cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. aceh besar,
Aceh
INDONESIA
Jurnal Magister Ilmu Hukum
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject :
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 1, No 4: November 2013" : 10 Documents clear
BUKTI ELEKTRONIK DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA Syaibatul Hamdi, Suhaimi, Mujibussalim
Jurnal Ilmu Hukum Vol 1, No 4: November 2013
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (114.532 KB)

Abstract

Abstrak: Kemajuan teknologi membuat perkembangan terhadap tindak pidana, seperticyber crime,menggunakan media komunikasi dan komputer, kendati berada di dunia maya tetapi memiliki dampak nyata dalam menjalankan suatu perbuatan hukum. Pengaturan alat elektronik diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, Namun aturan tersebut belum menuntaskan suatu tindak pidana elektronik,karna alat elektronik sebagai alat bukti belum tercantum dalam KUHAP yang merupakan payung hukum utama dalam pidana, sehingga masih beragam penafsiran aparat penegak hukum terhadap bukti elektronik.Penelitian ini menjelaskan pengaturan bukti elektronik dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang menjadi multi tafsir aparat penegak hukum dan menjelaskan kekuatan pembuktian alat bukti elektronik dalam persidangan serta kendala dalam menggunakan alat bukti elektronik pada pembuktian pidana.Metode dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis emperis. Spesifikasi penelitian adalah deskriptif analitis dengan menggunakan data sekunder dan primer,Hasil penelitian menunjukkan pengaturan bukti elektronik belum maksimal, sungguhpun telah terdapat payung hukum yaitu UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE,Juga pengaturan bukti elektronik dicantumkan dalam beberapa perundang-undangan terkait seperti dokumen perusahaan, tindak pidana pencucian uang, kearsipan, dan perbankan serta aturan lainya,dan di tambah dengan masih minimnya sumber daya manusia aparat penegak hukum tentang IT sehingga mempunyai penafsiran yang berbeda terhadap alat elektronik sebagai alat bukti. Kekuatan pembuktian dengan alat bukti elektronik masih belum kuat, oleh karena itu keterangan ahli sangat dibutuhkan untuk menguatkan alat elektronik menjadi alat bukti. Kendala yang terjadi adalah masih kurangnya SDM aparat penegak hukum, belum meratanya polisi cyber, jaksa cyber, hakim dan sarana pendukung yang belum memadai diseluruh Indonesia.Disarankan kepada pemerintah agar memperhatikan secara khusus terhadap pengaturan alat elektronik sebagai alat bukti untuk diatur secara rinci dalam RKUHAP dan RKUHP. Sehingga dalam penegakan hukum tindak pidana cyber crime kedepandapat diselesaikan secara hukum dan penegak hukum dalam penanganan kasus cyber crime, agar mendengarkan keterangan ahli supaya mendapatkan petunjuk yang jelas untuk menguatkan alat elektronik sebagai alat bukti yang sah dan kepada Mabes Polri, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung agar dapat memberikan fasilitas yang memadai kedaerah-daerah supaya aparat penegak hukum diseluruh Indonesia dapat memutuskan kasus yang terdapat bukti elektronik secara tepat dan adil. Kata Kunci: Bukti Elektronik dan Pembuktian Pidana
PERDAMAIAN DALAM TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS Al Mahdi, Mohd. Din, Saifuddin Bantasyam
Jurnal Ilmu Hukum Vol 1, No 4: November 2013
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (126.53 KB)

