Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

KAJIAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MK NO. 138/PUU-VII/2009 Toloh, Pascal Wilmar Yehezkiel
LEX ADMINISTRATUM Vol 8, No 3 (2020): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan dan bagaimanakah dasar kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang dengan metode penelitian hokum normatif disimpulkan: 1. Berdasarkan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sejajar dengan Undang-Undang dikarenakan materi muatan dari kedua jenis Peraturan Perundang-undangan tersebut sama artinya undang-undang dan Perppu sama secara materiil. Tetapi secara formalitas pembentukan, Undang-Undang berbeda dengan Perppu  karena Perppu bentuknya adalah Peraturan Pemerintah. 2. Berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, telah memperluas kewenangan Mahkamah Konstitusi yaitu menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Dasar kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut yaitu melalui judicial interpretation dengan menekankan pada penafsiran sosiologis dan teleologis serta Mahkamah Konstitusi menafsirkan bahwa Perppu secara materiil memiliki muatan yang sama dengan Undang-Undang sehingga, Mahkamah Konstitusi hanya berwenang untuk menguji Perppu secara Materiil dan sebagai mekanisme preventif Mahkamah Konstitusi untuk menjaga produk legislasi kedepan agar tidak bertentangan dengan konstitusi.Kata kunci: mahkamah konstitusi; peraturan pemerintah pengganti undang-undang;
Formulasi Sistem Partisipasi Bermakna (Meaningful Participation) dalam Pembentukan Peraturan Daerah sebagai Penguatan Demokrasi Lokal Toloh, Pascal Wilmar Yehezkiel
Jurnal Legislasi Indonesia Vol 21, No 3 (2024): Jurnal Legislasi Indonesia - September 2024
Publisher : Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undang, Kementerian Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54629/jli.v21i3.1182

Abstract

AbstrakHakikat otonomi daerah adalah perwujudan demokrasi lokal melalui proses partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan kebijakan publik seperti pembentukan Peraturan Daerah. Dalam praktik proses pembentukan Perda seringkali minim partisipasi masyarakat disebabkan sistem partisipasi masyarakat yang tidak mendukung sehingga menimbulkan apatisme masyarakat untuk terlibat, maupun kemauan politik (political will) yang tidak berkenan untuk membangun mitra elemen masyarakat dan kaum intelektual. Hal ini karena watak pemerintahan yang tidak demokratis karena munculnya elite lokal. Penelitian ini akan membahas mengenai relasi otonomi daerah dan demokrasi serta formulasi konsep partisipasi bermakna dalam pembentukan perda untuk penguatan demokrasi lokal. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis normatif. Formulasi untuk mewujudkan partisipasi bermakna (meaningful participation) adalah membentuk peraturan daerah yang mengatur tata cara pertisipasi masyarakat sipil, masyarakat rentan dan perguruan tinggi lokal dalam setiap tahapan pembentukan peraturan daerah, selain itu diperlukan sistem birokrasi yang responsif serta didukung sistem media informasi elektronik yang menjangkau seluruh wilayah masyarakat, dan tidak kalah penting dari itu adalah political will pembentuk Perda yang mengedepankan prinsip kedaualatan rakyat.
Conflicts of interest and handling mechanisms in public finances management Toloh, Pascal Wilmar Yehezkiel
Integritas: Jurnal Antikorupsi Vol. 10 No. 1 (2024): INTEGRITAS: Jurnal Antikorupsi
Publisher : Komisi Pemberantasan Korupsi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32697/integritas.v10i1.1024

