cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota malang,
Jawa timur
INDONESIA
Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum
Published by Universitas Brawijaya
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 81 Documents
Search results for , issue "Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2023" : 81 Documents clear
UNSUR SEKSUALITAS DALAM TINDAK PIDANA PELECEHAN SEKSUAL NON-FISIK DAN FISIK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2022 TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL Ken Andarini
Brawijaya Law Student Journal Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2023
Publisher : Brawijaya Law Student Journal

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ken Andarini, Lucky Endrawati, Ladito Risang Bagaskoro Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono No. 169 Malang e-mail: kenandarini@ub.ac.id Abstrak Unsur seksualitas dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang mengatur mengenai pelecehan seksual memilki indikasi kekaburan norma. Hal ini dilatarbelakangi karena unsur seksualitas merupakan hal yang baru dalam hukum indonesia dan tidak adanya batasan bentuk tindakan pelecehan yang berkenaan dengan seksualitas sehingga, menjadikan pemaknaan seksualitas menjadi bias dan tidak diuraikan secara jelas dalam menentukan dasar pengenaan seksualitas. Kekaburan ini juga berpotensi menghambat pembuktian unsur seksualitas serta memicu adanya penafsiran yang berbeda oleh hakim dalam menguraikan unsur seksualitas. Tujuan penelitian ini ialah menganalisis dan makna unsur seksualitas dalam pelecehan seksual fisik dan non-fisik dalam Undang-Undang Tindak Pidana perbuatan Seksual serta pembuktianya dalam putusan nomor 60/Pid.sus./2022/PN Nga. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep, dan pendekatan kasus. Bahan hukum yang diperoleh kemudian dianalisis dengan Teknik deskriptif analisis, interpretasi gramatikal, dan interpretasi historis kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang sesuai dengan permasalahan peneliti. Hasil penelitian dengan metode penelitian diatas, Penulis menemukan jawaban atas permasalahan yang ada, bahwa makna dari unsur seksualitas ini terbukti UU TPKS terbukti dan Undang-undang lainya tidak ditemukan penjelasan. Pemaknaan unsur seksualitas kemudian dapat ditelusuri melalui putusan nomor 60/Pid.Sus/2022/PN Nga yang mengartikan unsur seksualitas sebagai sifat yang berkenaan dengan seks. Dalam pembuktian unsur seksualitas putusan nomor 60/Pid.Sus/2022/PN Nga hakim menggunakan keterangan terdakwa dan keterangan saksi korban untuk membuktikan perasaan seksualitas dalam perbuatan pelecehan seksual. Kata Kunci: kekaburan norma, pelecehan seksual, seksualitas, UU TPKS Abstract The sexual aspect in Article 5 and Article 6 of Law Number 12 of 2022 concerning Sexual Violence as a Crime regulating sexual harassment indicates the vagueness of the norm, considering that the sexual aspect is new in the scope of law in Indonesia and there has not been any specific scope of sexuality governed, rendering the meaning of the aspect ambiguous. This is because there is no elaborate definition to set the basis of the sanction regarding sexuality. This vagueness may also slow down the process of presenting proof for the aspect of sexuality and lead to multi-interpretation among judges. This research aims to analyze the meaning of sexual aspect over non-physical and physical sexual harassment in Sexual Crime Law and the evidence in Decision Number 60/Pid.sus/2022/PN Nga. This research employed normative-juridical methods and statutory, conceptual, and case approaches. The legal materials were analyzed based on descriptive-analysis technique, and grammatical, and historical interpretations before they were likened to relevant statutes and court verdicts. The research results reveal that there is no elaboration on the matter found in Law concerning Sexual Violence as a Crime. The definition of the sexual aspect could be traced through Decision Number 60/Pid.Sus/2022/PN Nga, defining the aspect as sexual traits. In the court decision concerned, the judges referred to the information given by defendants and witnesses to prove sexual feelings involved in the sexual harassment in the case concerned. Keywords: sexuality, sexual harassment, sexual violence law, vagueness of norm
UNSUR SEKSUALITAS DALAM TINDAK PIDANA PELECEHAN SEKSUAL NON-FISIK DAN FISIK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2022 TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL Andarini, Ken
Brawijaya Law Student Journal Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2023
Publisher : Brawijaya Law Student Journal

