Budiyana, Hardi
Unknown Affiliation

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Strategi Pendidikan Kristen bagi Anak Berkebutuhan Khusus Slow Learner Cahyono, Benaya Dwi; Budiyana, Hardi
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol 6, No 1 (2023): September 2023
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v6i1.429

Abstract

Anak berkebutuhan khusus   adalah  individu  yang mempunyai   gangguan perkembangan dan kelainan yang dialami anak dan karakteristik yang berbeda dari individu lainnya. Sehingga dalam menangani Anak berkebutuhan khusus    tidak boleh disamakan dengan anak normal pada umumnya oleh karenanya dalam pembelajarannya harus dengan penanganan yang khusus dan terarah, hal ini bertujuan untuk tercapainya proses pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan Anak berkebutuhan khusus. Slow Learner sering digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan kognitif di bawah rata-rata atau lamban belajar. Anak slow learner memiliki prestasi belajar di bawah rata-rata dari anak normal pada umumnya. Oleh karenanya dalam pembelajaran harus dengan metode yang khusus dan mudah dipahami karena setiap strategi pembelajaran terhadap anak berkebutuhan khusus berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam kajian ini adalah metode penelitian memakai metode deskriptif kualitatif. Kajian ini memperoleh data melalui studi pustaka, data empiris dan menelusuri karya ilmiah para peneliti sebelumnya yang telah dipublikasikan terkait tema kajian serta pengamatan dan wawancara di sekolah yang menangani anak slow leaner.
Penggembalaan Berdasarkan Yohanes 10:1-18 Serta Implikasinya Bagi Jemaat Masa Kini Suleman, Richard; Budiyana, Hardi
Veritas Lux Mea (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen) Vol 6, No 1 (2024): Teologi dan Pendidikan Agama Kristen (Februari 2024)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Kanaan Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59177/veritas.v6i1.275

Abstract

Pastoral care plays an important role in the life of the church and congregation. Shepherding is part of Practical Theology and if its implementation is carried out in accordance with the Bible, it will produce congregations that have a good standard level of faith, so that with this good level of faith the congregation can have the ability to recover themselves when problems and struggles come. Using a descriptive qualitative method with a literature study approach, it can be concluded that congregants who have been shepherded and taught based on Jesus' teaching about the Good Shepherd will have faith and loyalty to their local church as a place to start discipleship, so that the congregation grows in their local church. So the true task of a shepherd is to be a teacher for his congregation. Teaching can be done by giving a living example or through biblical guidance that can grow the believing faith of the congregation, so that they can stand firm on their belief until the end, and they are found to remain faithful in Christ.AbstrakPastoral atau penggembalaan berperan penting di dalam kehidupan bergereja maupun berjemaat. Penggembalaan termasuk di dalam bagian dari Teologi Praktika dan jika pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan Alkitab, maka akan menghasilkan jemaat yang memiliki standart level iman yang baik, sehingga dengan level iman yang baik ini warga jemaat dapat memiliki kemampuan pemulihan diri pada saat masalah dan pergumulan datang. Mengunakan metode kualitatif deskritif dengan pendekatan studi literature maka dapat disimpulkan bahwa warga jemaat yang telah digembalakan dan diajar berdasarkan pengajaran Yesus tentang Gembala yang Baik akan memiliki iman dan kesetiaan terhadap gereja lokalnya sebagai wadah dalam awal dimulaianya pemuridan, sehingga warga jemaat tersebut semaking bertumbuh di gereja lokalnya. Maka sejatinya tugas seorang gembala adalah menjadi pengajar bagi warga jemaatnya. Mengajar dapat dilakukan dengan memberikan teladan hidup maupun melalui bimbingan Alkitabiah yang dapat menumbuhkan iman percaya warga jemaat, sehingga mereka dapat berdiri teguh di atas kepercayaan mereka sampai akhir, dan mereka didapati tetap beriman di dalam Kristus.
PHUBBING DALAM PERSPEKTIF ETIS TOLOGIS: KAJIAN MEREDUKSI ANTI SOSIAL DALAM MASYARAKAT Budiyana, Hardi; Arifianto, Yonatan Alex; Purdaryanto, Samuel
Manna Rafflesia Vol. 10 No. 2 (2024): April
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Arastamar Bengkulu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38091/man_raf.v10i2.405

