Wijaya, Happy Trizna
Unknown Affiliation

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

TINJAUAN HUKUM PELEPASAN TANAH ULAYAT Wijaya, Happy Trizna
Mimbar Keadilan Vol 13 No 1 (2020): Februari 2020
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/mk.v13i1.3040

Abstract

Since September 24, 1960 Law No. 5/1960 was stipulated regarding Basic Regulations on Agrarian Principles or often referred to as the Basic Agrarian Law (UUPA), adopting legal unification and based on customary law. Customary land law is original law, has a unique characteristic, where individual rights to land are personal rights but in it contain togetherness. Land controlled by customary law communities is known as ulayat rights. Although customary law is the basis of the LoGA, problems with ownership rights to customary land often occur due to unclear land boundaries and customary land tenure by the government without any release of land. The results of this study revealed that the procedure for controlling customary land by the local government through the mechanism of land acquisition as stipulated in Permendagri No. 15 of 1975 provides more opportunities for the Government to control land rights, while the owner / holder of land rights has a very weak position because many rights to land are neglected so that it violates the human rights of land rights holders. With the issuance of Presidential Decree No. 55 of 1993 concerning Land Procurement for the Implementation of Development for the Public Interest in lieu of Permendagri No. 15 of 1975, which provides a protection to holders of land rights to be able to defend their rights. This is also the case with Perpres No. 36 of 2005 Jo Perpres No. 65 of 2006 issued as a substitute for Presidential Decree No. 55 of 1993, far more provide protection to the community to defend their rights, while the government is increasingly limited in obtaining land. So Perpres No. 65 of 2006 provides a guarantee of legal certainty to holders of land rights to be able to defend their rights.Sejak 24 September 1960 ditetapkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau sering disebut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), menganut unifikasi hukum dan berdasarkan hukum adat. Hukum tanah adat merupakan hukum asli, mempunyai sifat yang khas, dimana hak-hak perorangan atas tanah merupakan hak pribadi akan tetapi didalamnya mengandung unsur kebersamaan. Tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dikenal dengan sebutan hak ulayat. Walaupun hukum adat merupakan dasar dari UUPA tetapi permasalahan terhadap hak kepemilikan atas tanah adat seringkali terjadi karena penentuan batas tanah hak ulayat yang tidak jelas, maupun karena penguasaan hak atas tanah adat oleh pemerintah tanpa ada pelepasan tanah. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa Prosedur penguasaan tanah ulayat oleh Pemda melalui mekanisme pembebasan tanah yang tertuang dalam Permendagri No. 15 Tahun 1975 lebih memberikan kesempatan kepada pihak Pemerintah untuk menguasai hak atas tanah, sedangkan pemilik/pemegang hak atas tanah mempunyai kedudukan yang sangat lemah karena banyak hak atas tanah yang diabaikan sehingga sangat melanggar hak asasi pemegang hak atas tanah. Dengan diterbitkannya Kepres No. 55 Tahun 1993 mengenai Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagai pengganti Permendagri No. 15 Tahun 1975, yang memberikan suatu perlindungan kepada pemegang hak atas tanah untuk dapat mempertahankan haknya. Begitu juga halnya dengan Perpres No. 36 Tahun 2005 Jo Perpres No. 65 Tahun 2006 yang dikeluarkan sebagai pengganti Kepres No. 55 Tahun 1993, jauh lebih memberikan perlindungan kepada pihak masyarakat untuk membela haknya, sedangkan pihak pemerintah semakin terbatas dalam memperoleh tanah. Sehingga Perpres No. 65 Tahun 2006 memberikan suatu jaminan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah untuk dapat mempertahankan haknya.
AKIBAT HUKUM ATAS PENYITAAN OBYEK JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN Wijaya, Happy Trizna
Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune Volume 3, Nomor 1 Februari 2020
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/jhbbc.v3i1.3039

Abstract

Consumer finance companies often take the action of taking objects that are used as fiduciary collateral when the debtor is unable to repay the loan. This was done because the consumer finance institution did not register the fiduciary guarantee with the Fiduciary Office. By not registering fiduciary guarantees, the fiduciary guarantee institution does not get a fiduciary guarantee certificate in which there is a clause of the sentence "FOR JUSTICE BASED ON THE ALMIGHTY GOD" Permanent legal remedies taken by debtors holding fiduciary guarantees confiscated by financial institutions are as far as possible to maintain the right to ownership of the vehicle used as fiduciary security, and if the financing institution takes by force, the debtor can report to the police on the basis of the consumer financing institution has seized fiduciary guarantees and at the same time sues for compensation in the form of reimbursement of costs, losses and interest on the basis of consumer financing has committed acts that violate the law as Article 1365 of the Civil Code.Perusahaan pembiayaan konsumen sering mengambil tindakan mengambil obyek yang dijadikan jaminan fidusia ketika debitur tidak mampu membayar pinjamannya. Hal ini dilakukan karena lembaga pembiayaan konsumen tidak mendaftar jaminan fidusia tersebut ke Kantor Fidusia. Dengan tidak didaftarkannya jaminan fidusia, maka lembaga jaminan fidusía tidak mendapatkan sertifikat jaminan fidusia yang di dalamnya terdapat irah-irah kalimat "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” Irah-irah kalimat tersebut mempunyai kekuatan esksekusi atas kekuasaannya sendiri sebagaimana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Upaya hukum yang ditempuh oleh debitur pemilik jaminan fidusia yang disita oleh lembaga pembiayaan adalah sedapat mungkin mempertahankan hak atas kepemilikan kendaraan yang dijadikan jaminan fidusia tersebut, dan apabila lembaga pembiayaan mengambil secara paksa. Debitur dapat melaporkan kepada pihak kepolisian atas dasar lembaga pembiayaan konsumen telah melakukan perampasan jaminan fidusia dan sekaligus menggugat ganti kerugian berupa penggantian biaya, rugi dan bunga atas dasar pembiayaan konsumen telah melakukan perbuatan melanggar hukum sebagaimana pasal 1365 KUHPerdata.
KEABSAHAN PERKAWINAN JARAK JAUH DENGAN AKAD NIKAH MELALUI ALAT KOMUNIKASI SMARTPHONE Wijaya, Happy Trizna
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 3 No 1 (2020): Februari 2020
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/jhmo.v3i1.3083