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ken Andarini, Lucky Endrawati, Ladito Risang Bagaskoro Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono No. 169 Malang e-mail: kenandarini@ub.ac.id Abstrak Unsur seksualitas dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang mengatur mengenai pelecehan seksual memilki indikasi kekaburan norma. Hal ini dilatarbelakangi karena unsur seksualitas merupakan hal yang baru dalam hukum indonesia dan tidak adanya batasan bentuk tindakan pelecehan yang berkenaan dengan seksualitas sehingga, menjadikan pemaknaan seksualitas menjadi bias dan tidak diuraikan secara jelas dalam menentukan dasar pengenaan seksualitas. Kekaburan ini juga berpotensi menghambat pembuktian unsur seksualitas serta memicu adanya penafsiran yang berbeda oleh hakim dalam menguraikan unsur seksualitas. Tujuan penelitian ini ialah menganalisis dan makna unsur seksualitas dalam pelecehan seksual fisik dan non-fisik dalam Undang-Undang Tindak Pidana perbuatan Seksual serta pembuktianya dalam putusan nomor 60/Pid.sus./2022/PN Nga. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep, dan pendekatan kasus. Bahan hukum yang diperoleh kemudian dianalisis dengan Teknik deskriptif analisis, interpretasi gramatikal, dan interpretasi historis kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang sesuai dengan permasalahan peneliti. Hasil penelitian dengan metode penelitian diatas, Penulis menemukan jawaban atas permasalahan yang ada, bahwa makna dari unsur seksualitas ini terbukti UU TPKS terbukti dan Undang-undang lainya tidak ditemukan penjelasan. Pemaknaan unsur seksualitas kemudian dapat ditelusuri melalui putusan nomor 60/Pid.Sus/2022/PN Nga yang mengartikan unsur seksualitas sebagai sifat yang berkenaan dengan seks. Dalam pembuktian unsur seksualitas putusan nomor 60/Pid.Sus/2022/PN Nga hakim menggunakan keterangan terdakwa dan keterangan saksi korban untuk membuktikan perasaan seksualitas dalam perbuatan pelecehan seksual. Kata Kunci: kekaburan norma, pelecehan seksual, seksualitas, UU TPKS Abstract The sexual aspect in Article 5 and Article 6 of Law Number 12 of 2022 concerning Sexual Violence as a Crime regulating sexual harassment indicates the vagueness of the norm, considering that the sexual aspect is new in the scope of law in Indonesia and there has not been any specific scope of sexuality governed, rendering the meaning of the aspect ambiguous. This is because there is no elaborate definition to set the basis of the sanction regarding sexuality. This vagueness may also slow down the process of presenting proof for the aspect of sexuality and lead to multi-interpretation among judges. This research aims to analyze the meaning of sexual aspect over non-physical and physical sexual harassment in Sexual Crime Law and the evidence in Decision Number 60/Pid.sus/2022/PN Nga. This research employed normative-juridical methods and statutory, conceptual, and case approaches. The legal materials were analyzed based on descriptive-analysis technique, and grammatical, and historical interpretations before they were likened to relevant statutes and court verdicts. The research results reveal that there is no elaboration on the matter found in Law concerning Sexual Violence as a Crime. The definition of the sexual aspect could be traced through Decision Number 60/Pid.Sus/2022/PN Nga, defining the aspect as sexual traits. In the court decision concerned, the judges referred to the information given by defendants and witnesses to prove sexual feelings involved in the sexual harassment in the case concerned. Keywords: sexuality, sexual harassment, sexual violence law, vagueness of norm
ANALISIS YURIDIS HARMONISASI PENGATURAN TINDAK PIDANA PELECEHAN SEKSUAL FISIK (STUDI TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2022 TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL) Pambudi, Alif Bagas Satrya
Brawijaya Law Student Journal Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2023
Publisher : Brawijaya Law Student Journal

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Alif Bagas Satrya Pambudi, Abdul Madjid , Ladito Risang Bagaskoro Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono No. 169 Malang e-mail: bagassatrya@gmail.com Abstrak Ketentuan yang ada di dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang kitab undang-undang hukum pidana dan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdapat inkonsistensi, atau pertentangan antara berbagai peraturan hukum yang berlaku dan dapat menciptakan ataupun menumbulkan kekeliruan dari penegak hukum atas duplikasi delik terhadap perbuatan sejenis, ketentuan dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2023 tepatnya pada pasal 473 dan 414 yang menjadi dasar hukum tindak pidana perkosaan dan tindak pidana percabulan nantinya dirasa akan tumpang tindih terhadap pengaturan delik dan inkonsistensi pengaturan delik terhadap tindak pidana perkosaan dan tindak pidana percabulan yang juga diatur di dalam Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang dalam pasal 4 ayat 2 menyebutkan bahwa perkosaan dan percabulan merupakan suatu bentuk kekerasan seksual, yang artinya UU 12/2022 juga secara langsung ikut menjadi dasar hukum tindak pidana perkosaan dan percabulan, ketiadaan harmonisasi antara ke 2 Undang – Undang tersebut juga dapat menimbulkan Kekeliruan dari penegak hukum atas duplikasi delik terhadap perbuatan yang sejenis. Kata Kunci: inkonsistensi, harmonisasi, pelecehan seksual fisik Abstract The provisions in Law Number 1 of 2023 concerning Penal Code and Law Number 12 of 2022 concerning Criminal Sexual Harassment are inconsistent and conflict with several regulations. This situation may spark errors among law enforcers in delict duplication of similar offenses. The provisions in Law Number 1 of 2023, particularly Articles 473 and 414 as the legal basis of criminal rape and molestation may overlap with regulations governing delicts and spark inconsistency. Delicts regarding criminal rape and molestation are also regulated in Law Number 12 of 2022 concerning Sexual Violence, especially in Article 4 paragraph 2 stating that rape and molestation represent sexual violence. In other words, law number 12/2022 also serves as the reference for rape and molestation. The disharmony between these two laws can also lead to errors among law enforcers regarding the duplication of delict of similar offenses. Keywords: inconsistence, harmonization, physical sexual harassment