Abstract

Kecanggihan teknologi dan informasi yang kian masif hadir untuk memanjakan dan membantu manusia melakukan tugasnya dengan mudah, namun ketergantungan atau kecanduan akan gadget memicu timbulnya karakter baru dalam masyarakat. Salah satu karakter baru yang muncul di era teknologi ini yaitu phubbing. Tujuan penulisan Artikel ini, agar umat Tuhan dapat memahami pentingnya sikap menghargai dalam komunikasi. Dan prilaku tersebut dapat merusak hubungan. Menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi literatur dan wawancara maka dapat disimpulkan bahwa kekristenan harus mengetahui hakikat dan definisi phubbing dan dampaknya, dimana Phubbing merupakan perilaku kurang peduli dianggap sebagai perilaku anti-sosial yang dapat merusak hubungan sosial dan kesehatan mental. Maka orang Kristen dapat menggunakan prinsip-prinsip Alkitab untuk membimbing perilaku dan interaksi dengan orang lain, termasuk penggunaan teknologi dan memberikan pengajaran pendidikan Kristen terkait menghormati dan menempatkan skala prioritas dalam peribadatan. Phubbing dan anti sosial dalam perspektif etis teologis dapat dianggap sebagai perilaku yang mereduksi anti-sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu, menghindari phubbing dapat membantu meningkatkan kualitas hubungan sosial dan mengurangi dampak negatif dari kebiasaan ini pada kesehatan mental. Maka aktualisasi dari peran gereja dalam mereduksi anti sosial dapat dilakukan dengan berbagai cara untuk menghindari sikap dan prilaku phubbing.
Rekontekstualisasi Pendidikan Nilai Teologi di Era Post-Truth Berdasarkan Roma 1:18-32 Tuminah, Sri; Budiyana, Hardi; Sukarno, Mahattama Banteng
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol. 7 No. 1 (2024): September 2024
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v7i1.831

Abstract

Immoral and criminal acts by social actors in religious and cultural communities are a barometer of the low quality of theological values education. These social facts are gaining more and more space in the post-truth era. This confirms that there is a problem in Theological Education of Values that needs to be critiqued again in order to achieve maximum results. Therefore, the researcher developed a research question, namely, how to recontextualise theological values education in the post-truth era. The question is based on the research gap and is also the main basis for the novelty of this research. By developing Teun Adrianus van Dijk's critical discourse analysis perspective on Romans 1:18-32, the researcher found that the passage highlights Christian values education and provides four recommendations to address the problems and challenges that arise in the post-truth era, including: first, developing a critical and constructive attitude towards narrative; second, developing a comprehensive understanding of identity and its representation; third, promoting and implementing interfaith dialogue and tolerance; and fourth, using the media wisely. These four things are important to be implemented by theological values education activists to respond to any negative phenomenon in the present and transform it into positive and constructive based on God's truths. Tindakan-tindakan amoral dan kriminal dari aktor-aktor sosial dalam masyarakat agama dan budaya menjadi barometer atas rendahnya kualitas Pendidikan Nilai Teologis. Fakta sosial tersebut semakin mendapatkan ruang di era post-truth. Hal ini menegaskan, bahwa ada masalah dalam Pendidikan Nilai Teologi yang selama ini telah berlangsung perlu dikritisi kembali guna mendapatkan hasil maksimal. Karena itu, peneliti mengembangkan satu pertanyaan penelitian, yaitu bagaimana rekontekstualisasi Pendidikan nilai Teologi di Era Post-truth? Pertanyaan tersebut didasarkan atas celah penelitian dan sekaligus menjadi pijakan utama kebaruan penelitian ini. Dengan mengembangkan perspektif Analisa Wacana Kritis dari Teun Adrianus van Dijk atas Roma 1:18-32, peneliti menemukan bahwa perikop tersebut menekankan Pendidian Nilai Kristiani dan memberikan empat rekomendasi untuk menyikapi permasalahan dan tantangan yang muncul di era post-truth antara lain: pertama, mengembangkan sikap kritis dan konstruktif terhadap narasi; kedua, mengembangkan pemahaman komprehensif tentang identitas serta representasinya; ketiga, mempromosikan dan melaksanakan dialog lintas iman dan toleransi; dan keempat, mempergunakan media dengan bijaksana. Keempat hal tersebut menjadi penting dilaksanakan oleh penggiat Pendidikan Nilai Teologis guna  menyikapi setiap fenomena negatif dalam kekinian dan mengubahnya menjadi positif serta konstruktif berdasarkan kebenaran-kebenaran Allah.
Rekontekstualisasi Pendidikan Nilai Teologi di Era Post-Truth Berdasarkan Roma 1:18-32 Tuminah, Sri; Budiyana, Hardi; Sukarno, Mahattama Banteng
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol. 7 No. 1 (2024): September 2024
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v7i1.831