Abstract

Abstrack: Traffic accident often causes the accident both small or big scales, the small scale causes light injury while the death. It is ruled in Article 310 of the Act Number 22, 2009 regarding the Traffic and Land Transportation states that the settlement of the violation of the act is done through litigation. However, there is the settlement outside the court in the level of investigation by the police by restitution given by the violator to the victim that can be material or immaterial form. The settlement of non-litigation is not recognized in the criminal law but it can be found in the society. This research aims to know the causes of the police allow the peace settlement of the traffic violation, to know the settlement done by the violator in providing the restitution for the victim and to know the fund of the compensation given that becomes the decreasing factor in sentencing the violator by the court.This research applies normative and empirical methods. Secondary data comprise of primary, secondary and tertiary legal sources. To complete the data, the field research is conducted by determining the respondents and informants. The collected data are analyzed and explored by applying qualitative approach.The research shows that the non-litigated settlementis allowed in the case of traffic accident in the level of investigation because of the agreement between the violator and the victim. However, the accident does not cause the death or heavy injury. The agreement of peace between the violator and the victim are like a usual meeting by providing the fund for the victim because of the loss he feels both material and non-material, the police just mediate the case of the accident by arranging the meeting between them. The form of the restitution provided by the violator to the victim if the case brought before the court, the result of the agreement of the parties in the non-serious accident, the judge provides an opportunity for the parties in considering the decision sentenced.It is recommended that the police should provide more opportunities for the non-litigation settlement for the traffic accident cases. Such non-litigated settlement is expected to reflex the non-litigated settlement process that is fast, simple and cheap. It is recommended that the police should not bring the case before the court, in case of the case has been settled by the parties, the violator and the victim. In addition, the police should also publicize the Act Number 22, 2009 regarding the Traffic and Land Transportation; hence the people obey and be aware if they are driving. Furthermore, the judge should also try the case fairly by considering the peace agreement of the parties that agrees not to bring it before the court. Keywords: Traffic Accident and Peace Agreement. Abstrak: Kecelakaan lalu lintas sering menyebabkan pengendara dan pengguna jalan mengalami luka ringan atau kematian. Sebagaimana diatur dalam Pasal 310 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menekankan penyelesaian kasus pelanggaran lalu lintas melalui jalur hukum. Namun dalam realitanya, ada perdamaian terhadap pelanggaran lalu lintas di tingkat kepolisian, yang dilakukan oleh pelaku dengan memberikan sejumlah ganti kerugian materil maupun immateril (santunan) kepada korban. Penyelesaian dengan jalur perdamaian tidak diakui dalam hukum pidana tetapi telah berkembang dan hidup di tengah masyarakat. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui penyebab polisi membolehkan perdamaian tindak pidana lalu lintas jalan raya, untuk mengetahui perdamaian yang dilakukan pelaku kecelakaan yang berkaitan dengan korban tindak pidana lalu lintas jalan raya, dan, untuk mengetahui pemberian santunan sebagai bentuk perdamaian dari pelaku tindak pidana lalu lintas jalan raya yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif dan metode penelitian empiris. Data yang digunakan yaitu data sekunder meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan. Untuk melengkapi data, digunakan penelitian lapangan dengan wawancara terhadap responden dan informan. Data yang telah dikumpulkan, dianalisis dan diolah dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian di Kota Banda Aceh menunjukkan perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas di tingkat kepolisian dilakukan karena adanya kesepakatan dari dua belah pihak, baik pelaku maupun korban, dengan syarat korban tidak mengalami luka berat maupun kematian. Perdamaian yang dilakukan antara pelaku dengan korban lebih bersifat musyawarah, dengan memberikan biaya santunan atas kerugian yang diderita oleh korban, baik secara materil dan immateril. Pihak kepolisian pada umumnya hanya memfasilitasi kedua pihak dalam menyelesaikan kasus kecelakaan. Apa bila kasus tersebut sampai ke tingkat pengadilan maka hasil perdamaian atas kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan luka ringan, hakim memberikan ruang atas hasil musyawarah perdamaian dalam pertimbangan hakim sebelum memuat putusan hukum yang tetap. Disarankan kepada pihak kepolisian agar dapat memberikan ruang yang lebih kepada penyelesaian secara damai terhadap kasus kecelakaan lalu lintas. Penyelesaian secara damai tersebut diharapkan dapat mencerminkan penyelesaian di luar peradilan secara asas cepat, sederhana dan biaya ringan. Disarankan kepada pihak kepolisian agar tidak memproses secara hukum lebih lanjut dari kecelakaan lalu lintas apabila telah diselesaikan secara damai oleh para pihak. Serta, melakukan sosialisasi hukum terkait UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan agar masyarakat dapat patuh dan sadar apabila berkendaraan di jalan raya. Disarankan kepada setiap hakim agar dapat memberikan penyelesaian yang adil dalam pelanggaran lalu lintas, dengan menjadikan pertimbangan hukum atas hasil perdamaian yang telah disepakati oleh para pihak Kata Kunci: Kecelakaan lalu lintas dan perdamaian
PEMODELAN DAN SIMULASI PERPINDAHAN PANAS PADAKOLEKTOR SURYA PELAT DATAR Faisal Amir, Ahmad Syuhada, Hamdani.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 1, No 4: November 2013
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (371.82 KB)