URGENSI PEMBENTUKAN LEMBAGA PELINDUNGAN DATA PRIBADI SEBAGAI WUJUD PENYELENGGARAAN PELINDUNGAN DATA PRIBADI (STUDI KOMPARASI INDONESIA DENGAN UNI EROPA) Taqqiya, Annisa Gema
Brawijaya Law Student Journal Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2023
Publisher : Brawijaya Law Student Journal

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Annisa Gema Taqqiya, Moch. Zairul Alam, Diah Pawestri Maharani Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono No. 169 Malang e-mail: annisagts@gmail.com Abstrak Kenaikan penggunaan teknologi membawa ancaman kriminal, terutama dalam hal keamanan data pribadi. Isu perlindungan data menjadi penting karena potensi pencurian dan penyebaran data dengan cepat melalui teknologi. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) telah disahkan pada 17 Oktober 2022. Meskipun UU PDP telah berlaku, namun hingga saat ini belum ada peraturan pelaksana yang mengatur tentang lembaga pelindungan data pribadi. Keberadaan lembaga ini sangat relevan mengingat tugasnya dalam pengawasan dan penegakan UU PDP. Berdasarkan permasalahan tersebut, skripsi ini mengangkat permasalahan (1) Bagaimana urgensi pembentukan lembaga pelindungan data pribadi sebagai wujud penyelenggaraan pelindungan data pribadi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi? (2) Bagaimana rekomendasi pembentukan kelembagaan berdasarkan studi perbandingan dengan kelembagaan pada General Data Protection Regulation (GDPR) di UNI Eropa? Jenis penelitiannya adalah penelitian normatif dengan metode pendekatan pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang diperoleh oleh penulis akan dilakukan analisis menggunakan metode interpretasi sistematis dan metode interpretasi komparatif. Berdasarkan hasil analisis penulis, pembentukan lembaga pelindungan data pribadi sangat dibutuhkan dalam penerapan UU PDP, karena peran krusial yang dipegang adalah fungsi pengawasan dan memfasilitasi penyampaian pengaduan terkait dugaan pelanggaran UU PDP. Sehingga, hasil studi komparasi dengan GDPR menunjukkan bahwa harus menambahkan pasal pada UU PDP yang menyatakan independensi lembaga pelindungan data pribadi serta menambahkan ketentuan mengenai prasyarat independensi sebagaimana GDPR. Kata Kunci: lembaga, penyelenggaraan, perlindungan data pribadi Abstract The growing frequency of technology utilization has triggered personal data-related criminal offenses. Issues of data protection are increasingly important since data theft and dissemination have been massive in technology. Law Number 27 of 2022 concerning Personal Data Protection (henceforth referred to as UU PDP) was passed on 17 October 2022. Although the UU PDP is in place, there are no delegated regulations governing personal data protection agencies, and the existence of such an agency is considered essential since it controls and enforces the UU PDP. Departing from this issue, this research aims to study: (1) the urgency of the establishment of a personal data protection agency to protect personal data according to Law Number 27 of 2022 concerning Personal Data Protection, (2) the recommendation of the establishment of the agency according to the comparison to the General Data Protection Regulation (GDPR) in European Union. This research employed a normative method and conceptual, statutory, and comparative approaches. Primary, secondary, and tertiary data were analyzed using systematic and comparative interpretations, revealing that the presence of this agency is crucial in the implementation of UU PDP, considering that it holds its role in supervising and facilitating grievances over violations of UU PDP. The comparative study that took place implies that an article should be added to UU PDP, mentioning the independence of a personal data protection agency. Another provision stating the requirements of the independence as in GDPR should also be added. Keywords: agency, administration, personal data protection
PENGATURAN AMICUS CURIAE DALAM PERSIDANGAN PERKARA PIDANA UNTUK MENCAPAI KEADILAN Anindita, Salsabila Riszki
Brawijaya Law Student Journal Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2023
Publisher : Brawijaya Law Student Journal

