cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Perspektif : Review Penelitian Tanaman Industri
Published by Kementerian Pertanian
ISSN : 14128004     EISSN : 25408240     DOI : -
Core Subject : Education,
Majalah Perspektif Review Penelitian Tanaman Industri diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan yang memuat makalah tinjauan (review) fokus pada Penelitian dan kebijakan dengan ruang lingkup (scope) komoditas Tanaman Industri/perkebunan, antara lain : nilam, kelapa sawit, kakao, tembakau, kopi, karet, kapas, cengkeh, lada, tanaman obat, rempah, kelapa, palma, sagu, pinang, temu-temuan, aren, jarak pagar, jarak kepyar, dan tebu.
Arjuna Subject : -
Articles 6 Documents
Search results for , issue "Vol 18, No 1 (2019): Juni 2019" : 6 Documents clear
PEDULI KONSERVASI TANAH DAN AIR TINGGAL SLOGAN? STUDI KASUS LAHAN PERKEBUNAN RAKYAT / A Soil and Water Conservation Only be a Slogan? Case Study of Land of Smallholder Plantation Bariot - Hafif
Perspektif Vol 18, No 1 (2019): Juni 2019
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v18n1.2019.01-15

Abstract

Pengelolaan lahan yang kurang peduli kaidah konservasi tanah dan air (KTA) berkontribusi nyata terhadap kerusakan lahan. Hal itu diantaranya terjadi pada areal perkebunan rakyat yang kebanyakan dikelola secara konvensional. Dari 26,5 juta ha luas perkebunan nasional, 65% merupakan lahan perkebunan rakyat yang dominan berada pada topografi berlereng dengan rata-rata umur tanaman telah di atas 25 tahun. Cara pengelolaan konvensional yang mendorong terjadinya erosi dan degradasi lahan dan umur tanaman yang semakin tua mengakibatkan produksi tanaman cenderung terus menurun, sehingga jauh dibawah produktivitas perkebunan Swasta dan Negara. Agar kerusakan sumberdaya lahan tidak berkelanjutan dan produktivitas perkebunan rakyat meningkat, perlu adanya revolusi kebijakan khususnya terhadap KTA dan penerapan teknologinya. Namun untuk sampai pada tahap tersebut akan menghadapi tantangan seperti curah hujan dan intensitas hujan tinggi, lahan berlereng, dan erodibilitas tanah tinggi. Tantangan lain ialah efek erosi yang bertahap dalam menurunkan produktivitas lahan, dan penerapan teknologi KTA kadang tidak berpengaruh langsung terhadap peningkatan produksi tanaman. Tantangan selanjutnya adalah petani kebanyakan lemah dalam modal dan kepercayaan mereka masih rendah untuk berinvestasi ke lahan, disebabkan tingginya fluktuasi harga komoditas perkebunan. Peluang yang diharapkan memotivasi masyarakat perkebunan untuk lebih peduli KTA antara lain perekonomian petani perkebunan membaik dan ekspor komoditas perkebunan berperan nyata sebagai sumber devisa negera, dan teknologi KTA dapat berperan dalam mitigasi perubahan iklim dan penyelamatan hutan tropis.  Implikasi kebijakan untuk hal itu antara lain memberi semangat baru terhadap masyarakat perkebunan untuk lebih peduli KTA, memperbaiki Institusi penanggungjawab Tupoksi, memberikan insentif terhadap setiap aksi konservasi,  melindungi petani dari fluktuasi harga komoditas dan  mempromosikan program KTA yang mampu memperbaiki kinerja komoditas dalam waktu relatif singkat seperti Program Nasional pengayaan bahan organik tanah.    ABSTRACTDo not care about the principles of soil and water conservation (SWC) contributes significantly to land degradation. It occurs on smallholder plantations, which are mostly conventionally managed. Of the 26.5 million ha of the national plantation, 65% is the smallholder plantation which is dominantly located on sloping topography with an average age of plants are over 25 years. Inappropriate management, erosion, and land degradation and also the age of plants getting older are some reasons that the smallholder plantation productivity is below the Private and State plantations. To avoid further destruction of land resources and to increase the productivity of smallholder plantations, the SWC and strategies of its application require a policy revolution. To reach that stage, however, it would face some challenges such as high rainfall intensity, sloping land, and high erodibility of soil. Another challenge is the gradual effects of erosion in reducing land productivity, and the application of SWC technologies sometimes does not directly affect crop production. The next challenge is the farmers have low capital and doesn't trust to invest in the land, due to high fluctuation of the commodity price. The opportunity to motivate the plantation community to care more about SWC is through the economic improvement of plantation farmers and the role of export of plantation commodities that are quite good into foreign exchange, in addition, SWC technology can also play a role in mitigating climate change and saving tropical forests. The policy implications for all include giving a new spirit to the plantation community to care more about SWC, provide incentives for every conservation action, commodity price protection and a National Program for soil organic matter enrichment.
PROSPEK INSEKTISIDA NABATI BERBAHAN AKTIF METIL EUGENOL (C12H24O2) SEBAGAI PENGENDALI HAMA LALAT BUAH Bactrocera Spp. (Diptera : Tephritidae) Prospect of Methyl Eugenol (C12H24O2) as Active Ingredient of Botanical Insecticide for Fruit Flies Control Bact Agus Kardinan
Perspektif Vol 18, No 1 (2019): Juni 2019
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v18n1.2019.16-27