Abstract

Abstrack:Solar collector is a device that serves to collect the heat energy derived from solar radiation. Good solar collector is a solar collector has a high efficiency, this means, most of the heat that hit the collector can be used to heat a fluid that flows in it and a small heat loss to the environment. In this study, a model of the solar collector has been modeled and the process of heat transfer in the collector is completed by using the software Engineering Equation Solver (EES). Iteration method is used to determine the temperature at the surface in order to get useful thermal energy collector. The simulated solar collectors measuring 1m x 2m x 0.06 m, which is assumed absorber plate is aluminum and zinc plates measuring 0.4 mm and 0.6 mm. The simulation results obtained deangan exit fluid temperature using aluminum as the absorber is much higher than using zinc plates as the absorber plate. The temperature of the fluid out using aluminum plates measuring 0.4 mm as the absorber plate is higher than the size of 0.6 mm. The temperature of the fluid out using copper pipes greater than using iron pipes to flat plate collectors for copper pipe has a higher thermal conductivity than iron pipe. The simulation results were then compared with the results obtained fluid temperature testing and the test results came out smaller than the simulation results deangan using pipes and absorber plate of the same. Keywords: flat plate solarcollectors, modelingand simulation, heattransfer Abstrak: Kolektor surya adalah suatu alat yang berfungsi untuk mengumpulkan energi panas yang bersumber dari radiasi matahari. Kolektor surya yang baik adalah kolektor surya yang memiliki efisiensi tinggi, ini berarti, sebagian besar panas yang menimpa kolektor dapat dimanfaatkan untuk memanaskan fluida yang mengalir didalamnya dan sebagian kecil panas yang hilang ke lingkungan. Pada penelitian ini, suatu model kolektor surya telah dimodelkan dan proses perpindahan panas pada kolektor tersebut diselesaikan dengan menggunakan software Engineering Equation Solver (EES). Metode iterasi digunakan untuk menentukan temperatur pada permukaan sehingga didapat energi panas berguna pada kolektor. Kolektor surya yang disimulasikan berukuran 1m x 2m x 0,06m, pelat absorber yang diasumsikan adalah pelat aluminium dan seng berukuran 0,4 mm dan 0,6mm. Hasil simulasi didapat temperatur fluida keluar deangan menggunakan aluminium sebagai absorber jauh lebih tinggi dari pada menggunakan pelat seng sebagai pelat absorber. Temperatur keluar fluida dengan menggunakan pelat aluminium berukuran 0,4 mm sebagai absorber lebih tinggi dari pada pelat berukuran 0,6 mm. Temperatur fluida keluar dengan menggunakan pipa tembaga lebih besar dari pada menggunakan pipa besi untuk kolektor pelat datar karena pipa tembaga memiliki konduktivitas termal lebih tinggi dari pipa besi. Hasil simulasi kemudian dibandingkan dengan hasil pengujian dan didapat temperatur fluida keluar hasil pengujian lebih kecil dari pada hasil simulasi dengan menggunakan pipa kolektor dan pelat absorber yang sama. Kata Kunci:Kolektor surya pelat datar, Pemodelan dan simulasi, Perpindahan panas, Temperatur fluida keluar
PENYALURAN KREDIT PADA BANK ACEH Muhammad Fudhil, Dahlan, Sanusi Bintang
Jurnal Ilmu Hukum Vol 1, No 4: November 2013
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (180.903 KB)

