and data collection is done through the mauḍū'ī method. The results of the study show that the person who betrays the bai'at to the leader on the basis of obeying Allah and the Messenger, then Allah will inflict punishment on him, on the other hand, for those who obey the bai'at in matters that are ma'ruf on the basis of obeying Allah and the Messenger, then he will get a reward from Allah swt. Imam Ibn Kathir interprets the verse of bai'at as meaning "whoever obeys the apostle, then he has obeyed Allah." Bai’at merupakan salah satu cara dalam menampakkan bentuk ketaatan seseorang terhadap pemimpinya. Pemahaman yang tidak utuh terhadap bai’at dapat menimbulkan fitnah di antara umat islam. Beranjak dari persoalan di atas, penulis akan mengkaji tentang penafsiarn Ibnu Katsir terhadap ayat-ayat bai’at. Penelitian ini bersifat kepustakaan dan dalam pengumpulan data dilakukan melalui metode mauḍū’ī. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Orang yang mengkhianati bai’at terhadap pemimpin atas dasar mentaati Allah dan Rasul, maka Allah akan menimpa azab baginya, sebaliknya bagi yang mentaati bai’at dalam hal yang ma’ruf atas dasar menaati Allah dan Rasul, maka ia akan beroleh balasan pahala dari Allah Swt. Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat bai’at sama artinya dengan “barangsiapa mentaati rasul, maka dia telah menaati Allah.”
Makna al-Dhalalah dalam Al-Qur`an Furqan Amri; Samsul Bahri; Ahmad Suryani
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 4, No 1 (2019)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v4i1.13096

Abstract

There are two groups of verses in the Qur'an that have gaps in attributing al-dhalalah to Allah. The first group of verses attributes al-dhalalah to come from Allah, not a direct result of the servant's actions. Another group of verses attributes al-dhalalah to come from the servant, not from Allah. In this paper, the author examines the meaning of al-dhalalah expressed in the Qur'an with the aim of explaining the meaning of al-dhalalah contained in the verses of the Qur'an. This study is a literature study with descriptive analysis through the maudhū'i interpretation method. The word dhalla in its various forms is not less than 190 times repeated in the Qur'an. In order to eliminate the contradictory meanings of the two groups of contradicting verses, it must be understood in a syar'i way, not only understood textually (mantuq). The existence of this contradiction indicates that the meaning to be shown by the two groups of verses is the syar'i meaning, not the textual meaning (mantūq). So it can be concluded that understanding the two groups of verses of al-dhalalah it cannot only be understood textually but must be understood with a syar'i approach, by looking at the qarīnah point of view contained in each verse. The ratio of al-dhalalah to Allah SWT is only a ratio of creation, not a direct ratio, while the direct subject of al-dhalalah is humans. Ada dua kelompok ayat dalam al-Qur’an yang memiliki kesenjangan dalam menisbahkan al-dhalalah kepada Allah Swt. Kelompok ayat pertama menisbahkan al-dhalalah datang dari Allah, bukan akibat langsung dari perbuatan hamba. Kelompok ayat lain menisbahkan al-dhalalah datang dari hamba bukan dari Allah Swt. Dalam tulisan ini, penulis mengkaji makna al-dhalalah yang diungkapkan dalam al-Qur’an dengan tujuan untuk menjelaskan makna al-dhalalah yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Kajian ini merupakan studi kepustakaan dengan analisis deskriptif melalui metode tafsir maudhū’i. Kata dhalla dalam berbagai bentuknya tidak kurang dari 190 kali terulang dalam al-Qur’an. Untuk meniadakan kontradiksi makna dari dua kelompok ayat yang bertentangan, harus dipahami secara syar’i tidak hanya dipahami secara tekstual (mantuq). Adanya kontradiksi ini menunjukkan bahwa makna yang hendak diperlihatkan oleh kedua kelompok ayat adalah makna syar’i bukan makna tekstual (mantūq). Sehingga dapat disimpulkan, bahwa dalam memahami dua kelompok ayat al-dhalalah tidak bisa hanya dipahami secara tekstual, akan tetapi harus dipahami dengan pendekatan syar’i, dengan melihat dari sudut pandang qarīnah yang terkandung dalam setiap ayat. Nisbah al-dhalalah kepada Allah Swt hanya sekedar nisbah penciptaan bukan nisbah secara langsung, sedangkan subyek langsung dari al-dhalalah adalah manusia.
Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Ibnu Katsir dan M. Quraish Shihab Muhamad Haswan Hafiz An Nur bin Hasin; Samsul Bahri; Lukman Hakim
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 2, No 2 (2017)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v2i2.13636