Abstract

The practice of mitigating conflicts of interest remains vulnerable in the management of public finances. This vulnerability is attributed to issues related to the integrity of state officials, the lack of comprehensive regulations, and the unstructured and systematic aspects of enforcing ethical standards and conflict of interest practices. The objective of this research is to conceptualize effective anti-conflict of interest regulation within Indonesia's legal system and to formulate strategies for addressing conflicts of interest practices in the management of public finances through institutional approaches and financial accountability systems. This research uses normative legal methods. The results indicate the following: first, regulations in Indonesia have not yet been able to accommodate efforts to prevent and enforce action against conflict of interest practices in the conduct of state affairs, especially in the management of public finances, due to overlapping rules and unclear sanction regulations; second, the enforcement of ethical standards concerning conflict of interest practices can be achieved through the establishment of a national ethics commission; third, there is a need to strengthen the audit system and implement internal improvements within the State Audit Agency (BPK). Externally, institutional consolidation in the sectors of financial examination and public financial accountability is required. This can be achieved through the creation of an integrated national financial examination center, serving as the coordinating hub for financial examinations and prevention of financial losses to the state. This would contribute to the development of strategic policies for the management of public finances, with the goal of being free from corrupt practices.
Urgensi Lembaga Negara Independen Penyelesaian Konflik Pertanahan dan Proses Penyelesaian yang Berbasis Teori Hukum Progresif Toloh, Pascal Wilmar Yehezkiel; Pangau, Vanda
Jurnal Pertanahan Vol 13 No 2 (2023): Jurnal Pertanahan
Publisher : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53686/jp.v13i2.215

Abstract

Eskalasi konflik agraria (pertanahan) selalu meningkat setiap tahun, penyebabnya ialah adanya ketimpangan penguasaan tanah dan realisasi reforma agraria yang belum maksimal, kemudian faktor penyelesaian konflik pertanahan yang belum didukung oleh kelembagaan yang dapat menyelesaikan kasus secara berkeadilan artikel ini bertujuan untuk mengetahui konsep penyelesaian konflik pertanahan yang berlandaskan teori hukum progresif dan desain lembaga negara independen penyelesaian konflik agraria yang berpegang pada prinsip musyawarah dan penghormatan hak masyarakat adat. Metode penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statue approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Hasil penelitian menunjukan Penyelesaian konflik oleh masyarakat adat yang berbasis pada mediasi sebagai alternatif penyelesaian konflik secara non litigasi, secara esensial merupakan bagian dari pendekatan hukum progresif. Penguatan mekanisme mediasi dalam penyelesaian konflik pertahanahan, harus disertai dengan penguatan eksistensi masyarakat hukum adat, sebab sebagaimana praktik mediasi atau perundingan di beberapa daerah Indonesia, peran lembaga adat sangat dominan karna dinilai dapat menggali rasa keadilan ditengah masyarakat yang berkonflik. Untuk menjamin efektifitas operasionaisasi penyelesaian konflik pertanahan maka diperlukan pembentukan lembaga yang independen secara institusional dan fungsional dengan penguatan kewenangan pada ranah pencegahan berupa pengawasan realisasi reforma agraria yang berorientas pada prinsip tanah untuk rakyat serta pemberantasan mafia tanah, dan kewenangan penyelesaian konflik melalui mekanisme mediasi yang berprinsip musyawarah dan penghormatan terhadap hak masyarakat hukum adat dengan mengakomodir unsur masyarakat adat sebagai mediator dalam proses penyelesaian konflik pertanahan. The escalation of agrarian (land) conflicts always increases every year, the cause is the inequality of land control and the realization of agrarian reform which has not been optimal, then the factor of resolving land conflicts which is not yet supported by institutions that can resolve cases fairly. This article aims to understand the concept of conflict resolution land based on progressive legal theory and the form of independent state agency for resolving agrarian conflicts that adhere to the principles of deliberation and respect for the rights of indigenous peoples. The research method used in this study is a normative legal study with a statutory approach, a conceptual approach and a comparative approach. The research results show that conflict resolution by indigenous communities based on mediation as an alternative to non-litigation conflict resolution is essentially part of a progressive legal approach. Strengthening mediation mechanisms in resolving defense conflicts must be accompanied by strengthening the existence of customary law communities, because as with the practice of mediation or negotiation in several regions of Indonesia, the role of traditional institutions is very dominant because they are considered to be able to explore a sense of justice among communities in conflict. To ensure the effectiveness of the operationalization of land conflict resolution, it is necessary to establish institutions that are institutionally independent and functional by strengthening authority in the realm of prevention in the form of monitoring the realization of agrarian reform that is oriented towards the principle of land for the people and eradicating the land mafia, and the authority to resolve conflicts through a mediation mechanism based on the principle of deliberation. and respect for the rights of customary law communities by accommodating elements of indigenous communities as mediators in the process of resolving land conflicts.