Seleksi ternak secara konvensional telah memberikan kontribusi nyata terhadap penemuan bangsa-bangsa baru ternak dengan sifat-sifat unggul yang ada saat ini. Namun, seiring dengan kemajuan teknologi molekuler, penemuan sifat-sifat unggul pada sapi, domba, kambing, dan kerbau dapat dipercepat dengan tersedianya peta keterpautan genetik. Kebutuhan sumber pangan asal ternak sapi secara nasional belum terpenuhi, sehingga Indonesia harus mengimpornya dari negara lain. Sapi potong lokal belum dimanfaatkan secara optimal karena kurangnya perhatian terhadap produktivitas ternak lokal. Hal ini berkaitan dengan belum diusahakannya ternak secara komersial, kelang-kaan bakalan, dan tidak terjaminnya keberlanjutan usaha ternak, selain rentan terhadap persaingan pasar global. Dua dari lima bangsa sapi lokal Indonesia, yaitu sapi Bali dan PO (peranakan Ongole) berpotensi sebagai penghasil daging. Kedua bangsa sapi ini mampu beradaptasi pada lahan kering dan iklim panas. Oleh karena itu, sifat penting yang bernilai ekonomi seperti produk-tivitas (sifat pertumbuhan), reproduksi (sifat kembar, jarak beranak), dan kualitas daging (lean meat, karkas, marbling) perlu diteliti secara molekuler guna mempercepat kemandirian pangan asal ternak. Percepatan kemandirian pangan asal ternak juga dapat dicapai melalui kelahiran pedet kembar. Kelahiran kembar dua pada sapi dapat dipicu dengan hormon PMSG dosis 750 IU. Sifat kelahiran kembar dapat dianalisis dengan marka single nucleotide polymorphism (SNP) pada kromosom 5. Upaya peningkatan produksi daging juga dapat ditempuh dengan memanfaatkan ternak ruminansia kecil, seperti domba. Sifat pertumbuhan pada domba Garut dengan quantitative trait loci (QTL) telah terpetakan pada kromosom 18