Abstract

Marriage is one of the most appropriate and honorable ways to carry out offspring. Article 2 paragraph (1) of Law Number 1 of 1974 stipulates that a Marriage is valid if it is carried out according to the law of each religion and its beliefs. From the provisions of article 2 paragraph (1) it is clear that for those who are Muslims must heed the provisions and Islamic law in carrying out marriage. The development of telecommunications technology today has developed so rapidly, that people can carry out certain activities without being in a forum or assembly, for example entering into an agreement. The presence of such advanced telecommunications facilities is also clearly influential in the implementation of Marriage in the Indonesian community itself, namely by the long-distance marriage contract through a CellPhone or SmartPhone telecommunications device. So that it raises the pros and cons of its validity in the midst of society. It turns out that a long-distance marriage with a marriage contract through telecommunications equipment is still valid because it clearly meets the requirements and the harmony of an implementation, but a marriage with a long-distance marriage contract is still positioned as a last resort if it is no longer possible to implement the marriage in one assembly.Perkawinan merupakan satu cara yang paling tepat dan terhormat untuk melangsungkan keturunan. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa Perkawinan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya. Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) tersebut jelas bahwa bagi mereka yang beragama Islam harus mengindahkan ketentuan-ketentuan dan hukum Islam dalam melangsungkan Perkawinan. Perkembangan teknologi telekomunikasi saat ini telah berkembang sedemikian pesat, sehingga orang dapat melangsungkan kegiatan-kegiatan tertentu tanpa dalam satu forum atau majelis, misal mengadakan suatu perjanjian. Kehadiran sarana telekomunikasi yang demikian maju, juga jelas berpengaruh dalam pelaksanaan Perkawinan dimasyarakat Indonesia sendiri, yaitu dengan akad nikah jarak jauh melalui alat telekomunikasi handphone ataupun smartphone. Sehingga hal tersebut menimbulkan pro dan kontra tentang keabsahannya di tengah-tengah mayarakat. Ternyata bahwa Perkawinan jarak jauh dengan akad nikah melalui alat telekomunikasi adalah tetap sah karena jelas memenuhi syarat dan rukunnya suatu pelaksanaan, namun sebaiknya Perkawinan dengan akad nikah jarak jauh ini tetap diposisikan sebagai pilihan terakhir apabila tidak lagi dimungkinkan pelaksanaan Perkawinan tersebut dalam satu majelis.
TINJUAN YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN KPK DAN KEJAKSAAN SEBAGAI LEMBAGA INDEPENDEN DALAM PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA: Lembaga Independen, Kedudukan, Kejaksaan, KPK. Wijaya, Happy Trizna
Jurnal Pro Hukum : Jurnal Penelitian Bidang Hukum Universitas Gresik Vol 10 No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gresik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55129/jph.v10i1.1432

Abstract

Karya tulis ilmiah ini merupakan uraian argumentasi hukum yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, asas-asas maupun teori hukum. Penelitian yuridis normatif untuk membedah kedudukan KPK dan Kejaksaan sebagai lembaga independen berdasarkan undang-undang pembentuknya serta sistem politik Indonesia. Adapun UU No.16 Tahun 2004 dan UU No. 19 Tahun 2019 merupakan dasar hukum pembentuk lembaga tersebut. Arah pandang yang dipilih untuk mengetahui kejelasan dan kepastian kedudukan kedua lembaga independen tersebut. Hal ini penting untuk diketahui agar kewenangan dan tugas penuntutan tindak pidana korupsi antar kedua lembaga tersebut lebih tegas dan tidak saling tumpang tindih. Pemahaman secara komprehensif ini sebagai upaya mewujudkan sistem politik Indonesia yang ideal.
PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA DALAM PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN DALAM PERSELISIHAN MENGENAI UPAH: Hak, Upah, Upaya Hukum, Perlindungan, Pekerja. Mashudi; Wijaya, Happy Trizna; Sion Dakawetang, Adi Putra
Jurnal Pro Hukum : Jurnal Penelitian Bidang Hukum Universitas Gresik Vol 10 No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gresik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55129/jph.v10i1.1433

Abstract

Dalam Penelitian ini penulis meneliti tentang perlindungan hukum pekerja dalam perjanjian kerja secara lisan dalam perselisihan mengenai upah. Hal ini dilatar belakangi karena upah merupakan hak normatif bagi pekerja. Perselisihan hubungan industrial adalah pendapat yang berbeda yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha dan pekerja karena adanya perselisihan hak seseorang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Perlindungan Pekerja dalam kegiatannya memiliki hak dan kewajiban dimana kewajiban pekerja adalah bekerja sesuai dengan aturan baik aturan hukum serta aturan kerja, sedangkan hak pekerja adalah menerima uang atas pekerjaannya yang telah dilakukan disaat bekerja.