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Salsabila Riszki Anindita, Bambang Sugiri, Alfons Zakaria Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono No. 169 Malang e-mail: salsabilariszki@student.ub.ac.id Abstrak Penelitian ini mengangkat permasalahan mengenai pengaturan amicus curiae dalam persidangan perkara pidana di Indonesia. Pilihan tema tersebut dilatar belakangi oleh tidak adanya peraturan yang mengatur secara jelas atau eksplisit mengenai penggunaan amicus curiae di Indonesia meskipun dalam peradilan sudah banyak digunakan dalam beberapa perkara, bahkan dalam suatu perkara hakim menjadikan amicus curiae sebagai alat bukti padahal dasar hukumnya belum jelas. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif yang menggunakan pendekatan perundang – undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian ini menyimpulkan peran amicus curiae saat ini sebagai pemberi informasi tambahan untuk melengkapi informasi yang dibutuhkan oleh hakim baik pendapatnya disebut dan dijadikan pertimbangan maupun pendapatnya tidak disebutkan tetapi menjadi pertimbangan hakim. Penggunaannya masih diakui secara informal, penting untuk mengatur amicus curiae dalam Peraturan perundang – undangan seperti Peraturan Mahkamah Agung (PERMA). Pengaturan amicus curiae di masa yang akan datang hendaknya dapat mengakomodir pengakuan secara formal baik itu persyaratan, maupun mekanisme bagi pihak – pihak yang ingin mengajukan amicus curiae yang dapat menjamin keadilan bagi semua pihak. Kata Kunci: amicus curiae, Indonesia, keadilan, pengaturan, sistem peradilan pidana Abstract This research studies the rule of amicus curiae in trials in Indonesia. This research topic departed from the absence of a regulation clearly governing a case on the basis of amicus curiae in Indonesia despite its frequent use in several cases. Even once a judge referred to amicus curiae as proof despite murky legal basis. This research employed a normative-juridical method and statutory and conceptual approaches. The results reveal that amicus curiae serves as an additional information provider to complete the information needed by judges in the context of either the mentioned opinion as the basis for consideration or the unmentioned opinion that serves as the basis for consideration. The use of amicus curiae is formally recognized. It is imperative to regulate amicus curiae in the legislation, including in the Supreme Court Regulation. The regulation of amicus curiae should be able to accommodate formal recognition in terms of requirements or mechanisms for parties wishing to request amicus curiae for the sake of justice for all parties in the future. Keywords: amicus curiae, criminal judicial system, Indonesia, justice, regulation
EFEKTIVITAS PASAL 27 AYAT (2) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2021 TENTANG BADAN USAHA MILIK DESA TERKAIT TUGAS PELAKSANA OPERASIONAL BADAN USAHA MILIK DESA (STUDI DI BADAN USAHA MILIK DESA KM DESA S KECAMATAN M KABUPATEN GRESIK) Manalu, Corri Pretty Balandina br
Brawijaya Law Student Journal Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2023
Publisher : Brawijaya Law Student Journal

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Corri Pretty Balandina br Manalu, Amelia Sri Kusuma Dewi, Shinta Puspita Sari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono No. 169 Malang e-mail: cocooo15@student.ub.ac.id Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas Pasal 27 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Badan Usaha Milik Desa terkait tugas pelaksana operasional BUM Desa, dimana dalam praktiknya Pelaksana Operasional sebagai direksi mengabaikan tanggung jawab dalam mengelola BUM Desa. Berangkat dari permsalahan tersebut, penelitian ini mengkaji: (1) efektivitas Pasal 27 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Badan Usaha Milik Desa terhadap tugas Pelaksana Operasional Badan Usaha Milik Desa di BUM Desa KM Desa S, (2) kendala - kendala terhadap tugas Pelaksana Operasional di BUM Desa KM Desa S berdasarkan Pasal 27 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Badan Usaha Milik Desa, (3) upaya BUM Desa KM dalam mengatasi kendala-kendala terhadap tugas Pelaksana Operasional Badan Usaha Milik Desa di BUM Desa KM Desa S dalam penerapan Pasal 27 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Badan Usaha Milik Desa. Data primer dan data sekunder dengan menggunakan teknik analisa deskriptif kualitatis, karena di sini penulis mengumpulkan data, mereduksi data, menganalisis data, serta memverifikasi untuk menarik kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan. Hasil Penelitian menunjukan bahwa Pasal 27 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Badan Usaha Milik Desa belum berjalan secara efektiv dikarenakan tidak berjalannya substansi hukum, struktur hukum, dan budaya masyarakat berdasarkan teori Efektivitas Hukum Lawrence M. Friedman. Namun, penulis telah menyampaikan beberapa Upaya yang dapat dilakukan BUM Desa dalam mengatasi kendala tersebut. Kata Kunci: badan usaha milik desa, pelaksana operasional, tugas pelaksana operasional Abstract This research aims to study the effectiveness of Article 27 Paragraph (2) of Government Regulation Number 11 of 2021 concerning Village-Owned Enterprises in the case of neglecting the responsibility to operate the enterprises. Departing from this issue, this research aims to investigate: (1) the effectiveness of Article 27 paragraph (2) of the Government Regulation of the Republic of Indonesia Number 11 of 2021 concerning Village-Owned Enterprises regarding the operation of the enterprises of KM in village S, (2) the impeding factors of the operation of the enterprises in village S according to Article 27 paragraph (2) of the Government Regulation Number 11 of 2021 concerning Village-Owned Enterprises, and (3) the measures taken by the enterprises in the village to deal with the obstacles of the operation of the enterprises according to the Government Regulation Number 11 of 2021. Primary and secondary data were analyzed using qualitative-descriptive methods by garnering, reducing, analyzing, and verifying data to draw a conclusion. The research results show that Article 27 Paragraph (2) of Government Regulation Number 11 of 2021 has not been effectively implemented due to improper implementation of the legal substance, structure, and culture of the people related to the theory of legal effectiveness introduced by Lawrence M. Friedman. Some measures are also recommended for the village-owned enterprises to consider to tackle the issues. Keywords: operation, operational implementing tasks, village-owned enterprises
