Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Mogok Kerja Buruh Berdampak Pemutusan Hubungan Kerja ramsay, sahur
JUSTISI Vol 5, No 2 (2019): Juli 2019
Publisher : Universitas Muhammadiyah Sorong

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33506/js.v5i2.540

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, menganalisis dan menjelaskan mogok kerja yang merupakan hak normatif dari buruh, yang telah mendapat legitimasi dari peraturan perundang-undangan. Mogok kerja sebagai sarana untuk menyamakan kedudukan dengan pengusaha akan tetapi berdampak pemutusan hubungan kerja.Penelitian ini dilakukan dengan metode normatif empiris. Penelitian normatif dilakukan dengan penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder melalui studi dokumen. Penelitian empiris dilakukan dengan penelitian lapangan untuk memperoleh data primer melalui wawancara dengan subjek peneliti. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan hasilnya disampaikan secara deskriptif. Berdasarkan penelitian dan Pembahasan, maka penulis menyimpulkan Mogok kerja merupakan hak dasar yang secara eksplisit disebutkan dalam undang-undang ketenagakerjaan, Sebagai hak dasar maka keberadaannya harus dihormati oleh setiap orang tidak terkecuali pengusaha. Mogok kerja bukan sesuatu yang “liar”, mogok kerja harus dilakukan dengan etika yang baik. Mogok kerja yang baik, apabila dilakukan sesuai dengan prosedur peraturan perundang-undangan. Adapun prosedur untuk melakukan mogok kerja sebagaimana tercantum dalam Pasal 140 UUK dan Pasal 3 KEP.232/MEN/2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang Tidak Sah:Prosedur yang ditetapkan dalam undang-undang ketenagakerjaan dan KEP.232/MEN/2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang tidak Sah, untuk melakukan mogok kerja yang sah, sangat memberatkan bagi pihak buruh. Pada saat peneliti melakukan penelitian di Dinas Nakertrans Kab Sleman, Dinas Nakertrans Kab Bantul dan Dinas Sosnakertrans Kota Jogja, peneliti tidak mendapatkan kasus mogok kerja yang dilakukan oleh buruh sesuai dengan prosedur perundang-undangan. Menurut Ari Hernawan kemungkinan kecil bagi pekerja atau serikat pekerja yang mogok kerja untuk dapat memenuhi prosedur tersebut. Prosedur mogok kerja yang sudah diakomodasikan dalam undang-undang ketenagakerjaan tersebut sangat berat untuk dilaksanakan pekerja. Ketentuan mengenai prosedur mogok kerja dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 sangat membatasi ruang gerak pekerja untuk mogok sehingga hak mogok menjadi sulit dilaksanakan secara sah, padahal mogok adalah hak dasar pekerja dan organisasi pekerja yang seharusnya dipermudah untuk pelaksanaannya.
Asas “No Work, No Pay” Terhadap Mogok Kerja Buruh Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Ramsay, Sahur
JUSTISI Vol 6, No 1 (2020): Januari 2020
Publisher : Universitas Muhammadiyah Sorong

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33506/js.v6i1.780

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, menganalisis dan menjelaskan mogok kerja sah yang berhak mendapatkan upah sesuai dengan asas no work, no pay. Dalam undang-undang ketenagakerjaan menjelaskan lebih rinci tentang mogok kerja yang berhak mendapatkan upah.Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian normatif yuridis. Penelitian normatif atau studi kepustakaan, data yang diperoleh merupakan data sekunder. Data yang diperoleh kemudian dianalisi secara kualitatif dan disampaikan secara deskriptif.Asas No Work, No Pay sangat erat kaitannya dengan pengupahan. Pemberian upah integral dengan ide, gagasan dan tenaga yang dioptimalkan buruh/pekerja. Asas No Work, No Pay tetap dipertahankan semenjak diberlakukannya KUHPerdata sebagai peraturan yang mengatur ketenagakerjaan sampai sebagian pasal dalam KUHPerdata tidak berlaku semenjak di sahkannya Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dalam UUK asas no work, no pay terdapat pengecualian, buruh masih memperoleh upah apabila, tidak bekerjanya tersebut tergolong yang diatur dalam pasal 93 ayat 2 UUK.  Mogok kerja sah yang dilakukan oleh pekerja/buruh mendapatkan perlindungan dari Negara, sehingga pemberi kerja diwajibkan membayarkan upah selama melakukan mogok kerja. UUK lebih rinci perilah pemberian upah pekerja/buruh yang mogok kerja. Yaitu hanya mogok kerja sah dan tuntutannya hak normatif yang betul-betul dilanggar oleh pemberi kerja yang berhak mendapatkan upah.
Granting Permission for Registering Interfaith Marriage in Indonesia; The Marriage Law and The Human Rights Law Perspective Karim, Ahmad Busyrol; Ramsay, Sahur
Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum Vol. 13 No. 1 (2024): Supremasi Hukum
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/1g596y96