Abstract

Abstrack:Article 29 of the Act Number 10, 1998 regarding the Change of the Act Number 7, 1992 regarding Banking states that the guidance in verse (1) means the efforts done by determining the rules relating institutional aspect, the owning, activities, report and other relating operational bank aspect. The meaning of supervision in verse (1) covers indirect supervision especially preliminary supervision through research, analysis, and the evaluation of bank report and direct supervision through investigation followed by reparation. In accordance with that, the Indonesian Bank is granted the power, responsibility, and duty fully to guide and supervise on the bank by doing some preventive and repressive efforts. On the other hand, the bank is compulsory to have and apply supervision system internally in terms of securing the decision process in managing the bank that based on the careful principle of bank. Due to the fact that the bank is working with the fund from people deposited based on the trust, every bank is necessary to keep healthy and keep the trust of the people. In fact, the internal supervision at Bank Aceh has not been working due to debt risk.This research aims to explain the application of internal monitoring of bank on providing loan that has been suitable to the law, the obstacles faced in monitoring on the loan and the consequence of law on the bank if the internal monitoring in providing loan is conducted not properly. This is normative-empirical research based on library and field research. Library research is conducted to obtain secondary data by reviewing the literatures and laws relating to the research problems. Field research is conducted to primary data by interviewing respondents and informants. The data obtained are then analysed qualitatively by descriptive analytical approach. The research shows that the implementation of internal bank monitoring on the debt provision has not been conducted well and based on the law due to the monitoring function has not been done maximally namely the provision of it is not conducted based on the Policy of Bank Credit, the procedure of credit provision and internal bank regulation, the developing of debtors including the monitoring through visiting them and warn them earlier regarding the decrease of credit quality that is expected to risk the bank is not implemented fully, the quality of credit that is not based on the Indonesian Bank Regulation, the truth of the provision between related parties and the Bank is not fully based on the bank policy, the administration of the loan documents is not in according with the law. The obstacles faced in the monitoring are the independency of the bank management, tight competition, many debt programs, and the customer’s loyalty. The constraints in providing credit at the Bank of Aceh are the analysis of credit provision cannot done maximally that is the review on the character of debtors and the limit of time given by the bank management for the monitoring is limited. The legal consequences towards the monitoring that is not conducted based on the law are the weakness in providing the debt causing the problem and risking in cashing the money that is not based on the requirements, the extension of time that is not based on the regulation, there is the debt transaction that is not based on the Standard Operational Procedure of credit provision.It is recommended that the Bank of Aceh could monitor more intensive in providing the credit hence the risk from the credit provision can be minimalized. The government should provide more freedom for the bank management to decide the policy professionally, provide more time to review the capability of the debtors hence the review can be optimally done, and the analysis of 5 C’s can be fulfilled in providing the credit and it is a necessary a regulation on the internal monitoring of the bank thus the mechanism of the monitoring can be more clear and providing the punishment if the internal monitoring is conducted against the law. Keywords: Internal Monitoring, Bank of Aceh and Credit Provision. Abstrak: Penjelasan Pasal 29 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disingkat UUP) menyebutkan, yang dimaksud dengan pembinaan dalam ayat (1) ini adalah upaya-upaya yang dilakukan dengan cara menetapkan peraturan yang menyangkut aspek kelembagaan, kepemilikan, pengurusan, kegiatan usaha, pelaporan serta aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan operasional bank. Yang dimaksud dengan pengawasan dalam ayat (1) ini meliputi pengawasan tidak langsung yang terutama dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan evaluasi laporan bank, dan pengawasan langsung dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan. Sejalan dengan itu, Bank Indonesia diberi wewenang, tanggungjawab, dan kewajiban secara utuh untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya baik yang bersifat preventif maupun represif. Di pihak lain, bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan intern dalam rangka menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Mengingat bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan atas dasar kepercayaan, setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya”. Kenyataannya pengawasan internal pada Bank Aceh belum dapat berjalan, karena masih terjadinya kredit bermasalah atau resiko kredit.Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pelaksanaan pengawasan internal bank terhadap penyaluran kredit telah berjalan menurut peraturan perundang-undanga, hambatan bank dalam melakukan pengawasan internal terhadap penyaluran kredit dan konsekuensi hukum terhadap bank bila pengawasan internal penyaluran kredit oleh bank tidak sebagaimana mestinya.Penelitian ini bersifat normatif-empiris yang didasarkan kepada penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan.Penelitian kepustakaaan untuk memperoleh data sekunder dengan mempelajari literatur-literatur dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Sedangkan penelitian lapangan untuk memperoleh data primer dengan cara mewawancarai responden dan informan. Keseluruhan data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dengan pendekatan desriftif analisis.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pengawasan Internal Bank terhadap Penyaluran Kredit belum dapat berjalan dengan baik dan sebagaimana mestinya, karena fungsi pengawasan kredit belum dilakukan secara maksimal antara lain pemberian kredit belum dilaksanakan sesuai dengan Kebijakan Perkreditan Bank, prosedur pemberian kredit dan ketentuan internal Bank yang berlaku, perkembangan kegiatan debitur termasuk pemantauan melalui kegiatan kunjungan kepada debitur dan memberikan peringatan dini mengenai penurunan kualitas kredit yang diperkirakan mengandung risiko bagi Bank belum sepenuhnya dilakukan, adanya kualitas kredit yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, kebenaran pemberian kredit kepada pihak yang terkait dengan Bank dan debitur-debitur besar belum sepenuhnya sesuai Kebijakan Perkreditan Bank, adanya pelaksanaan pengadministrasian dokumen perkreditan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Hambatan-hambatan dalam melakukan pengawasan internal pada Bank Aceh adalah independensi manajemen bank, persaingan yang ketat, kredit program yang banyak, dan loyalitas nasabah. Hambatan-hambatan dalam pemberian kredit pada PT Bank Aceh analisis pemberian kredit tidak dapat dilaksanakan secara optimal adalah penilaian terhadap watak (character) debitur dan batasan jangka waktu yang diberikan oleh manajemen bank bagi melakukan pengawasan kredit terbatas. Konsekuensi hukum terhadap pengawasan internal bank yang tidak berjalan sebagaimana mestinya adalah terjadinya kelemahan-kelemahan dalam penyaluran kredit sehingga dapat terjadinya kredit bermasalah dan risiko kredit.pencairan kredit yang tidak memenuhi persyaratan, perpanjangan jangka waktu yang tidak memenuhi persyaratan, adanya transaksi keuangan debitur yang tidak sesuai dan tidak berpedoman pada Standar Operasional Prosedur (SOP) pelaksanaan perkreditan.Disarankan kepada Bank Aceh untuk dapat melakukan pengawasan yang lebih intensif dalam penyaluran kredit, sehingga risiko atau kredit bermasalah dapat diminimalisir. Diharapkan pemerintah dapat memberikan keleluasaan dan kebebasan kepada Manajemen Bank untuk secara profesional memutuskan kebijakan perkreditan, memberikan tenggang waktu yang memadai untuk penilaian kelayakan kredit sehingga pelaksanaan analisis penilaian kredit berjalan optimal dan analisis 5 C’s dapat terpenuhi dalam pemberian kredit dan diperlukan suatu aturan yang tegas terhadap pengawasan internal bank, sehingga mekanisme pengawasan dapat lebih jelas dan memberikan sanksi yang tegas jika pengawasan internal bank tidak dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan. Kata Kunci:Pengawasan Internal, Bank Aceh dan Penyaluran Kredit.
INDEPENDENSI JAKSA DALAM MENJALANKAN TUGAS DAN KEWENANGANNYA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 Melta Variza, Mohd. Din, Riza Nizarli.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 1, No 4: November 2013
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (183.798 KB)

