Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

PRAKIRAAN HUJAN LEBAT MENGGUNAKAN MODEL WRF-ARW DI PALANGKA RAYA (STUDI KASUS 3 JUNI 2016) Swastiko, Wishnu Agum; Rifani, Achmad
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol 4 No 2 (2017): Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Publisher : Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (648.495 KB) | DOI: 10.36754/jmkg.v4i2.42

Abstract

Kejadian hujan lebat sering terjadi di wilayah Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Stasiun Meteorologi Palangka Raya mencatat nilai hujan akumulasi hasil observasi yang tercatat pada tanggal 4 Juni 2016 sebesar 296 mm jauh melebihi ambang batas ekstrem BMKG untuk curah hujan yang hanya 50 mm/hari. Kejadian hujan ekstrem ini akan disimulasikan menggunakan WRF-ARW dengan 20 skema kombinasi skema parameterisasi konvektif cumulus-mikrofisis-PBL. Mengingat kondisi fisis atmosfer di daerah tropis sangat bervariasi maka penelitian menggunakan model Weather Research and Forecasting-Advanced Research WRF (WRF-ARW) untuk mengetahui kondisi atmofer pada saat kejadian hujan ekstrem. Data yang digunakan merupakan data awal Global Forecast System (GFS) dari NCEP-NOAA dengan resolusi temporal 3 jam. Verifikasi data curah hujan simulasi menunjukkan bahwa skema parameterisasi KF-Lin-MYJ memiliki nilai verifikasi relatif lebih baik di dalam mewakili kejadian hujan ekstrem tersebut. Hasil verifikasi dilakukan dengan melihat nilai hits dan success ratio dari skema tersebut per setiap threshold. Berdasarkan hasil analisis dari output skema terpilih, diketahui bahwa kondisi atmosfer di atas wilayah Palangka Raya cukup basah yang ditunjukan dengan nilai kelembaban udara per lapisan serta adanya konvergensi yang mendukung pembentukan awan-awan konvektif.
ANALISIS KONDISI ATMOSFER MCC (MESOSCALE CONVECTIVE COMPLEX) DI JAKARTA (STUDI KASUS 24 SEPTEMBER 2016) Fatmasari, Devi; Swastiko, Wishnu Agum; Ismail, Prayoga
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol 4 No 2 (2017): Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Publisher : Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (746.85 KB) | DOI: 10.36754/jmkg.v4i2.43

Abstract

Mesoscale Convective Complex (MCC) merupakan gugusan awan konvektif berskala meso. Pada 24 September 2016 terbentuk MCC di wilayah Jakarta dengan masa hidup dari pukul 09.00 hingga 12.00 UTC. Fenomena MCC tersebut menghasilkan hujan yang berlangsung cukup lama dan bersifat terus-menerus. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kondisi atmosfer saat terjadinya MCC di Jakarta pada 24 September 2016. Dengan menggunakan metode berupa analisis dinamika atmosfer menggunakan data reanalisis ERA Interim berupa parameter vortisitas, divergensi, dan kelembaban vertikal. Kemudian analisis streamline, analisis fenomena meteorologi, analisis parameter konvektif dengan menggunakan data sounding Stasiun Meteorologi Cengkareng, dan analisis citra satelit Himawari. Dari analisis streamline terdapat area tekanan rendah di Samudera Hindia sebelah selatan Jawa. Berdasarkan analisis yang dilakukan, maka didapatkan vortisitas lapisan 500 mb pada pukul 06.00 UTC bernilai negatif yang mengindikasikan adanya sirkulasi siklonik pada troposfer bagian tengah, divergensi lapisan 850 mb pada pukul 06.00 UTC bernilai negatif mengindikasikan terdapat aliran konvergensi di troposfer bagian bawah. Kelembaban udara vertikal pada pukul 06.00 UTC bernilai tinggi yaitu berkisar 80-100%. Pada 24 September 2016 terpantau MJO fase 5 yang mengindikasikan wilayah Indonesia mendapat pasokan uap air hangat dan lembab, berkombinasi dengan indeks Dipole Mode yang bernilai negatif kuat yang mengindikasikan adanya konvergensi di Samudera Hindia sebelah barat Indonesia terjadi karena suhu muka laut lebih hangat. Parameter konvektif yaitu LI, KI, SWEAT dan CAPE menunjukkan angka yang mengindikasikan adanya aktivitas konveksi dikarenakan keadaan amosfer yang labil. Semua kondisi tersebut mendukung terbentuknya sistem konvektif berskala meso berupa MCC, yang dapat diamati pada citra satelit Himawari dari pukul 09.00-12.00 UTC yang memperlihatkan adanya gugusan awan Cumulonimbus dengan suhu puncak -80 0C dan berdiameter sekitar 200 km, yang bercampur dengan awan jenis lain. Sehingga, MCC tersebut tergolong pada MCS kategori beta.
KAJIAN ATMOSFER SAAT MCC (MESOSCALE CONVECTIVE COMPLEX) DI PAPUA BARAT (STUDI KASUS 14 AGUSTUS 2017) Wulandari, Ayu Vista; Swastiko, Wishnu Agum; Silitonga, Andreas Kurniawan; Hariadi, Hariadi
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol 6 No 1 (2019): Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Publisher : Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (622.22 KB) | DOI: 10.36754/jmkg.v6i1.112

Abstract

Mesoscale Convective Complex (MCC) merupakan salah satu jenis dari Mesoscale Convective System (MCS). MCC membentuk sistem awan badai yang luas akibat dari banyaknya sel tunggal awan Cumulunimbus yang berkumpul dan tumbuh sehingga disebut gugusan awan konvektif berskala meso. Pada 14 Agustus 2017 terbentuk MCC di wilayah Papua Barat dengan masa hidup dari pukul 14.00 hingga 19.00 UTC. Fenomena MCC tersebut menghasilkan hujan yang berlangsung cukup lama dan bersifat terus-menerus. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi atmosfer saat terjadinya MCC di Papua Barat pada 14 Agustus 2017. Kajian ini menggunakan data reanalysis dari ECMWF berupa parameter komponen angin meridional dan zonal, vortisitas, dan kelembaban udara. Selain itu, juga perlu dikaji dengan menggunakan citra satelit Himawari 8 dan data Radiosonde. Dari komponen angin meridional dan zonal pada pukul 06.00-24.00 UTC terdapat angin yang cukup kencang di Papua Barat dengan arah pergerakan ke barat laut hingga utara. Berdasarkan kajian sementara, nilai vortisitas lapisan 500 mb pada pukul 06.00-24.00 UTC bernilai negatif yang mengindikasikan adanya sirkulasi siklonik pada troposfer bagian tengah. Kondisi tersebut didukung dengan nilai kelembaban udara yang berkisar antara 70-100% yang menunjukkan kondisi lapisan pada saat kejadian relatif basah. Pada citra satelit Himawari menunjukkan adanya gugusan awan Cumulonimbus dengan suhu puncak -80 0C dan berdiameter sekitar 200 km, yang bercampur dengan awan jenis lain. Sehingga, MCC tersebut tergolong pada MCS kategori beta.