Pada awal perkembangan Islam sumber utama pendapatan negara adalah khums, sodaqoh fitrah, zakat, kharaj (pajak tanah) dan jizyah (pengumpulan pajak).  Khums dikeluarkan pada tahun 2 hijrah. Sodaqoh fitrah diwajibkan juga pada tahun 2 hijrah. Kharaj ditarik pada 7 tahun hijrah, setelah menundukkan khaibar. Zakat diwajibkan pada tahun 8 hijriah dan jizyah ditentukan pada tahun 8 hijrah pula (Sadr, 1989). Pada masa Rasulullah, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendapatan Negara adalah mendistribusikan semua pendapatan yang diterima. Kebijakan tersebut berubah pada masa Khalifah Umar. Pada saat itu pendapatan meningkat tajam dan baitul maal didirikan secara permanen di pusat kota dan ibukota propinsi, sehingga masih tersisa Khums dalam bahasa Arab berarti seperlima. Khums merupakan salah satu sumber pendapatan Baitul Maal, seperti yang disebutkan dalam Al-Qurâan (8:41). Seperlima untuk Allah dan Rasul-Nya adalah untuk negara digunakan untuk kesejahteraan umum (Pickthall, 1969). Rasulullah s.a.w biasanya membagai khums menjadi tiga bagian, bagian pertama untuk dirinya dan keluarganya, bagian ke dua untuk kerabatnya dan bagian ketiga untuk anak yatim piatu, orang yang membutuhkan dan orang yang sedang dalam perjalanan. Empat perlima bagian yang lain dibagi di antara para prajurit yang ikut dalam perang (dalam kasus tertentu beberapa orang yang tidak ikut serta dalam perang juga mendapat bagian). Penunggang kuda mendapat dua bagian (untuk dirinya sendiri dan kudanya), bagian untuk prajurit, wanita yang hadir dalam perang untuk membantu beberapa hal tidak mendapat bagian dari rampasan perang (Sabzwari, 1984). Pada tahun kedua setelah Hijrah sodaqoh fitrah diwajibkan. Sodaqoh yang juga dikenal sebagai zakat fitrah ini diwajibkan setiap bulan puasa Ramadhan. Besarnya satu Sha kurma, gandum (barley), tepung keju atau kismis, atau setengah Sha gandum untuk tiap muslim, budak atau orang bebas, laki-laki atau perempuan, muda atau tua, dan dibayar sebelum shalat Id (Bukhari, 1979). Kharaj merujuk pada pendapatan yang diperoleh dari biaya sewa atas tanah pertanian dan hutan milik ummat. Jika tanah yang diolah dan kebun buah-buahan yang dimiliki non muslim jatuh ke tangan orang Islam akibat kalah dalam pertempuran, aset tersebut menjadi bagian dari kepemilikan publik umat Islam. Karena itu siapa pun yang ingin mengolah lahan tersebut harus membayar sewa. Pendapatan dari sewa inilah yang termasuk dalam lingkup kharaj. Contohnya adalah sewa yang dipungut atas beberapa lahan di Khaibar yang merupakan barang rampasan perang dan menjadi kepemilikan publik umat Islam (Sadr, 1989). Ketika Khaibar ditaklukkan, tanahnya diambil alih oleh orang muslim dan pemilik lamanya menawarkan untuk mengolah tanah tersebut sebagai pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian hasil produksi kepada negara. Jumlah kharaj dari tanah ini tetap yaitu setengah dari hasil produksi. Rasulullah s.a.w biasanya mengirim orang yang memiliki pengetahuan dalam masalah ini untuk memperkirakan jumlah hasil produksi. Setelah mengurangi sepertiga sebagai kelebihan perkiraan, dua per tiga bagian dibagikan dan mereka bebas memilih, menerima atau menolak pembagian tersebut. Prosedur yang sama juga diterapkan di daerah lain. Kharaj ini menjadi sumber pendapatan yang penting (Sabzwari, 1984).