Abstract

ABSTRAK  Pengendalian organisme pengganggu tanamam (OPT) di bidang hortikultura, khususnya dengan pestisida cukup tinggi, yaitu dapat mencapai 30% dari biaya usahataninya.  Salah satu OPT di bidang hortikultura adalah hama lalat buah (Bactrocera spp.) yang mengakibatkan buah muda rontok, buah menjadi busuk dan berbelatung dengan kerusakan berkisar antara 30 - 60%, bahkan tidak jarang menggagalkan panen.  Petani sangat bergantung kepada pestisida kimia sintetis yang sering menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan pengguna.  Salah satu alternatif pengendalian ramah lingkungan adalah dengan penggunaan insektisida nabati, yaitu dengan memanfaatkan tanaman yang mengandung bahan aktif metil eugenol (C12H24O2), seperti Melaleuca bracteata, Ocimum sanctum, Ocimum minimum dan Ocimum tenuiflorum. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai potensi insektisida nabati berbahan aktif metil eugenol yang dapat digunakan sebagai pengendali hama lalat buah Bactrocera spp. Minyak atsiri yang dihasilkan dari hasil penyulingan gabungan tanaman tersebut mengandung metil eugenol ± 80%. Dari minyak atsiri tersebut dibuat beberapa formula, diantaranya ; (1) atraktan lalat buah berbentuk cair/minyak; (2) lem perangkap/sticky trap dan (3) umpan beracun/poisonous bait. Pemanfaatan senyawa ini sebagai pengendali lalat buah melalui penggunaan umpan beracun dan lem perangkap dilengkapi umpan sari buah (essence) a,l, mangga, belimbing, jambu biji, jeruk, apel dan nenas serta gula kelapa mampu menurunkan intensitas serangan lalat buah pada mangga sebesar 38,6 - 58,9%. Penggunaan perangkap berwarna kuning dapat meningkatkan efektivitas pengendalian lalat buah.  ABSTRACT Pest control in horticulture commodities need high cost, especially for buying pesticide that can reach about 30% of total expenses. One of the pest problems in  horticulture is fruit fly (Bactrocera spp) which causes young fruit fall, the fruit becomes rotten and contain magot/larva with damage ranging from 30 - 60%,  even rarely causing fail in harvest. Farmers rely heavily on synthetic chemical pesticides that often have a negative impact on the environment and user health. An alternative eco-friendly control is the use of botanical insecticide by using plants containing active ingredient of methyl eugenol (C12H24O2), such as Melaleuca bracteata, Ocimum sanctum, Ocimum minimum and Ocimum tenuiflorum. The essential oils resulted from  distillation of the mixed plant above contain methyl eugenol ± 80%. Some products can be made from the essential oils containing methyl eugenol, i.e. (1) Attractant in the form of liquid/oil; (2) Glue/sticky trap and 3) Poisonous bait. The objective of the paper is to inform the pottency of botanical insecticide containing active ingredient of methyl eugenol for controlling fruit flies Bactrocera spp.
PEMANFAATAN BROTOWALI (Tinospora crispa (L.) Hook.f & Thomson) SEBAGAI PESTISIDA NABATI / The utilization of bitter grape (Tinospora crispa (L.) Hook.f & Thomson) as botanical pesticide Wiratno Wiratno; Hera Nurhayati; Sujianto Sujianto
Perspektif Vol 18, No 1 (2019): Juni 2019
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v18n1.2019.28-39