IMPLEMENTASI PROGRAM DERADIKALISASI TERHADAP MANTAN NARAPIDANA TERORISME (STUDI DI BALAI PEMASYARAKATAN KELAS I MALANG) Hakiki, Aliviano Maulana
Brawijaya Law Student Journal Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2023
Publisher : Brawijaya Law Student Journal

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Aliviano Maulana Hakiki, Milda Istiqomah, Ardi Ferdian Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono No.169 Malang e-mail: aliviano3874@student.ub.ac.id Abstrak Pemerintah Indonesia saat ini menghadapi tantangan residivisme di bidang terorisme, yang salah satu penyebabnya adalah kurangnya program deradikalisasi yang berkelanjutan bagi mantan narapidana terorisme. Penelitian ini berfokus pada pelaksanaan deradikalisasi di Balai Pemasyarakatan Kelas I Malang terhadap mantan narapidana terorisme yang dikategorikan sebagai Klien Pemasyarakatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan program deradikalisasi, serta mengidentifikasi dan menganalisis hambatan yang dihadapi oleh Balai Pemasyarakatan Kelas I Malang dalam melaksanakan program ini. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris yang menggunakan pendekatan yuridis sosiologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program deradikalisasi di Balai Pemasyarakatan Kelas I Malang dilakukan melalui program Bimbingan Lanjut yang didukung dengan pola pendekatan "Mawas Mbois", yang mengarah pada pembinaan yang efektif. Balai Pemasyarakatan Kelas I Malang menghadapi kendala seperti keterbatasan petugas, sarana dan prasarana, serta keikutsertaan klien terorisme dalam program Bimbingan. Meskipun demikian, Balai Pemasyarakatan Kelas I Malang berhasil mengatasi kendala-kendala tersebut dengan baik tanpa melanggar aturan atau ketentuan yang berlaku. Kata Kunci: balai pemasyarakatan, deradikalisasi, terorisme Abstract Indonesia is currently facing recidivism in terrorism due to the lack of sustainable deradicalization program for ex-convicts in terrorism. This research focuses on deradicalization in the Department of Corrections Class I of Malang for terrorism ex-convicts categorized as the clients of a correctional department. This research aims to investigate the application of deradicalization program, identify, and analyze the impeding factors faced by the Department of Corrections Class I in Malang. This research employed empirical-juridical methods and socio- juridical approaches, and the results reveal that the deradicalization program in the Department of Corrections Class I in the city is given in an advanced program supported by a “Mawas Mbois” approach that leans more towards effective training. The Department of Corrections Class I Malang is facing issues such as limited staff, infrastructure, and facilities and the involvement of terrorism clients in the training program. However, this correctional department manages to face the problems appropriately without violating rules and regulations. Keywords: deradicalization, correctional department, terrorism
IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE PADA TAHAP PENUNTUTAN TINDAK PIDANA DI KEJAKSAAN NEGERI BATU Wardana, Ananta Yudha Ali
Brawijaya Law Student Journal Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2023
Publisher : Brawijaya Law Student Journal

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ananta Yudha Ali Wardana, Nurini Aprilianda, Mufatikhatul Farikhah Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono No. 169 Malang e-mail: ananta_yudha@student.ub.ac.id Abstrak Restorative Justice muncul sebagai alternatif dalam penyelesaian perkara pidana. Sistem peradilan pidana yang berlaku saat ini belum mengakomodir hak hak dari korban yang mana korban merupakan pihak yang terdampak dari adanya tindak pidana tersebut. Restorative Justice dapat dilakukan dalam tahap penuntutan oleh Kejaksaan Negeri. Di Malang Raya, Kejaksaan Negeri Batu menjadi kejaksaan yang terakhir untuk melakukan penghentian penuntutan berdasarkan Restorative Justice dibandingkan Kejaksaan Negeri Kota Malang dan Kejaksaan Negeri Malang. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum empiris dengan metode pendekatan penelitian sosiologis. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara yang mana dianalisis melalui metode deskriptif analitis yakni menganalisis data hasil wawancara di lapangan lalu dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini sehingga akan diperoleh hasil yang akurat. Penerapan Penghentian Penuntutan melalui Restorative Justice di Kejaksaan Negeri Batu tidak sesuai dengan PERJA No. 15 Tahun 2020 dikarenakan ketika telah tercapai kesepakatan perdamaian antara para pihak. Hasil perdamaian dilaporkan kepada Jampidum untuk disetujui. Berbeda dengan di dalam PERJA bahwa hasil perdamaian disampaikan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi. Di Kejaksaan Negeri Batu sendiri telah ada 3 perkara yang dihentikan penuntutannya. Kendala penerapan Restorative Justice dikarenakan para pihak dalam perkara tidak sepakat untuk melakukan perdamaian sebagai syarat untuk dilakukan Penghentian penuntutan melalui Restorative Justice. Kemudian Kendala lain dalam pelaksanaan penghentian penuntutan melalui Restorative Justice. Meskipun tersangka serta korban telah menyetujui perdamaian, akan tetapi pimpinan juga dapat tidak menyutujui perdamaian tersebut. Kendala pelaksanaan penghentian penuntutan melalui Restorative Justice terakhir adalah aturan mengenai Restorative Justice hanya sebatas peraturan internal setiap institusi penegak hukum. Kata Kunci: implementasi, kejaksaan negeri, penuntutan, restorative justice, tindak pidana Abstract Restorative Justice serves as an alternative to settle a criminal dispute. The current judicial system has not accommodated victims’ rights, while they are the affected parties. Restorative Justice can take place at a prosecuting stage by the District Prosecutor General Office. In Malang Raya, the District Prosecutor General in Batu City is the last institution to cease prosecution according to Restorative Justice in comparison to the District Prosecutor General in Malang City. This research employed an empirical method and a sociological approach. The data were obtained from interviews and analyzed with a descriptive analysis, where data taken from the field were related to relevant laws for accurate results. Cessation of prosecution through Restorative Justice in the prosecutor general office in Batu City does not comply with the Regulation of Attorney General Number 15 of 2020 because reconciliation is reported to Jampidum for approval when parties have come to a reconciliation agreement. On the contrary, the Regulation of the Attorney General requires the result of reconciliation to be reported to the Chief of District Attorney. Three cases in the Prosecutor General Office of Batu City were ceased. The impeding factors in the implementation of Restorative Justice were caused by the disagreement among the parties concerned to come to reconciliation as the requirement to cease prosecution through Restorative Justice. Although the defendants and victims have agreed to reconcile, the chief does not approve of the reconciliation. Another issue is that the Restorative Justice regulation is only an internal rule in each institution that enforces the law. Keywords: criminal offense, district prosecutor general office, implementation, lawsuit, restorative justice
URGENSI PENGATURAN PEMBERIAN DENDA ATAS KETERLAMBATAN PEMBAYARAN GANTI KERUGIAN SALAH TANGKAP Gultom, Gita Anggita
Brawijaya Law Student Journal Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2023
Publisher : Brawijaya Law Student Journal

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Gita Anggita Gultom, Prija Djatmika, Alfons Zakaria Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono No. 196 Malang e-mail: anggitagultom@student.ub.ac.id Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi adanya kekaburan norma pada pengaturan mengenai pembayaran ganti kerugian salah tangkap. Dimana pengaturan mengenai pembayaran ganti kerugian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pada pasal 11 dijelaskan mengenai pembayaran ganti kerugian salah tangkap dibayarkan 14 hari kerja setelah keluarnya putusan. Namun pada kasus yang telah terjadi, pembayaran ganti kerugian salah tangkap kerap dibayarkan tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan atau terlambat dibayarkan. Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui urgensi dan juga alternatif pengaturan pemberian denda atas keterlambatan pembayaran ganti kerugian salah tangkap. Hasil dari penelitian ini mengetahui urgensi pengaturan pemberian denda atas keterlambatan pembayaran ganti kerugian salah tangkap ialah melindungi hak-hak korban salah tangkap, mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan meningkatkan efektivitas pembayaran dalam pasal 11 peraturan pemerintah nomor 92 Tahun 2015 dan juga memberikan alternatif pengaturan berupa memberikan bunga atas keterlambatan pembayaran ganti kerugian yang dibayarkan oleh Menteri Keuangan dan juga pemberian sanksi administratif kepada Menteri Keuangan karena keterlambatan pembayaran ganti kerugian salah tangkap. Kata Kunci: denda, ganti kerugian, keterlambatan pembayaran, salah tangkap Abstract This research departed from the vagueness of the norm regulating the provision of compensation in the case of false arrest. The regulation of this matter is further regulated in the Government Regulation Number 92 of 2015 concerning the Second Amendment to the Government Regulation Number 27 of 1983 concerning the Enforcement of Criminal Code Procedure, Article 11, mentioning the payment of the compensation within 14 working days upon the issuance of the decision. What often happens is that the compensation is delayed. This research aims to study the urgency of and the alternative to the regulation of the payment of fines over the delay of the compensation payment in the case of false arrest. The research results reveal that the compensation is intended to ensure that the victim’s rights are protected, to avert the abuse of authority, to improve the effectiveness of the compensation payment as in Article 11 of the Government Regulation Number 92 of 2015, and to provide an alternative of regulation by charging fines on the delay of compensation paid by the Finance Minister and administrative sanction imposed on the Finance Minister due to compensation delay. Keywords: compensation, false arrest, fines, payment delay
