AbstrakDalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengalami transformasi dari lembaga tertinggi negara kepada lembaga tinggi negara. Transformasi tersebut berimplikasi terhadap kewenangan MPR, dimana sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) MPR berwenang mengeluarkan TAP MPR/S sedangkan pasca Amandemen UUD 1945 menjadi tidak berwenang. Setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan diubah kembali dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP), TAP MPR/S dimasukkan kembali kedalam hierarki perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf b. Hal itu menimbulkan problematika serius dalam konsep negara hukum Indonesia dan sekaligus merugikan hak konstitusional warga negara. Pasalnya tidak ada lembaga negara yang berwenang menguji TAP MPR/S jika ditemukan bertentangan dengan UUD 1945. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan Perundang-Undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa TAP MPR yang masih berlaku sekarang masih mengikat keluar meskipun MPR tidak berwenang lagi mengeluarkan TAP MPR/S. Penelitian ini memberikan rekomendasi yaitu; pertama, TAP MPR/S yang berlaku mesti diubah menjadi undang-undang supaya dapat diuji ke Mahkamah Konstitusi; dan kedua, Mahkamah Konstitusi mesti melakukan penafsiran konstitusi dengan menerima permohoanan judicial review TAP MPR/S terhadap UUD 1945 sepanjang TAP MPR/S yang masih berlaku belum diubah menjadi Undang-undang.