Abstract

Immoral and criminal acts by social actors in religious and cultural communities are a barometer of the low quality of theological values education. These social facts are gaining more and more space in the post-truth era. This confirms that there is a problem in Theological Education of Values that needs to be critiqued again in order to achieve maximum results. Therefore, the researcher developed a research question, namely, how to recontextualise theological values education in the post-truth era. The question is based on the research gap and is also the main basis for the novelty of this research. By developing Teun Adrianus van Dijk's critical discourse analysis perspective on Romans 1:18-32, the researcher found that the passage highlights Christian values education and provides four recommendations to address the problems and challenges that arise in the post-truth era, including: first, developing a critical and constructive attitude towards narrative; second, developing a comprehensive understanding of identity and its representation; third, promoting and implementing interfaith dialogue and tolerance; and fourth, using the media wisely. These four things are important to be implemented by theological values education activists to respond to any negative phenomenon in the present and transform it into positive and constructive based on God's truths. Tindakan-tindakan amoral dan kriminal dari aktor-aktor sosial dalam masyarakat agama dan budaya menjadi barometer atas rendahnya kualitas Pendidikan Nilai Teologis. Fakta sosial tersebut semakin mendapatkan ruang di era post-truth. Hal ini menegaskan, bahwa ada masalah dalam Pendidikan Nilai Teologi yang selama ini telah berlangsung perlu dikritisi kembali guna mendapatkan hasil maksimal. Karena itu, peneliti mengembangkan satu pertanyaan penelitian, yaitu bagaimana rekontekstualisasi Pendidikan nilai Teologi di Era Post-truth? Pertanyaan tersebut didasarkan atas celah penelitian dan sekaligus menjadi pijakan utama kebaruan penelitian ini. Dengan mengembangkan perspektif Analisa Wacana Kritis dari Teun Adrianus van Dijk atas Roma 1:18-32, peneliti menemukan bahwa perikop tersebut menekankan Pendidian Nilai Kristiani dan memberikan empat rekomendasi untuk menyikapi permasalahan dan tantangan yang muncul di era post-truth antara lain: pertama, mengembangkan sikap kritis dan konstruktif terhadap narasi; kedua, mengembangkan pemahaman komprehensif tentang identitas serta representasinya; ketiga, mempromosikan dan melaksanakan dialog lintas iman dan toleransi; dan keempat, mempergunakan media dengan bijaksana. Keempat hal tersebut menjadi penting dilaksanakan oleh penggiat Pendidikan Nilai Teologis guna  menyikapi setiap fenomena negatif dalam kekinian dan mengubahnya menjadi positif serta konstruktif berdasarkan kebenaran-kebenaran Allah.
Rekontekstualisasi Pendidikan Nilai Teologi di Era Post-Truth Berdasarkan Roma 1:18-32 Tuminah, Sri; Budiyana, Hardi; Sukarno, Mahattama Banteng
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol. 7 No. 1 (2024): September 2024
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v7i1.831