Abstract

Interfaith marriage always controversial in Indonesia. The granting of permission to register interfaith marriages has been rampant in the District Court before the existence of Supreme Court Circular Letter No. 2 of 2023 concerning the prohibition of registering interfaith marriages. The granting of permission to register interfaith marriages is very controversial because it is not clearly regulated in the marriage law. Surabaya District Court with Number: 916/Pdt.P/2022/PN.Sby has given permission for registering interfaith marriages. This research aims to find out the legal considerations of the judge in granting permission for  registering interfaith marriages, and to analyze the decision in terms of the Marriage Law and the Human Rights Law. This study is a library study with a normative juridical approach. It uses the legality theory and the universality and relativity  theory of human rights. This study concludes that the judge has considered the human rights of the petitioners to grant the registration of marriage between different religions. In terms of the Marriage Law, the legal considerations used by the judge are not quite right, because the article explains that marriage is prohibited if it is prohibited by religion, and all religion in Indonesia prohibit interfaith marriage. In terms of the Human Rights Law, it is explained that a marriage is valid if it is in accordance with the provisions of the applicable laws and regulations, so that the legalization of marriage should refer to the Marriage Law.
KOEKSISTENSI NILAI TRADISI BATANATI MASYARAKAT PULAU BURU DENGAN HUKUM ISLAM Haryanti, Tuti; Ramsay, Sahur; Siompu, Risna
TAHKIM Vol. 21 No. 1 (2025): TAHKIM
Publisher : IAIN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Batanati is a tradition of the Batujungku community on Buru Island which is carried out before a celebration. The community helps each other by handing over a sum of money to the owner of the celebration and is mandatory. This study aims to explore the substantive values ​​of the batanati tradition of the Buru Island community and its coexistence with Islamic law. This study uses empirical research using primary and secondary data. Furthermore, the data obtained is then analyzed based on the perspective of Islamic law. This study uses a conceptual and historical approach to reveal the coexistence of the substantive values ​​of the batanati tradition with Islamic law. The results of the study show that the batanati tradition is an interaction between individuals that contains local wisdom, namely the values ​​of mutual assistance, unity, togetherness and brotherhood. These values ​​become a reference and are cultivated by the community in each generation so that they become a social force. In an Islamic perspective, the batanati tradition is categorized as 'urf Sahih because it is a habit that has been carried out from generation to generation and can also be accepted and carried out by many people and does not conflict with sharia'. Therefore, the Batanati tradition needs to be maintained and the Batanati tradition continues to prioritize deliberation and consensus in order to be in line with Islamic values. Keywords: batanati tradition, islamic law, values
PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI ATAS KERUGIAN PERSEROAN DALAM PERUSAHAAN GRUP ramsay, sahur
JUSTISI Vol. 8 No. 3 (2022): JUSTISI
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sorong

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33506/jurnaljustisi.v8i3.1823

Abstract

This study aims to determine the responsibility of the board of directors for the loss of the company in the group company. In a group company, there are holding company and subsidiary companies, empirically the subsidiary is an independent legal entity, but in the economic sector it is a representation of the holding company or business support for the holding company. The non-independence of the subsidiary has implications for the responsibility of the board of directors, in the event of a loss to a third party. The research was conducted using a normative juridical/library research method, secondary data obtained, mixed, analyzed qualitatively and described descriptively. From the research, it can be concluded that if the directors of the holding company are proven legally and convincingly in running the company in bad faith or mean bad deals cause the subsidiary to suffer losses, then the directors of the holding company can be held accountable for their personal assets based on the doctrine of piercing the corporate veil and if the board of directors has more than one responsibility jointly and severally Keywords Limited Liability Companies, Directors, Group Companies