Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Dermatitis Kontak Et Causa Ketoconazole: Studi Kasus Fakhrussy, Azhar Ihza; Rahmawati, Yuli Wahyu; Widiatma, Ridha Ramadina; Idrus, Nizar Fakhri
Journal of Comprehensive Science Vol. 4 No. 7 (2025): Journal of Comprehensive Science
Publisher : Green Publisher Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59188/jcs.v4i7.3389

Abstract

Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah reaksi peradangan kulit yang terjadi akibat kontak dengan alergen pada individu yang telah tersensitasi sebelumnya. DKA termasuk dalam reaksi hipersensitivitas tipe IV yang tertunda, dengan rasa gatal sebagai keluhan utama. Beberapa obat, termasuk ketoconazole, meskipun jarang dilaporkan, dapat menyebabkan reaksi dermatologis seperti gatal, perih, dan sensasi terbakar. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kasus DKA pada seorang anak yang disebabkan oleh penggunaan ketoconazole, serta untuk mengidentifikasi tatalaksana yang tepat dalam penanganan DKA. Laporan kasus ini melibatkan seorang anak laki-laki berusia 12 tahun yang datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soegiri Lamongan dengan keluhan gatal dan kemerahan pada area perut setelah menggunakan krim ketoconazole selama tiga hari. Diagnosis DKA ditegakkan melalui patch test, dan pasien diberikan terapi glukokortikoid topikal serta pengobatan simptomatik. Hasil menunjukan setelah dua minggu pengobatan, lesi pada kulit mulai membaik, gatal mereda, dan tidak ada efek samping yang timbul dari pengobatan. Penggunaan ketoconazole dihentikan dan alergen dihindari untuk mencegah reaksi lebih lanjut. DKA yang disebabkan oleh ketoconazole, meskipun jarang terjadi, dapat menimbulkan reaksi dermatologis yang mengganggu. Penanganan yang tepat, termasuk penghindaran alergen dan penggunaan glukokortikoid topikal, dapat efektif dalam mengatasi gejala DKA. Penelitian ini menekankan pentingnya pengawasan dalam penggunaan obat-obatan yang berpotensi menyebabkan DKA, serta perlunya diagnosis yang cepat dan tatalaksana yang sesuai untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
Erythema Nodosum Leprosum in Lepromatous Type Hansen’s Disease: A Case Report Utomo, Zulfikri Firmansyah Prayitno; Widiatma, Ridha Ramadina
Journal of Diverse Medical Research: Medicosphere Vol. 2 No. 6 (2025): J Divers Med Res 2025
Publisher : Faculty of Medical - UPN Veteran Jawa Timur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33005/jdiversemedres.v2i6.175

Abstract

This case report describes a 39-year-old woman with lepromatous Hansen's disease accompanied by erythema nodosum leprosum (ENL) reaction. The patient had complained of lumps in the facial area since 2017 and did not experience any improvement after therapy. In 2022, the diagnosis of ENL was confirmed by BTA examination with a bacterial index of +1 and a morphological index of 90%. After undergoing one year of therapy and re-evaluation, an increase in morphological index was found. Currently, the lesions have spread to the hands and feet, and the patient is receiving anti-inflammatory and supportive therapy with regular monitoring. ENL is a type II reaction to immune-mediated Hansen's disease with the role of various inflammatory cytokines. Risk factors include lepromatous type, hormonal status, and bacterial index. Delayed diagnosis and suboptimal therapeutic response can worsen the clinical course. In conclusion, this case highlights the importance of early detection, immunological management, and a multidisciplinary approach in managing chronic ENL in lepromatous Hansen's disease.
Laporan Kasus: Tinea Kapitis Tipe Grey Patch Pada Anak Perempuan Berusia 11 Tahun Idrus, Nizar Fakhri; Rahmawati, Yuli Wahyu; Widiatma, Ridha Ramadina; Fakhrussy, Azhar Ihza
Journal of Comprehensive Science Vol. 4 No. 7 (2025): Journal of Comprehensive Science
Publisher : Green Publisher Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59188/jcs.v4i7.3377