Abstract

Immoral and criminal acts by social actors in religious and cultural communities are a barometer of the low quality of theological values education. These social facts are gaining more and more space in the post-truth era. This confirms that there is a problem in Theological Education of Values that needs to be critiqued again in order to achieve maximum results. Therefore, the researcher developed a research question, namely, how to recontextualise theological values education in the post-truth era. The question is based on the research gap and is also the main basis for the novelty of this research. By developing Teun Adrianus van Dijk's critical discourse analysis perspective on Romans 1:18-32, the researcher found that the passage highlights Christian values education and provides four recommendations to address the problems and challenges that arise in the post-truth era, including: first, developing a critical and constructive attitude towards narrative; second, developing a comprehensive understanding of identity and its representation; third, promoting and implementing interfaith dialogue and tolerance; and fourth, using the media wisely. These four things are important to be implemented by theological values education activists to respond to any negative phenomenon in the present and transform it into positive and constructive based on God's truths. Tindakan-tindakan amoral dan kriminal dari aktor-aktor sosial dalam masyarakat agama dan budaya menjadi barometer atas rendahnya kualitas Pendidikan Nilai Teologis. Fakta sosial tersebut semakin mendapatkan ruang di era post-truth. Hal ini menegaskan, bahwa ada masalah dalam Pendidikan Nilai Teologi yang selama ini telah berlangsung perlu dikritisi kembali guna mendapatkan hasil maksimal. Karena itu, peneliti mengembangkan satu pertanyaan penelitian, yaitu bagaimana rekontekstualisasi Pendidikan nilai Teologi di Era Post-truth? Pertanyaan tersebut didasarkan atas celah penelitian dan sekaligus menjadi pijakan utama kebaruan penelitian ini. Dengan mengembangkan perspektif Analisa Wacana Kritis dari Teun Adrianus van Dijk atas Roma 1:18-32, peneliti menemukan bahwa perikop tersebut menekankan Pendidian Nilai Kristiani dan memberikan empat rekomendasi untuk menyikapi permasalahan dan tantangan yang muncul di era post-truth antara lain: pertama, mengembangkan sikap kritis dan konstruktif terhadap narasi; kedua, mengembangkan pemahaman komprehensif tentang identitas serta representasinya; ketiga, mempromosikan dan melaksanakan dialog lintas iman dan toleransi; dan keempat, mempergunakan media dengan bijaksana. Keempat hal tersebut menjadi penting dilaksanakan oleh penggiat Pendidikan Nilai Teologis guna  menyikapi setiap fenomena negatif dalam kekinian dan mengubahnya menjadi positif serta konstruktif berdasarkan kebenaran-kebenaran Allah.
Rekontekstualisasi Pendidikan Nilai Teologi di Era Post-Truth Berdasarkan Roma 1:18-32 Tuminah, Sri; Budiyana, Hardi; Sukarno, Mahattama Banteng
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol. 7 No. 1 (2024): September 2024
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v7i1.831