Abstract

The involvement of women in the public sphere today has become an important discussion to discuss, with changing times, it has forced some of the values that live in society to shift, including women's leadership in Islam. The emergence of pro and contra ideas about women's leadership requires a serious study, so that people can understand how to respond to this phenomenon. Based on the problems above, this study seeks to see how the views of the commentators explain the leadership of women in Islam. This study is a literature study with descriptive analysis. Through the muqaran interpretation method, the opinions of Ibn Kathir and M. Quraish Shihab became the main reference for research data. The results of the study indicate that Ibn Kathir gives an absolute signal that the right to leadership is given to men, which includes all things both in the household and in the public. While Quraish Shihab emphasized that the leadership of men over women is only limited in the household, in the public sphere, women also have the opportunity to become leaders. Keterlibatan perempuan dalam ranah publik dewasa ini telah menjadi diskusi yang penting dibicarakan, dengan perubahan zaman, telah memaksa sebagian nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat bergeser, termasuk kepemimpinan perempuan dalam Islam. Munculnya ide yang pro dan kontra tentang kepemimpinan perempuan membutuhkan kajian yang serius, sehingga masyarakat dapat memahami bagaimana cara menyikapi fenomena tersebut. Berdasarkan persoalan di atas, kajian ini berupaya melihat bagaimana pandangan ulama tafsir menjelaskan tentang kepemimpinan perempuan dalam Islam. Kajian ini bersifat kepustakaan dengan analisis deskriptif. Melalui metode tafsir muqaran, pendapat Ibnu Katsir dan M. Quraish Shihab menjadi rujukan utama sebagai data penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ibnu Katsir memberikan isyarat secara mutlak bahwa hak kepemimpinan diberikan kepada laki-laki, yang merangkumi semua hal baik di dalam rumah tangga maupun publik. Sementara Quraish Shihab menegaskan bahwa kepemimpinan laki-laki ke atas perempuan hanya terbatas di dalam rumah tangga, semnetara dalam ranah publik, perempuan juga punya kesempatan untuk menjadi pemimpin.
Ruqyah Air dalam Kegiatan Tasmi’ bi Al-Ghaib: Kajian Living Qur’an pada Ma’had Daarut Tahfiz Al-Ikhlas Aceh Samsul Bahri; Minnatul Maula
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 7, No 1 (2022)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v7i1.12548

Abstract

One of the functions of the Qur'an is as a shifa' (medicine) as Allah says in Sura al-Isra' verse 82. There are various ways applied to obtain the function of syifa', one of which is to consume water that has been recited verses of the Qur'an. This paper will discuss the function of the Qur'an as shifa', shahadah tahfiz through tasmi' bil ghaib activities and the use of water ruqyah in tasmi' bil ghaib activities. This study is a combination of literature and field research conducted in Ma'had Daarut Tahfiz Al-Ikhlas. Data were collected by observation, interview, and documentation techniques. Furthermore, data analysis is carried out with qualitative descriptive techniques. The results showed that the Qur'an can be a cure for physical and spiritual diseases through the therapy of reading verses from the Qur'an which is also accompanied by the practice of zikir and worship to draw closer to Allah. Shahadah tahfiz al-Qur'an in Ma'had Daarut Tahfiz Al-Ikhlas as a form of living Qur'an that is carried out by tasmi' bil ghaib, namely by witnessing and listening to the memorization of the Qur'an of 30 juzs by the students in front of the crowd. Tasmi' bil ghaib activities were followed by the procurement of rugyah of water which was used by students, student’s parents and the community as a shifa'. The ruqyah of water is believed to be a cause of positive energy for anyone who consumes it. Salah satu fungsi al-Qur’an adalah sebagai syifa’ (obat) sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Isra’ ayat 82. Terdapat berbagai cara yang diterapkan untuk mendapatkan fungsi syifa’ tersebut, salah satunya adalah dengan mengonsumsi air yang telah dibacakan ayat Al-Qur’an. Tulisan ini akan mendiskusikan tentang fungsi al-Qur’an sebagai syifa’, syahadah tahfiz melalui kegiatan tasmi’ bil ghaib dan pemanfaatan ruqyah air dalam kegiatan tasmi’ bil ghaib. Kajian ini merupakan gabungan dari penelitian kepustakaan dan lapangan yang dilakukan di Ma’had Daarut Tahfiz Al-Ikhlas. Data dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Selanjutnya analisis data dilakukan dengan teknik deskriptif kualitatif.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa al-Qur’an dapat menjadi obat bagi penyakit jasmani maupun ruhani melalui terapi pembacaan ayat al-Qur’an yang juga disertai pengamalan zikir dan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Syahadah tahfiz al-Qur’an di Ma’had Daarut Tahfiz Al-Ikhlas sebagai bentuk dari living al-Qur’an yang dilaksanakan secara tasmi’ bil ghaib yaitu dengan mempersaksikan dan memperdengarkan hafalan al-Qur’an 30 juz para santri di hadapan orang banyak. Kegiatan tasmi’ bil ghaib diikuti dengan pengadaan ruqyah air yang dimanfaatkan santri, wali santri maupun masyarakat sebagai syifa’. Air ruqyah tersebut diyakini mampu menjadi sebab yang menimbulkan energi positif bagi siapa saja yang mengkonsumsinya.