Abstract

Penggunaan pestisida kimia menyebabkan berbagai masalah yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan dan kesehatan manusia.  Oleh karena itu, penggunaan pestisida  berbahan baku alami merupakan salah satu alternatif yang digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT).  Brotowali (Tinospora crispa) merupakan tanaman berkhasiat obat yang tumbuh di daerah tropis termasuk Indonesia. Tanaman tersebut sering digunakan sebagai obat untuk demam, kolera, rematik, penyakit kuning dan diabetes tipe II.  Bahan aktif yang terkandung di dalam akar, batang, daun, buah dan bunga brotowali, yang dapat mengendalikan OPT di antaranya adalah alkaloid, tanin, saponin, glikosida, terpenoid dan flavonoid beserta turunannya. Selain bersifat toksik untuk serangga, tanaman brotowali juga bersifat antijamur, antinematisida dan antimoluska.  Batang brotowali dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan serangga diantaranya tungau, Spodoptera exigua, Nephotettix spp, Nilaparvata lugens, Plutella xylostella, Phyliotera sinuata Ateph, Scirtothrips dorsalis Hood, Phyllocnistis citrella Stainton dan larva nyamuk Culex quinquefasciatus (vektor penyakit filariasis) dengan nilai efektivitas diatas 50% dan rasio efisiensi biaya produksi yang lebih rendah dari pestisida sintetik. Selain itu juga brotowali  dapat digunakan sebagai bahan untuk campuran pestisida organik.  Budidaya brotowali cukup mudah, walaupun belum banyak diteliti, sehingga ketersediaan bahan baku juga dapat berkelanjutan. Review ini bertujuan untuk mengemukakan hasil-hasil penelitian yang terkait dengan penggunaan brotowali sebagai bahan untuk pestisida nabati. ABSTRACT Excessive use of chemical pesticides cause various problems related to environmental sustainability and human health. Therefore, the use of pesticides made from natural materials, such as from plants known as botanical pesticides, is one of the alternatives used to control plant pest.  Bitter grape (Tinospora crispa) is a medicinal plant  grows in tropical regions including Indonesia. The plant is often used as medicine for fever, cholera, rheumatism, jaundice and type II diabetes. The active ingredients contained in the roots, stems, leaves, fruits and flowers of this plant, which are able to control pests, are alkaloids, tannins, saponins, glycosides, terpenoids, flavonoids and their derivatives. Besides being toxic to insects, bitter grape also has  antifungal, antinematicidal and antimollusca activities. The extract or directly used of bitter grape stem had been utilized to control insects such as mites, Spodoptera exigua, Nephotettix spp, Nilaparvata lugens, Plutella xylostella, Phyliotera sinuata ateph, Scirtothrips dorsalis Hood, Phyllocnistis citrella Stainton and larvae of Culex quinquefasciatus (phyllariasis disease vector), with the pesticide effectiveness above 50% and efficiency ratio of cost production lower than synthetic pesticide.  Moreover, it can be mixed with other plants as raw materal for organic pesticide.  Bitter grape can be cultivated easily, although its cultivation technology has not been widely studied.  Thus, the sustainability of the raw materials will not be a problem. This review aimed to present the results of research related to the use of bitter grape as the material for botanical pestiside.
KELAYAKAN TEKNIS PENGEMBANGAN AGAVE DI LAHAN KERING BERIKLIM KERING Agave Stub Pattern Development in Dry Land, Dry Climate Budi Santoso; Mohammad Cholid
Perspektif Vol 18, No 1 (2019): Juni 2019
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v18n1.2019.40-51