Abstract

Tinea kapitis tipe bercak abu-abu merupakan infeksi jamur dermatofit pada kulit kepala yang umum terlihat pada anak-anak. Laporan kasus ini menggambarkan seorang anak berusia 11 tahun yang datang dengan keluhan gatal yang berlokasi pada bagian kulit kepala selama tiga hari terakhir disertai dengan kerontokan rambut pada area tersebut. Riwayat kontak dengan kucing peliharaan adalah faktor risiko utama. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya plak tebal berwarna keabuan pada regio cranialis disertai skuama dengan rambut rapuh terpotong, berbentuk bulat dan berbatas tegas. Diagnosis dikonfirmasi dengan pemeriksaan kalium hidroksida 10% pada rambut menunjukan terdapat adanya hifa panjang bersekat dan arthospora serta pemeriksaan lampu wood menghasilkan karakteristik fluoresensi hijau tosca. Pasien diberikan terapi dengan griseofulvin oral, sampo ketokonazol 2%, dan cetirizine. Perbaikan klinis signifikan dicatat pada evaluasi 2 minggu: lesi telah berkurang, rambut mulai tumbuh kembali, dan rasa gatal mereda. Laporan kasus ini akan membahas tentang kombinasi antara anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, serta terapi kombinasi oral-topikal untuk mencapai resolusi cepat dan mencegah komplikasi.
Drug Eruption Due to Antituberculosis Drugs: A Case Report Afida, Adinda Izzatul; Widiatma, Ridha Ramadina
NUTRIX Vol 9 No 2 (2025): Volume 9, Issue 2, 2025
Publisher : Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Klabat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37771/nj.v9i2.1403

Abstract

Drug eruptions due to anti-tuberculosis drugs (ATDs) can compromise treatment adherence and outcomes. Identifying the culprit drug within combination regimens is particularly challenging, especially in patients with comorbidities that may increase susceptibility to cutaneous adverse reactions. We report a case of pulmonary tuberculosis with diabetes mellitus and hypertension who developed a generalized drug eruption after two months of ATD therapy. Clinical data, laboratory findings, management, and follow-up were evaluated descriptively. A 67-year-old male developed a generalized pruritic maculopapular eruption with edema after two months of fixed-dose ATD therapy. Laboratory tests showed no systemic involvement. The regimen was modified by continuing isoniazid and ethambutol while discontinuing rifampicin and pyrazinamide. Supportive therapy with a short course of systemic corticosteroids, antihistamines, and topical agents led to marked improvement within one week. The cautious use of systemic corticosteroids in a tuberculosis patient with comorbidities facilitated rapid resolution without clinical deterioration. This case highlights the need for individualized management of ATD-induced drug eruptions in patients with comorbidities. Selective continuation of isoniazid and ethambutol, withdrawal of rifampicin and pyrazinamide, and careful corticosteroid use proved both effective and safe. This report adds to the limited clinical evidence on managing drug eruptions in high-risk TB patients. Erupsi obat akibat obat anti-tuberkulosis (OAT) merupakan efek samping yang dapat mengganggu keberhasilan terapi. Tantangan terbesar adalah menentukan obat penyebab di tengah terapi kombinasi, khususnya pada pasien dengan komorbid yang dapat memperberat risiko reaksi kulit. Dilaporkan laporan kasus seorang pasien TB paru dengan komorbid diabetes mellitus dan hipertensi yang mengalami erupsi kulit setelah dua bulan terapi OAT. Data klinis, pemeriksaan penunjang, serta tindak lanjut terapi dievaluasi secara deskriptif. Seorang pria 67 tahun mengalami erupsi makulopapular generalisata dengan pruritus dan edema setelah dua bulan terapi OAT kombinasi. Pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan keterlibatan sistemik. Regimen dimodifikasi dengan melanjutkan isoniazid dan etambutol serta menghentikan rifampisin dan pirazinamid. Terapi suportif berupa kortikosteroid sistemik jangka pendek, antihistamin, dan agen topikal menghasilkan perbaikan signifikan dalam satu minggu. Keputusan penggunaan kortikosteroid pada pasien TB dengan komorbid berhasil mempercepat resolusi gejala tanpa memperburuk kondisi dasar. Kasus ini menyoroti pentingnya pendekatan individual dalam menatalaksana erupsi obat akibat OAT, khususnya pada pasien dengan komorbiditas. Strategi selektif melanjutkan isoniazid dan etambutol sambil menghentikan rifampisin dan pirazinamid, ditambah penggunaan kortikosteroid secara hati-hati, terbukti efektif dan aman. Laporan ini menambah bukti klinis mengenai tata laksana erupsi obat pada pasien TB dengan risiko tinggi.