Abstract

Abstrak-Penelitian dan pengkajian ini bertujuan untukmenganalisa independensi kejaksaan didalam undang-undang dan untuk menganalisa kendala-kendala yang dihadapi oleh jaksa dalam mewujudkan independensi terhadap tugas dan kewenangannya. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara terlebih dahulu meneliti peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek normatif. Hasilpenelitianmenunjukkanbahwaindepedensi kejaksaan di dalam undang-undang belum terwujud secara sempurna. Hal ini dapat dilihat pada pengaturan Pasal 2 ayat (1) Undang-UndangNomor 16 Tahun 2004 tentangKejaksaan Republik Indonesia bahwa Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan yang melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Pasal ini mengandung makna bahwa kejaksaan merupakan suatu lembaga yang berada di bawah eksekutif, dalam hal ini kejaksaan tidak bersifat independen, karena dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif. Kendala-kendala yang dihadapi oleh jaksa dalam mewujudkan independensi terhadap tugas dan kewenanganya yaitu dipengaruhi oleh karakter birokrasi kejaksaan, kedudukan kejaksaan dalam konteks hukum nasional yang masih di bawah lingkungan eksekutif dan struktur organisasi kejaksaan. Disarankan agar kedepan Independensi Kejaksaan semestinya diartikan sebagai “kekuasaan penuntutan yang merdeka” dalam arti tidak memiliki keterkaitan atau terpengaruh oleh pihak manapun serta memiliki kemampuan untuk memutuskan tindakannya di bidang penuntutan secara obyektif. Disarankan kedepan lembaga kejaksaan agar lebih independen layaknya hakim Mahkamah Agung yang tidak berada dibawah presiden.Disarankan agar kedepan dibentuknya suatu sistem penuntutan yang dapat meminimalisasi intervensikekuasaan eksekutif terhadap kejaksaan.
PEMBAGIAN HARTA PERKAWINAN POLIGAMI DALAM KONTEKS HUKUM NASIONAL (STUDI KASUS DI MAHKAMAH SYAR’IYAH JANTHO) Zaini, Iman Jauhari, Mujibussalim.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 1, No 4: November 2013
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (218.981 KB)

