Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

RELIGIOUS BLASPHEMY AND MONITORY SOCIETY IN INDONESIAN DIGITAL AGE Leonard Chrysostomos Epafras; Hendrikus Paulus Kaunang; Syamsul Asri
Jurnal Kawistara Vol 9, No 2 (2019)
Publisher : Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (394.233 KB) | DOI: 10.22146/kawistara.41169

Abstract

The present article is a research report on the discourse of religious blasphemy in connection with digital practices in Indonesia. It sought to understand the shift of public participation in shaping the discourse that understood within the framework we identified as “monitory society.” The research employed qualitative approach by using several methods, among others are interview and social media observation. Reflecting upon the current national trends and new shift of political landscape, it appeared that religious blasphemy immersed into the political discourse as weaponized information, hence disrupted the meaning of democracy in digital age, as once become the rhetoric of digital technology. In general, the discourse of religious blasphemy in Indonesia is dealing with public piety and social order. It concerned more on religious boundary rather than the improvement of religious lives and personal piety.
RELIGIOUS BLASPHEMY AND MONITORY SOCIETY IN INDONESIAN DIGITAL AGE Leonard Chrysostomos Epafras; Hendrikus Paulus Kaunang; Syamsul Asri
Jurnal Kawistara Vol 9, No 2 (2019)
Publisher : Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/kawistara.41169

Abstract

The present article is a research report on the discourse of religious blasphemy in connection with digital practices in Indonesia. It sought to understand the shift of public participation in shaping the discourse that understood within the framework we identified as “monitory society.” The research employed qualitative approach by using several methods, among others are interview and social media observation. Reflecting upon the current national trends and new shift of political landscape, it appeared that religious blasphemy immersed into the political discourse as weaponized information, hence disrupted the meaning of democracy in digital age, as once become the rhetoric of digital technology. In general, the discourse of religious blasphemy in Indonesia is dealing with public piety and social order. It concerned more on religious boundary rather than the improvement of religious lives and personal piety.
INVESTING INTOLERANCE: ‘PENDIDIKAN KARAKTER’ AND CURRICULUM 2013 Frans A. Djalong; Hendrikus Paulus Kaunang
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio Vol. 11 No. 1 (2019): Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio
Publisher : Unika Santu Paulus Ruteng

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36928/jpkm.v11i1.749

Abstract

Artikel ini mengeksplorasi dan menganalisis debat publik tentang 'Pendidikan Karakter' dalam perumusan dan implementasi Kurikulum 2013. Ada dua pertanyaan kunci yang saling terkait: pertama, bagaimana dan sejauh mana perdebatan kebijakan antara berbagai artikulasi agama-budaya tentang toleransi membentuk konten dan orientasi 'Pendidikan Karakter' dalam kurikulum; dan kedua, sejauh mana kerangka kerja kurikulum dan konten mempengaruhi pembentukan kewarganegaraan multikultural. Dengan menggunakan pendekatan Wacana Mouffe, penelitian ini menghasilkan tiga temuan yang saling terkait: (1) Tidak satu pun dari kelompok agama-budaya dengan artikulasi toleransi masing-masing memiliki konsep yang jelas tentang 'pendidikan karakter'; (2) Kurikulum 2013, dalam isinya dan kegiatan pembelajaran, menunjukkan kecenderungan kuat untuk kekhususan agama dan perbedaan agama-budaya; (3) Pertemuan yang rumit antara Kompetensi Agama, Kompetensi Sosial, dan Kompetensi Pengetahuan telah relatif tidak ada dalam dokumen resmi Kurikulum dan debat publik. Analisis wacana kami tentang temuan menyimpulkan bahwa: pertama, kurikulum memprioritaskan etika perbedaan agama-budaya dan mengabaikan etika kewarganegaraan multikultural; kedua, kurangnya pendekatan integratif dalam kurikulum mencerminkan relatif tidak adanya kerangka kebijakan komprehensif dalam debat publik yang membuat kebijakan pendidikan ini terus diperebutkan dan direvisi dari waktu ke waktu; dan ketiga, kurikulum ternyata menjadi tempat berkembang biaknya intoleransi. Kami berpendapat bahwa kurikulum gagal memenuhi tantangan dan tuntutan kami untuk pembentukan kewarganegaraan demokratis yang mampu hidup bersama di Indonesia multikultural.