Hafid, Rosdiana
Unknown Affiliation

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

PERAN AG. KH. ABD. LATIF AMIN DALAM MENGEMBANGKAN PONDOK PESANTREN AL-JUNAIDYAH BIRU KABUPATEN BONE (1968-1998) Hafid, Rosdiana
Walasuji : Jurnal Sejarah dan Budaya Vol 10, No 2 (2019)
Publisher : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (337.861 KB) | DOI: 10.36869/wjsb.v10i2.9

Abstract

Penelitian ini menyorot tentang biografi seorang ulama besar di Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan yakni AG. KH. Abd. Latif Amin dalam peranannya mengembangkan Pondok Pesantren Al-Junaidyah Biru Kabupaten Bone. Masalah pokok dalam penelitian ini: Bagaimana Peran AG.KH. Abd. Latif Amin dalam mengembangkan Pondok Pesantren Al-Junaidyah Biru Kabupaten Bone, dengan sub masalah: 1). Bagaimana Latar Belakang kehidupan keluarga AG. KH. Abd. Latif Amin, 2). Bagaimana peranannya terhadap perkembangan pondok pesantren Al-Junaidiyah Biru Kab. Bone, 3). Bagaimana pengaruh pondok pesantren Al-Junaidiyah Biru terhadap masyarakat sekitarnya. Di dalam penelitian ini  menggunakan metode sejarah dengan pendekatan analisis kualitatif deskriptif yaitu pendekatan biografi kehidupan berdasarkan hasil wawancara dan observasi. Sedang tehnik penulisan dengan melalui heuristik, kritik, interpretasi, dan Historiografi. Hasil penelitian diperoleh bahwa AG. KH. Abd. Latif Amin dilahirkan pada tanggal  1 Desember 1929 di Watampone.  Di bawah kepemimpinan beliau, Pondok Pesantren Al-Junaidyah Biru Kabupaten Bone mengalami perkembangan yang cukup pesat, seiring dengan berkembangnya dunia pendidikan. Awalnya bentuk penyelenggaraan pendidikannya hanya pengajian saja, namun setelah beberapa tahun akhirnya pengajaran pengajian tersebut di ubah dalam bentuk konteks sekolah, namun pendidikan yang di bentuk bukanlah pendidikan yang bersifat formal. Namun akhirnya pada 1986 terbentuklah pendidikan formal yang di mulai dengan dibukanya Madrasah Tsanawiyah dan tahun 1987 di buka pula Madrasah Aliyah dan pengajaran Tahfidz Qur’an (penghafal Al-Qur’an), serta membuka pula pembelajaran PDF. Sebagai acuan pendidikan ditetapkan kurikulum  yang didalamnya juga telah memasukkan berbagai bidang study mata pelajaran umum. Sejak saat itu pondok pesantren Al-Junaidiyah Biru Kabupaten Bone, disamping berorientasi pada pengembangan pendidikan ilmu agama juga mengembangkan ilmu-ilmu yang bersifat umum. AG. KH. Abd. Latif Amin semasa memimpin pondok Pesantren Al-Junaidyah Biru adalah seorang pemimpin yang mempunyai kharismatik, beliau adalah seorang yang sangat disegani oleh orang-orang yang ada disekitar pesantren maupun masyarakat Bone pada khususnya.
BUDAYA POLITIK KERAJAAN WAJO Hafid, Rosdiana
Walasuji : Jurnal Sejarah dan Budaya Vol 7, No 2 (2016)
Publisher : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36869/wjsb.v7i2.147

Abstract

Kajian ini bertujuan untuk mengungkap dan menjelaskan budaya politik di Kerajaan Wajo pada abad ke-14 dan ke-15. Metode yang digunakan adalah metode sejarah yang meliputi empat langkah sistematis. Pengumpulandata lapangan bertumpu pada studi pustaka melalui beberapa perpustakaan yang ada di Makassar dan Kantor Perpustakaan Kabupaten Wajo. Hasil kajian menunjukkan bahwa budaya politik Kerajaan Wajo ada sejak berdirinya kerajaan ini, tepatnya pada masa pemerintahan La Tenribali yang bergelar Batara Wajo. Kerajaan Wajo tidak mengenal konsep Tomanurung dalam sistem pembentukan kerajaan, sehingga berbeda dengan kerajaan-kerajaan lainnya yang ada di Sulawesi Selatan, kecuali pada dua periode sebelumnya, yaitu pada masa Kerajaan Cinnatobi dan awal berdirinya Kerajaan Wajo yang diperintah oleh Batara Wajo I – III. Pada masa pemerintahan Batara Wajo IV, gelar jabatan itu diubah menjadi Arung Matoa Wajo. Arung Matoa Wajo didampingi oleh tiga orang pejabat yang disebut ranreng yang berasal dari tiga wanua pembentuk Kerajaan Wajo. Oleh sebab itu, Arung Matoa Wajo sangat terbatas  kekuasaannya, meskipun daerah ini berbentuk kerajaan yang sifatnya bukan monarki absolut.
LAHIRNYA PERJANJIAN LANRISANG DAN SALEMO ABAD XVII Hafid, Rosdiana
Walasuji : Jurnal Sejarah dan Budaya Vol 8, No 2 (2017)
Publisher : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36869/wjsb.v8i2.126

Abstract

Kajian penelitian ini merupakan sejarah politik yang mewarnai kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan antara Kerajaan Balanipa dengan Kerajaan Bone. Kajian ini bertujuan untuk mengungkap dan menjelaskan tentang lahirnya Perjanjian Lanrisang dan Perjanjian Salemo. Metode yang dipergunakan adalah metode sejarah yang meliputi empat tahap secara sistematis, yaitu: pengumpulan data, kritik sumber, interpretasi, dan penulisan sejarah. Hasil penelitian menggambarkan bahwa tiga perjanjian lahir karena dilatari adanya konflik antara dua pihak.Konflik itu kemudian berkembang menjadi peperangan yang sangat merugikan semua pihak yang bertikai. Akhir dari peperangan itulah yang menutup dan mengakhiri segalanya dengan lahirnya sebuah perjanjian. Dua perjanjian itu melibatkan secara langsung Kerajaan Balanipa, yaitu Perjanjian Salemo satu dan Perjanjian Lanrisang. Sementara itu, Perjanjian Salemo tidak melibatkan secara langsung Kerajaan Balanipa, tetapi yang berkonflik adalah Todani Arung Bakke, raja dari Kerajaan Limae Ajatappareng.