Abstract

Abstract: Polygamy is a reality of law in society that becomes a recent issue and causes pro and contra. The marriage means that a system of marriage between a man and more than a wife. In Article 37 of the Act Number 1, 1974 regarding the Marriage states that if the divorce, the marriage property is regulated by their own religious law, while in Islamic compilation law if there is a divorce, the property is divided between a couple by equal amount. In terms of a husband has more than a wife hence it it will be a dispute regarding the property. Therefore, the regulation is required regarding the division of the property. Based on such fact, this thesis is identifying the problems regarding how the division of property in the context of national law ( a case study in Mahkamah Syar’iyah Jantho) after the passing of the Act Number 1, 1974 regarding Marriage and the obstacles found in the division of the property in polygamous marriage and the efforts to solve it). Based on the raised problems and the aims of this research hence the juridical empiric research is applied. The marriage property from the polygamous marriage is separated each and it stands on the marriage. The second wife and the laterare entitled for the marriage property with the husband since they get married. Each wife is entitled for the property. The division of the property in polygamous marriage in the case of divorce because of death is divided 50:50. Based on Article 97 of the Compilation states that widow or widower that get divorced is each entitled half from the marriage property in case not being determined in another way. The division of marriage property in polygamy is better done directly among family and fulfilled the fairness for all parties. Keywords: Marriage, Polygamy, Marriage Property Abstrak: Poligami merupakan suatu realita hukum dalam masyarakat yang menjadi suatu perbincangan hangat serta menimbulkan pro dan kontra. Poligami sendiri mempunyai arti suatu sistem perkawinan antara satu orang pria dengan lebih dari seorang isteri. Dalam Pasal 37 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam diatur apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama dibagi antara suami isteri dengan pembagian yang sama. Dalam hal seorang laki-laki yang memiliki isteri lebih dari seorang maka akan timbul suatu sengketa mengenai harta bersama tersebut, sehingga diperlukanlah suatu aturan yang jelas mengenai pembagian harta tersebut. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, tesis ini akan mengangkat pokok permasalahan tentang bagaimanakah pembagian harta perkawinan poligami dalam konteks hukum nasional (studi Kasus di Mahkamah Syar’iyah Jantho), setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan hambatan-hambatan yang terdapat dalam pembagian harta dalam perkawinan poligami dan upaya penyelesaiannya. Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis empiris.Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. Isteri kedua dan seterusnya berhak atas harta gono-gininya bersama dengan suaminya sejak perkawinan mereka berlangsung. Kesemua isteri memiliki hak yang sama atas harta gono-gini tersebut. Pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami untuk kasus cerai mati dibagi menjadi 50 : 50. Berdasarkan Pasal 97 KHI dinyatakan bahwa, janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Pembagian harta perkawinan poligami sebaiknya dilangsungkan secara kekeluargaan dan memenuhi unsur keadilan bagi semua pihak. Kata Kunci : Perkawinan, Poligami, Harta Bersama
UANG TUTUP BABAH SEBAGAI PENYELESAIAN PERKARA DALAM MASYARAKAT GAYO Nurlaila, Mohd. Din, Taqwaddin.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 1, No 4: November 2013
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (78.848 KB)

Abstract

Abstract: Article 98 verse (1) of the Act Number 11, 2006 regarding Aceh Governance states that customary law has a function and a role as a media for participation in society in conducting Aceh Governance in the province level and in the level of municipalities and districts in terms of security, peace, tolerance and law awareness in society. Verse (2) of the article also states that the settlement of social problems can be solved by customary approach through customary institutions. There are four types of crimes in Gayonese custom namely;Maas, Rujok, Died andBela. In fact, there are many a settlement of dispute in the society done through uangtutupbabah or hush money. The main problems of this research are (1) how is the process of giving this kind of money? (2) How is the strength of the decision of uangtutupbabah in solving the customary cases? (3) How is the impact of the decision in settling the case through this process on the society? This research aims to know the procedure of conducting the process, the strength of the decision in settling the case and the impact of the decision of settlement by the process of providing some money on the society. This is descriptive analytical research which is describing or depicting the implementation of the regulation in the context of legal theories and the implementation in the society and the effort of describing the explanation detailed, comprehensively and systematic of legal aspects in customary law. This is empirical legal research that is applying the existing norms if it is seen from the fact side. The sources of data are gathered from primary and secondary data. The research shows that firstly, the procedure or the stages of the implementation of providing money for shutting the mouth up in settling the cases in the community is that started from the report regarding a case to the third party (the party can be one of the village leaders or relatives that can be trusted), then the third party calls the reported person and ask the questions about the case followed by looking for the agreement of solving the case, one of the ways is by providing the money. Secondly, the decision of the process of the settlement by providing some money is obeyed by the people when the case occurs then providing the money solves it and the community follows it as it is inherited from their ancestors in the replacement of village leaders. Thirdly, the money might have painful effect on the perpetrator and other people due to the fact that it can be a shame; however the level of painful effect is different for every perpetrator. Every offense occurred is reported to the parents or the family of the criminals and it is necessary it is also reported to Reje Kampung or the king of the village where the villain live hence it might be having social sanction. It is recommended that Sarak Opat as a customary institution and village governance institution may complete facilities or the need of governance and the keeping of the documents, and in the implementation of the court procedure of customary Sarak Opat should be showing the ability and its honor before the society hence they will feel protected to report their problems. Key words:Customary Court and Hush Money (Uang Tutup Babah)
FUNGSI PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KABUPATEN TERHADAP PERIZINAN DAN PENGENDALIAN MENARA TELEKOMUNIKASI DI KABUPATEN ACEH BESAR Amrizal, Husni A. Jalil, Eddy Purnama.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 1, No 4: November 2013
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (176.425 KB)

