Sumatera Barat masih tergolong endemis filariasis dan terjadi peningkatan kasus baru pada tahun 2019 sebanyak 15 kasus. Provinsi Sumatera Barat menempati urutan ke-12 kasus filariasis tertinggi di Indonesia dan menduduki peringkat pertama angka prevalensi filariasis tertinggi di pulau Sumatera yaitu 3,3 per 100.000 penduduk. Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian filariasis serta mengelompokkan dan memetakan kejadian filariasis berdasarkan faktor risiko di Provinsi Sumatera Barat tahun 2018-2022. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan design studi ekologi. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh kasus filariasis yang tercatat di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat tahun 2018-2022. Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2022- Juli 2023. Pengolahan data menggunakan analisis univariat, bivariat, multivariat, dan spasial. Hasil penelitian menunjukkan distribusi kasus filariasis mengalami penurunan. Hasil analisis korelasi kasus filariasis dengan kepadatan penduduk (p=0,013, r = -0,253), ketinggian wilayah (p=0,000, r =-0,497), kepadatan hunian (p=0,889, r=0,014), tingkat sosial ekonomi (p=0,01, r= 0,326), dinding rumah (p=0,073, r=0,185), suhu (p=0,222, r=0,127) kelembaban (p=0,048, r= 0,203), dan curah hujan (p=0,032, r= 0,22). Faktor resiko paling dominan adalah tingkat sosial ekonomi. Kabupaten Mentawai merupakan wilayah yang sering masuk kluster beresiko berat. Simpulan hasil penelitian yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara kepadatan penduduk, ketinggian wilayah, sosial ekonomi, kelembaban dan curah hujan dengan kejadian filariasis, tidak terdapat hubungan antara kepadatan hunian, dinding rumah dan suhu dengan kerjadian filariasis.