PERLINDUNGAN KHUSUS BAGI ANAK KORBAN TINDAK PIDANA SIBER PORNOGRAFI (STUDI DI DINAS PEMBERDAYAAN PEREMPUAN PERLINDUNGAN ANAK DAN PENGENDALIAN PENDUDUK DAN KELUARGA BERENCANA KOTA YOGYAKARTA) Setyawan, Arief Rahman
Brawijaya Law Student Journal Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2023
Publisher : Brawijaya Law Student Journal

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Arief Rahman Setyawan, Nurini Aprilianda, Fines Fatimah Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono No. 169 Malang e-mail: ariefrahman@student.ub.ac.id Abstrak Pornografi terhadap anak di ruang siber menempati posisi ketiga teratas kekerasan seksual berbasis gender di Indonesia sehingga menjadi isu strategis yang dihadapi oleh pemerintah dalam penyelenggaraan perlindungan anak pada tingkat daerah, terutama di Kota Yogyakarta yang menyandang ikon sebagai Kota Layak Anak dan Kota Pelajar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, mengindentifikasi, dan menganalisis peranan UPT PPA DP3AP2KB Kota Yogyakarta dalam memberikan perlindungan khusus terhadap Anak Korban tindak pidana siber Pornografi, bentuk perlindungan khusus yang diberikan kepada Anak Korban, dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan beserta upaya untuk mengatasinya. Penelitian dilakukan menggunakan metode yuridis empiris dengan pendekatan yuridis sosiologis yang diuraikan secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa UPT PPA DP3AP2KB Kota Yogyakarta berperan menjadi unsur tertier yang mendukung kelembagaan penegak hukum dalam menyelenggarakan layanan terpadu melalui penanganan, perlindungan, dan pemulihan Anak Korban sekaligus merealisasikan program perlindungan khusus anak untuk memenuhi indikator KLA. Bentuk perlindungan khusus yang diberikan terdiri dari fasilitasi preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif berupa pemerataan jangkauan pelayanan; peningkatan kapasitas dan partisipasi masyarakat; pembagunan jejaring kemitraan; pelayanan pengaduan masyarakat, penjangkauan, dan pengelolaan kasus; pendampingan hukum dan psikologis; serta penampungan sementara. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan yakni secara internal belum tersedianya rumah lindung sedangkan secara eksternal meliputi keluarga atau Anak Korban yang tertutup; alat bukti; dan kurangnya kesadaran hukum masyarakat sehingga untuk mengatasinya dilakukan upaya dengan menyediakan ruangan Drop-in sebagai sarana penampungan sementara; melakukan pendekatan komunikasi melalui konseling; serta mengadakan sosialisasi kepada masyarakat. Selain itu, terdapat upaya pendukung seperti inovasi pojok gender, inisiasi Polsek Ramah Anak, dan layanan SIGRAK BerSIKAP. Kata Kunci: siber pornografi, anak korban, UPT PPA DP3AP2KB Abstract Cyber pornography among children is in the top third position of gender-based sexual violence in Indonesia, thereby positioning it as a strategic issue faced by the government in the program of child protection at a regional level, particularly in Yogyakarta city as a child-friendly and student city. This research aims to investigate, identify, and analyze the role of UPT PPA DP3AP2KB of Yogyakarta city in providing special protection for children as victims of cyber pornography, the form of the protection given to the victims, impeding factors, and measures taken. This research employed an empirical-juridical method and socio-juridical approach, and the data were elaborated in descriptive-qualitative techniques. The research results reveal that UPT PPA DP3AP2KB of Yogyakarta city serves as a tertiary element supporting the institutionalization of law enforcers to provide integrated services through handling, protection, and recovery of children as victims to realize protection program for children concerned in order to meet KLA indicators. Particular protection given consists of preventive, promotive, curative, and rehabilitative facilities by implementing fair distribution of service networks; improvement of public capacity and participation; partnership network establishment; public complaint service, coverage, and case management; legal and psychological aid; and temporary shelter. The internal problem is that there are no permanent shelters, while the external one is related to introverted victims and their families; evidence; and lack of legal awareness among people. To tackle this issue, drop-in rooms usually function as temporary shelters. Communication is also held through counseling and information dissemination in public. Other supporting measures are also obvious such as gender corner, initiation taken by the Child-Friendly Sector Police Department, and other services including SIGRAK BerSIKAP. Keywords: cyber pornography, child victims, UPT PPA DP3AP2KB

Filter by Year