Abstract

ABSTRAK Pengembangan agave diarahkan pada lahan kering beriklim kering yang cukup luas ketersediaannya. Potensi curah hujan yang terbatas sekitar 1.347,71 mm/tahun masih dapat mendukung pertumbuhan agave. Tujuan dari penulisan tinjauan ini adalah untuk menginformasikan pola rintisan pengembangan agave di lahan kering, iklim kering di Sumbawa Barat, sehingga dapat diekstrapolasikan ke daerah lain yang memiliki kemiripan sumber daya alam, ekosistem dan kondisi sosial. Program pola rintisan pengembangan agave di Sumbawa Barat mengikuti azas plasma dan inti.  Investor nasional sebagai inti dan para petani sebagai pelaku plasma.  Investor berkewajiban membeli serat kering agave pada saat panen dari para petani plasma dengan harga yang disepakati bersama. Selain itu investor menyediakan sarana produksi dan mesin dekortikator dengan sistem bantuan sosial. Benih Agave disediakan oleh Investor. Pola rintisan pengembanan agave di Sumbawa Barat dilaksanakan di Kecamatan Sekongkang, Poto Tano, dan Alas seluas 5.000 ha yang didukung oleh 10.000 Kepala Keluarga (KK). Dalam pelaksanaan pengembangan pola rintisan agave ini didukung dengan penyediaan paket teknologi berupa benih agave dari kultur jaringan; sistem tanam double row dan rapat; pengendalian penyakit; pengendalian gulma; aplikasi Ca dan Mg; dan teknologi pasca panen. Pengembangan agave di daerah rintisan hendaknya secara sosial dapat diterima oleh masyarakat, secara ekonomi menguntungkan dan mempunyai nilai tambah, tidak merusak lingkungan, dapat dikerjakan oleh petani, produk yang dihasilkan memiliki daya saing yang tinggi serta berorientasi dari produk primer ke sekunder. ABSTRACTAgave development is allocated to a dry up land area with dry climate, which is still available in large extent. The low annual rainfall of 1.347,71 mm is potentially sufficient for agave development. The purpose of this review is to provide information of the development of agave pioneer pattern on dry upland with dry climate in West Sumbawa, with the expectation that it can be extrapolated to other areas with similar natural resources, ecosystems and social conditions. The initial agave development program in West Sumbawa is based on nucleus and plasma principles. National investors as a nucleus and farmers as actors of plasma. Investors are obliged to buy a dry fiber agave at the harvesting from the farmers with a mutually agreed price. Additionally, investor provides production facilities, machinery dekorticator and seeds in the form of social assistance system. The pioneer pattern of agave development  in West Sumbawa was carried out in Sekongkang, Poto Tano and Alas districts and covered the areas of 5,000 ha involving 10,000 household (HH). In the implementation of the agave development pattern, it is supported by the provision of technological package consisting of agave seeds derived from tissue culture; densely double row planting system; disease control; weed control, application of Ca and Mg; and post-harvest technology.  Stub pattern agave development in the area should be socially acceptable by society, economically profitable and value-added, do not damage the environment, can be done by farmers, the products have high competitiveness and oriented from primary to secondary products. The development of agave in the pilot area should be socially acceptable to the community, economically profitable and has added value, does not damage the environment, can be done by farmers, the products produced have high competitiveness and are concentrated from primary to secondary products   
PERANAN AGENS HAYATI DALAM MENGENDALIKAN PENYAKIT JAMUR AKAR PUTIH PADA TANAMAN KARET The Role Of Biocontrol Agents To Control White Root Disease In Rubber Amaria, Widi; Khaerati, Khaerati; Harni, Rita
Perspektif Vol 18, No 1 (2019): Juni 2019
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v18n1.2019.52-66