Abstract

Immoral and criminal acts by social actors in religious and cultural communities are a barometer of the low quality of theological values education. These social facts are gaining more and more space in the post-truth era. This confirms that there is a problem in Theological Education of Values that needs to be critiqued again in order to achieve maximum results. Therefore, the researcher developed a research question, namely, how to recontextualise theological values education in the post-truth era. The question is based on the research gap and is also the main basis for the novelty of this research. By developing Teun Adrianus van Dijk's critical discourse analysis perspective on Romans 1:18-32, the researcher found that the passage highlights Christian values education and provides four recommendations to address the problems and challenges that arise in the post-truth era, including: first, developing a critical and constructive attitude towards narrative; second, developing a comprehensive understanding of identity and its representation; third, promoting and implementing interfaith dialogue and tolerance; and fourth, using the media wisely. These four things are important to be implemented by theological values education activists to respond to any negative phenomenon in the present and transform it into positive and constructive based on God's truths. Tindakan-tindakan amoral dan kriminal dari aktor-aktor sosial dalam masyarakat agama dan budaya menjadi barometer atas rendahnya kualitas Pendidikan Nilai Teologis. Fakta sosial tersebut semakin mendapatkan ruang di era post-truth. Hal ini menegaskan, bahwa ada masalah dalam Pendidikan Nilai Teologi yang selama ini telah berlangsung perlu dikritisi kembali guna mendapatkan hasil maksimal. Karena itu, peneliti mengembangkan satu pertanyaan penelitian, yaitu bagaimana rekontekstualisasi Pendidikan nilai Teologi di Era Post-truth? Pertanyaan tersebut didasarkan atas celah penelitian dan sekaligus menjadi pijakan utama kebaruan penelitian ini. Dengan mengembangkan perspektif Analisa Wacana Kritis dari Teun Adrianus van Dijk atas Roma 1:18-32, peneliti menemukan bahwa perikop tersebut menekankan Pendidian Nilai Kristiani dan memberikan empat rekomendasi untuk menyikapi permasalahan dan tantangan yang muncul di era post-truth antara lain: pertama, mengembangkan sikap kritis dan konstruktif terhadap narasi; kedua, mengembangkan pemahaman komprehensif tentang identitas serta representasinya; ketiga, mempromosikan dan melaksanakan dialog lintas iman dan toleransi; dan keempat, mempergunakan media dengan bijaksana. Keempat hal tersebut menjadi penting dilaksanakan oleh penggiat Pendidikan Nilai Teologis guna  menyikapi setiap fenomena negatif dalam kekinian dan mengubahnya menjadi positif serta konstruktif berdasarkan kebenaran-kebenaran Allah.
Model dan Strategi Pembelajaran Yesus berdasarkan Injil Sinoptik dan Implementasinya bagi Guru Pendidikan Agama Kristen Arifianto, Yonatan Alex; Budiyana, Hardi; Purwoto, Paulus
Harati: Jurnal Pendidikan Kristen Vol 1 No 1 (2021): HaratiJPK: April
Publisher : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Kristen IAKN Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54170/harati.v1i1.23

Abstract

The success of Christian religious education can be observed from the joint corporation between Christian religious education teachers and students and maximizing the teaching which is the goal. Therefore, the role of the teacher in building models and learning strategies for Jesus based on the synoptic Gospels can be applied in the learning process. Using a descriptive qualitative method with a literature study approach, it can be concluded that teachers and all church leaders are expected to be able to convey the value of the Jesus Learning model and strategy for the congregation and students. Because the learning carried out by Jesus in developing spiritual values ​​and can be implemented is what is expected to be maximized in the teaching carried out. Because this is based first on the importance of Christian education, for the congregation's spirituality and for students who continue to aim and focus on Jesus as an example in learning. So that it can bring the role of Christian religious education teachers in learning to explore in studies in the Synoptic Gospels to obtain a Jesus Learning model. Keberhasilan pendidikan agama Kristen dapat dicermati dari koorporasi bersama antara guru Pendidikan Agama Kristen dan peserta didik serta memaksimalkan pengajaran yang yang menjadi tujuan tersebut. Oleh karena itu peran guru dalam membangun model dan strategi pembelajaran Yesus berdasarkan Injil sinoptik dapat diterapkan dalam proses pembelajaran. Menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi pustaka maka didapatkan kesimpulan bahwa Guru dan seluruh pimpinan gereja sangat diharapkan dapat menyampaikan nilai dari model dan strategi pembelajaran Yesus bagi para jemaat maupun peserta didik. Sebab pembelajaran yang dilakukan oleh Yesus dalam mengembangkan nilai kerohanian serta dapat di implementasikan menjadi hal yang sangat diharapkan dapat dimaksimalkan dalam pengajaran yang dilakukan. Karena hal tersebut didasari pertama pentingnya pendidikan Kristen, bagi spiritual jemaat maupun peserta didik yang tetap mengarah dan berfokus kepada Yesus sebagai teladan dalam pembelajaran. Sehingga dapat membawa peran guru pendidikan agama Kristen dalam pembelajaran dapat mengeksplore dalam kajian dalam Injil sinoptik untuk didapatkan model Pembelajaran Yesus.