2023 2023


Filter By Issues
All Issue Sarjana Ilmu Hukum, Februari 2023 Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2023 Sarjana Ilmu Hukum, Juli 2023 Sarjana Ilmu Hukum, April 2023 Sarjana Ilmu Hukum, Januari 2023 Sarjana Ilmu Hukum, September 2023 Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2023 Sarjana Ilmu Hukum, Maret 2023 Sarjana Ilmu Hukum, Agustus 2023 Sarjana Ilmu Hukum, Mei 2023 Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2022 Sarjana Ilmu Hukum, Maret 2022 Sarjana Ilmu Hukum, November 2022 Sarjana Ilmu Hukum, Agustus 2022 Sarjana Ilmu Hukum, Mei 2022 Sarjana ilmu Hukum, Januari 2022 Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2022 Sarjana Ilmu Hukum, Februari 2022 Sarjana Ilmu Hukum, Juli 2022 Sarjana Ilmu Hukum, April 2022 Sarjana Ilmu Hukum, Desember 2022 Sarjana Ilmu Hukum, September 2022 Sarjana Ilmu Hukum, Januari 2021 Sarjana ilmu Hukum, Oktober 2021 Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2021 Sarjana Ilmu Hukum, Maret 2021 Sarjana ilmu Hukum, November 2021 Sarjana ilmu Hukum, September 2021 Sarjana Ilmu Hukum, Mei 2021 Sarjana Ilmu Hukum, Februari 2021 Sarjana Ilmu Hukum, Juli 2021 Sarjana Ilmu Hukum, April 2021 Sarjana ilmu Hukum, Desember 2021 Sarjana Ilmu Hukum, April 2020 Sarjana Ilmu Hukum, Januari 2020 Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2020 Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2020 Sarjana Ilmu Hukum, Desember 2020 Sarjana Ilmu Hukum, Maret 2020 Sarjana Ilmu Hukum, September 2020 Sarjana Ilmu Hukum, Mei 2020 Sarjana Ilmu Hukum, Februari 2020 Sarjana Ilmu Hukum, November 2020 Sarjana Ilmu Hukum, Juli 2020 Sarjana Ilmu Hukum, Februari 2019 Sarjana Ilmu Hukum, September 2019 Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2019 Sarjana Ilmu Hukum, April 2019 Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2019 Sarjana Ilmu Hukum, Januari 2019 Sarjana Ilmu Hukum, Agustus 2019 Sarjana Ilmu Hukum, Mei 2019 Sarjana Ilmu Hukum, Desember 2019 Sarjana Ilmu Hukum, Maret 2019 Sarjana Ilmu Hukum, Juli 2019 Sarjana Ilmu Hukum, November 2019 Sarjana Ilmu Hukum, Juli 2018 Sarjana Ilmu Hukum, Maret 2018 Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2018 Sarjana Ilmu Hukum, Mei 2018 Sarjana Ilmu Hukum, September 2018 Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2018 Sarjana Ilmu Hukum, Februari 2018 Sarjana Ilmu Hukum, November 2018 Sarjana Ilmu Hukum, Agustus 2018 Sarjana Ilmu Hukum, April 2018 Sarjana Ilmu Hukum, Januari 2018 Sarjana Ilmu Hukum, Desember 2018 Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2018 Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2017 Sarjana Ilmu Hukum, Maret 2017 Sarjana Ilmu Hukum, November 2017 Sarjana Ilmu Hukum, Mei 2017 Sarjana Ilmu Hukum, Januari 2017 Sarjana Ilmu Hukum, Februari 2017 Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2017 Sarjana Ilmu Hukum, Juli 2017 Sarjana Ilmu Hukum, April 2017 Sarjana Ilmu Hukum, Desember 2017 MAGISTER ILMU HUKUM DAN KENOTARIATAN, 2017 Sarjana Ilmu Hukum, Agustus 2017 Sarjana Ilmu Hukum, September 2017 Sarjana Ilmu Hukum, April 2016 Sarjana Ilmu Hukum, Agustus 2016 Periode II Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2016 Sarjana Ilmu Hukum, Februari 2016 Sarjana Ilmu Hukum, Desember 2016 Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2016 Sarjana Ilmu Hukum, Maret 2016 Sarjana Ilmu Hukum, Agustus 2016 Periode I Sarjana Ilmu Hukum, Januari 2016 MAGISTER ILMU HUKUM DAN KENOTARIATAN, 2016 Sarjana Ilmu Hukum,September 2016 Sarjana Ilmu Hukum, November 2016 Sarjana Ilmu Hukum, Juli 2016 Sarjana Ilmu Hukum, Mei 2016 Sarjana Ilmu Hukum, April 2015 MAGISTER ILMU HUKUM DAN KENOTARIATAN, 2015 Sarjana Ilmu Hukum, September 2015 Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2015 Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2015 Sarjana Ilmu Hukum, Maret 2015 MAGISTER ILMU HUKUM DAN KENOTARIATAN, 2015 Sarjana Ilmu Hukum, Agustus 2015 Sarjana Ilmu Hukum, Mei 2015 Sarjana Ilmu Hukum, Desember 2015 Sarjana Ilmu Hukum, Februari 2015 Sarjana Ilmu Hukum, Juli 2015 Sarjana Ilmu Hukum, November 2015 Sarjana Ilmu Hukum, September 2014 Sarjana Ilmu Hukum, Februari 2014 Magister Ilmu Hukum dan Kenotariatan, 2014 Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2014 Sarjana Ilmu Hukum, November 2014 Sarjana Ilmu Hukum, Agustus 2014 Magister Ilmu Hukum dan Kenotariatan, 2014 Sarjana Ilmu Hukum, Mei 2014 Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2014 Sarjana Ilmu Hukum, April 2014 Sarjana Ilmu Hukum, Juli 2014 Sarjana Ilmu Hukum, Maret 2014 Sarjana Ilmu Hukum, Desember 2014 Magister Ilmu Hukum dan Kenotariatan 2013 Sarjana Ilmu Hukum, Februari 2013 Sarjana Ilmu Hukum, Januari 2013 Sarjana Ilmu Hukum, Mei 2013 Doktor Ilmu Hukum 2013 Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2013 Sarjana Ilmu Hukum, Desember 2013 Magister Ilmu Hukum dan Kenotariatan 2013 Sarjana Ilmu Hukum, Februari 2013 Sarjana Ilmu Hukum, Juli 2013 Sarjana Ilmu Hukum, April 2013 Doktor Ilmu Hukum 2013 Sarjana Ilmu Hukum, Maret 2013 Sarjana Ilmu Hukum, September 2013 Sarjana Ilmu Hukum, Agustus 2013 Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2013 Sarjana Ilmu Hukum, September 2012 Sarjana Ilmu Hukum, Oktober 2012 Sarjana Ilmu Hukum, Desember 2012 Sarjana Ilmu Hukum, November 2012 Sarjana Ilmu Hukum, Agustus 2012 More Issue