Abstract

Abstract: Article 24 paragraph (1) letter k of the Law Number 11, 2006 regarding the Aceh Governance regulates duty and authority of the District/Municipality House of Representative including in terms of conducting control function that is part of suggestion from people aspiration including controlling towards license and controlling of the telecommunication tower. By this regulation, the House of Aceh Besar District as mandated by the rules must be active in conducting the function of controlling upon the local government policy including in controlling telecommunication tower. This research aims at explaining the controlling function process of the body towards licensing of telecommunication control tower in Aceh Besar has been complied with the existing rules and the obstacles faced in controlling the license control of telecommunication tower in Aceh Besar and the efforts done to solve it. Juridical and empirical legal approaches are applied to obtain secondary data done by library research and primary data by field research by interviewing respondents and informants.The research shows that Commission D that has an authority in development does the process of monitoring towards license of telecommunication tower in Aceh Besar. The monitoring is done since the license of establishing tower building but up to now there is no regulation on it and there is unlicensed tower losing the district. This phenomenon shows that the monitoring on licensing of controlling telecommunication tower by the body has not been conducted as regulated. The obstacles in controlling the license of controlling telecommunication tower is not clear about the criteria to evaluate, the subjective review, and the monitoring is deemed more that what it needs due to lack of harmonization between local law and government policy, lack of capability of the members in identifying aspiration of people and lack of resources and mechanism of monitoring. The efforts done towards the monitoring of license of controlling telecommunication tower in Aceh Besar requires the involvement of the District House of Representative directly that the follow up relating to the reparation actions of the organization, the change of Spending Budget of District, regulation reparation, and application for meeting for local rules. However, t has not been conducted due to the body is still facing obstacles in monitoring requiring reparation such as the house completion unit makes effort in limiting and priority monitoring, the standard of monitoring to determine a public policy. Apart from that, it also tries to improve legal drafting, preparing backing staff and controlling public finance and developing procedures and technics in monitoring. Keywords : Monitoring, license, and Telecommunication Tower. Abstrak: Pasal 24 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menentukan bahwa DPRK mempunyai tugas dan wewenang meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk penilaian kinerja pemerintahan termasuk dalam hal ini pengawasan terhadap perizinan dan pengendalian menara telekomunikasi. Adanya ketentuan tersebut DPRK Aceh Besar sebagaimana diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan harus pro aktif melaksanakan fungsi pengawasan atas kebijakan pemerintah daerah termasuk dalam Pengendalian Menara Telekomunikasi. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pelaksanaan fungsi pengawasan DPRK terhadap perizinan menara telekomunikasi di Kabupaten Aceh Besar telah berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan kendala yang dihadapi dalam pelaksana pengawasan DPRK terhadap perizinan pengendalian menara telekomunikasi di Kabupaten Aceh Besar dan upaya mengatasinya. penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris dan untuk memperoleh data sekunder dilakukan penelitian kepustakaan dan data primer melalui penelitian lapangan dengan mewawancarai para responden dan informan. Hasil penelitian diketahui bahwa pelaksanaan pengawasan terhadap perizinan menara telekomunikasi di Kabupaten Aceh Besar dilakukan Komisi D yang membidangi bidang pembangunan. Pengawasan dilakukan sejak izin pendirian bangunan menara, namun saat pendirian menara telekomunikasi regulasi yang ada belum memadai dan adanya menara telekomunikasi tanpa izin yang berpotensi merugikan daerah. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengawasan terhadap perizinan pengendalian menara telekomunikasi oleh DPRK belum berjalan sebagaimana mestinya. Kendala dalam pengawasan perizinan pengendalian menara telekomunikasi adalah belum jelasnya kriteria untuk mengevaluasi, penilaian yang masih bersifat subjektif, dan pengawasan dianggap berlebihan yang disebabkan kurangnya harmonisasi antara qanun dengan kebijakan pemerintah, kurangnya kemampuan anggota dalam hal identifikasi menyerap aspirasi masyarakat dan keterbatasan sumber daya dan mekanisme pengawasan. Upaya yang dilakukan terhadap hasil pengawasan terhadap perizinan pengendalian menara telekomunikasi di Kabupaten Aceh Besar membutuhkan keterlibatan DPRK secara langsung yaitu tindak lanjut yang berkaitan dengan tindakan perbaikan pengorganisasian, perubahan alokasi APBK, perbaikan qanun, dan mengusulkan rancangan qanun. Namun hal tersebut belum terlaksana karena DPRK masih menghadapi berbagai kendala dalam pengawasan yang memerlukan adanya upaya perbaikan antara lain alat kelengkapan DPRK berupaya merumuskan batasan dan prioritas pengawasan, standar baku pengawasan untuk menentukan sebuah kebijakan publik. Selain itu, juga berusaha meningkatkan kemampuan legal drafting, menyiapkan backing staff dan penguasaan public finance dan mengembangkan prosedur dan teknik-teknik pengawasan. Kata kunci : Pengawasan, Perizinan dan Menara Telekomunikasi
FUNGSI KOORDINASI DINAS SOSIAL TERHADAP KECAMATAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI ACEH BARAT Sri Dwi Friwarti, Husni, Eddy Purnama.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 1, No 4: November 2013
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (109.562 KB)