Abstract

Penyakit jamur akar putih (JAP) yang disebabkan oleh Rigidoporus microporus merupakan penyakit penting pada tanaman karet (Hevea brasiliensis). Daerah serangan cukup luas dan menyebabkan kerugian ekonomi mencapai 1,8 trilliun rupiah. R. microporus merupakan patogen tular tanah yang menginfeksi mulai pembibitan sampai tanaman dewasa di lapang melalui proses mekanis dan enzimatis. Patogen R. microporus menginfeksi Rhizomorf R. microporus cepat berkembang dan mampu bertahan selama bertahun-tahun di dalam tanah. Pengendalian dengan menggunakan fungisida kimia secara terus menerus dapat mengganggu kestabilan lingkungan. Upaya mengurangi dampak negatif tersebut, dilakukan melalui penerapan teknologi pengendalian hayati dengan pemanfaatan agens hayati. Keunggulan penggunaan agens hayati antagonis adalah mudah berkembang dan beradaptasi dengan lingkungan, mengurangi inokulum patogen, mudah didapatkan dan diperbanyak, serta aman untuk lingkungan. Agens hayati antagonis yang telah digunakan untuk mengendalikan penyakit JAP, antara lain dari kelompok jamur Trichoderma, Hypocrea, Aspergillus, Chaetomium, Botryodiplodia, Penicillium, Paecilomyces, dan Eupenicillium, kelompok bakteri adalah Bacillus dan Pseudomonas, serta kelompok aktinobakteri dari marga Streptomyces. Mekanisme agens hayati menekan infeksi R. microporus dengan kompetisi, antibiosis, hiperparasitisme, dan lisis. Keefektifan dan kestabilan agens hayati perlu diformulasi dalam bentuk biofungsida dengan menggunakan bahan pembawa dan tambahan tertentu. Keberhasilan aplikasi biofungisida sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, kelembapan, dan pH. Selain itu, juga didukung oleh komponen budi daya tanaman, seperti penggunaan pupuk organik, dan sanitasi lingkungan dengan pemusnahan sumber inokulum.  ABSTRACT White root disease (WRD) caused by Rigidoporus microporus is an important disease in rubber (Hevea brasiliensis). The area of attack was quite extensive and caused economic losses up to 1.8 trillion rupiahs. R. microporus is a soil-borne pathogen that infects from seedlings to mature plants in the field through mechanical and enzymatic processes. Rhizomorph able to spreads and survives for years in the soil. Control using chemical fungicides continuously affects the environment stability. The efforts to reduce are conducted through the application of biological control technology with the use of antagonistic biological agents. The benefits of antagonistic biological agents include: easy to develop and adapt to the environment, reducing pathogen inoculum, easily obtained and reproduced, and safe for the environment. The antagonistic biological agents to control WRD include fungus: Trichoderma, Hypocrea, Aspergillus, Chaetomium, Botryodiplodia, Penicillium, Paecilomyces, Eupenicillium, bacteria: Bacillus and Pseudomonas, and actinobacteria: Streptomyces. The mechanism of biological agents that suppress R. microporus infections with the competition, antibiosis, hyperparasitism, and lysis. The effectiveness and stability of biological agents need to be formulated into biofungicide using carriers and additives. The successful application of biofungicide is strongly influenced by environmental factors such as temperature, humidity, and pH. It is also supported by the cultivation techniques and environmental sanitation, including inoculum source. 
PERBANYAKAN ILES-ILES ( Amorphophallus spp.) SECARA KONVENSIONAL DAN KULTUR IN VITRO SERTA STRATEGI PENGEMBANGANNYA Conventional Propogation and In Vitro Culture of Iles-Iles (Amorphophallusspp.) and Its Development Strategy Meynarti Sari Dewi Ibrahim
Perspektif Vol 18, No 1 (2019): Juni 2019
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v18n1.2019.67-78