Abstract

Abstrak-Undang-UndangPemerintahanAceh telah mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah yang otonom dan seluas-luasnya bagi kesejahteraan rakyat Aceh. Dalam ketentuan Pasal 27 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan ditetapkan bahwa Camat melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah di lingkungan pemerintah kabupaten/kota dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di kecamatan. Kedudukan antara Dinas Sosial dan Kecamatan secara struktur adalah sama-sama merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah. Namun di tinjau dari kepangkatan golongan dari Kepala Dinas Sosial dan Camat memiliki perbedaan golongan kepangkatan.Masalah pokok penelitian ini ialah bagaimana fungsi koordinasi Dinas Sosial terhadap kecamatan dalam penanggulangan kemiskinan di Aceh Barat dan apakah kendala yang dihadapi oleh Dinas Sosial dalam melaksanakan koordinasi bagi upaya penanggulangan kemiskinan.Penelitianini bertujuan untuk mengetahui fungsi koordinasi yang dilakukan oleh Dinas Sosial terhadap Kecamatan dalam penanggulangan kemiskinan di Aceh Barat dan menemukan kendala yang dihadapi oleh kedua instansi tersebut dalam melaksanakan koordinasi bagi upaya penanggulangan kemiskinan.Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum yuridis sosiologis, kemudian dianalisis dengan pendekatan kualitatif yang disajikan secara deskriptif.Hasil penelitian menunjukkan bahwa koordinasi belum dilaksanakan sesuai dengan apa yang diharapkan. Kendala-kendala yang dihadapi antara lain belum terbentuknya tim koordinasi penanggulangan kemiskinan tingkat kabupaten, pelimpahan kewenangan kepada camat belum disertai dengan pembiayaan yang memadai, masih terbatasnya kualitas personil, sarana dan prasarana di kecamatan. Disarankan agar dapat dibentuk Tim Koordinasi penanggulangan kemiskinan tingkat kabupaten sehingga dapat melakukan koordinasi penanggulangan kemiskinan di daerah, menambah pembiayaan yang memadai terhadap penyelenggaraan kewenangan kecamatan dan dapat lebih meningkatkan kualitas personil, sarana dan prasarana di kecamatan.
EKSISTENSI SEKRETARIS DPR KABUPATEN DALAM MENDUKUNG PENGUATAN LEMBAGA DPR KABUPATEN (Suatu Penelitian Di DPR Kabupaten Aceh Tengah) Abshar, Iskandar A. Gani, Syarifuddin.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 1, No 4: November 2013
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (116.923 KB)

Abstract

Abstract:this article illustrates preparation of your paper using MS-Word. The manuscript should be written in english. The length of manuscript should not exceed 10 pages in this format using a4 single-sided papers. The title page should include the succinct title, the authors, and an abstract of around 200 words at the beginning of the manuscript. The affiliation, address and zip code, as well as e-mail address should be listed below the author's names. The paper begins with a title which uses 12pt Times New Roman. This is followed by the details for each author in 10pt Times New Roman. Section titles are bolded in 10pt Times New Roman. The remainder of the paper should be typed in 10pt Times New Roman. Please set your margin before you type your article by looking at the page setup of this template. Keywords : Up to six keywords should also be included Abstrak: Pemerintah Daerah telah diamanahkan melalui Undang-Undang untuk mengangkat seorang Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK). Sekretaris DPRK akan mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat strategis. Sekretaris DPRK secara teknis operasional berada dan bertanggung jawab kepada Pimpinan DPRK, dilain pihak secara administratif dan dan keuangan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-empiris, yang menggunakan data skunder sebagai data awalnya diperoleh dari studi pustaka dan kemudian dilanjutkan dengan data primer berupa data dari penelitian lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, Sekretaris DPRK Aceh Tengah yang diangkat adalah usulan Pimpinan DPRK Aceh Tengah. Sekretaris DPRK mempunyai tugas dan fungsi menyelenggarakan administrasi kesekretariatan, administrasi keuangan, kerumahtanggaan, dalam mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRK. Kualitas Sumber Daya Manusia yang rendah, kurangnya pelatihan dan bimbingan teknis serta kurangnya anggaran menjadi faktor yang menghambat kinerja Sekretariat DPR Kabupaten Aceh Tengah. Kata Kunci : Pemerintah Daerah, Pimpinan DPRK, DPRK, Sekretaris DPRK, Tugas dan fungsi.

Page 1 of 1 | Total Record : 10