Abstract

ABSTRAK Iles-iles (Amorphophallus spp.) tergolong ke dalam suku talas-talasan yang saat ini karena kandungan gizinya mulai dilirik sebagai bahan baku pangan fungsional. Nilai ekonomi Iles-iles ada pada kandungan glukomanannya. Glukomanan merupakan suatu senyawa polisakarida jenis hemiselulosa yang bersifat hidrokoloid, larut dalam air, rendah kalori, dan bebas dari gluten. Sifat ini menjadikan tepung glokomanan selain untuk kebutuhan bahan pangan, juga digunakan untuk bahan baku industri. Permasalahan dalam pengembangan tanaman iles-iles sebagai alternatif pengganti pangan antara lain ketersediaan bahan baku yang tidak dapat terpenuhi secara kontiyu. Hal ini kemungkinan besar karena siklus hidupnya yang lama, dan masih banyak petani maupun masyarakat yang belum mengetahui prospek tanaman iles-iles, sehingga belum tertarik untuk membudidayakannya. Ketersediaan bahan baku secara kontiyu tentu saja memerlukan bahan tanam yang tidak sedikit. Untuk menyediakan benih tanaman iles-iles, perbanyakan dapat dilakukan secara konvensional dan secara in vitro.  Secara konvensional perbanyakan menggunakan umbi batang merupakan cara yang lebih praktis dibandingkan bulbil, biji atau stek daun.  Pada  kultur in vitro, penggunaan tangkai daun (petiol)  paling efisien dibandingkan eksplan lainnya. Media multipikasi tunas terbaik adalah Media MS yang diberi kombinasi Thidiazuron (0,2 mg/1) dan Benzylaminopurine (0,5 mg/1). Jumlah tunas yang didapatkan melalui kultur in vitro jauh lebih banyak (37 tunas) dibandingkan perbanyakan konvensional yang hanya menghasilkan 1 tunas. Untuk perakaran, media terbaik menggunakan MS yang diberi IBA 1,0 mg/l. Informasi perbanyakan iles-iles secara konvensional dan kultur in vitro serta stategi pengembangannya diharapkan dapat membantu mengatasi masalah ketersedian  benih.  ABSTRACT Iles-iles (Amorphophallus spp.) belongs to the taro family, which has gained increasing attention due to its nutritional content for functional food materials. The economic value of Iles-iles lies in the glucomannan content that is a hemicellulose type polysaccharide compound that is hydrocolloid, water soluble, low in calories, and free of gluten.  Additionally, iles-iles is also potential for industry. However, sustainability in iles-iles supply is one main problem due to its long life cycle and its potential is not yet known among farmers and communities hence lack of interest in cultivating. Thus, providing sufficient planting materials is required which can be achieved through propagation, both conventionally and nonconventionally using in vitro culture. Conventional propagation using stem tubers is more practical than bulbates, seeds or leaf cuttings. In in vitro culture, previous studies on  several explants found that the use of petiol is most efficient compared with other explants.  The best media for multiplication is  combination of thidiazuron (0.2 mg/1) and Benzylaminopurine (0.5 mg/1). The number of shoots obtained through in vitro is much more (37 shoots ) than conventional propagation which only produced 1 shoot. For rooting, the best medium is MS which is given IBA 1.0 mg / l. Information on conventional propagation of iles-iles and in vitro culture and it development strategies are expected to help solving the problem of seed availability.

Page 1 of 1 | Total Record : 6