Berdasarkan data UNICEF 2020, 41% pelajar berusia 15 tahun pernah mengalami perundungan setidaknya beberapa kali dalam satu bulan, Adanya Kasus Pembakaran Sekolah oleh Siswa SMP di Temanggung dipicu oleh bullying yang dialami oleh pelaku pembakaran. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendorong sekolah beserta Dinas Pendidikan untuk antisipasi maupun literasi penguatan anti-bullying, serta berharap kepolisian bisa professional dan menerapkan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Pemahaman literasi bullying pada Pendidikan dirasakan kurang memadai, dengan pemahaman bullying dari Coloroso, kita dapat menyoroti pengalaman orang-orang yang ditindas, menekankan dampak emosional dan psikologis serta mendorong para saksi perundungan untuk mengambil Tindakan/intervensi dalam menumbuhkan budaya empati dan inklusi. Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) juga mengkritisi tindakan yang dilakukan oleh kepolisian dengan meng-ekspos pelaku yang masih dibawah umur. Adanya Kekerasan Antar Pribadi di Institusi Sekolah yang seharusnya sebagai tempat untuk sarana pendidikan, tetapi tidak lepas dari praktek bullying/perundungan di sekolah. Perlu adanya sebuah literasi anti-bullying yang bisa diterapkan di dunia Pendidikan. Mengatasi perundungan perlu melibatkan pendekatan yang komprehensif, termasuk pendidikan tentang etika, empati, dan menghormati perbedaan, serta penerapan kebijakan sekolah yang tegas terhadap perundungan. Peran pemerintah memiliki kekuatan besar terhadap teknologi - teknologi baru yang telah masuk dan mempengaruhi pola berfikir anak - anak. Pemerintah dapat berdiskusi langsung oleh para pemegang teknologi media baru untuk menanamkan pertahanan proses terjadinya tindakan bullying didalam system yang dirancang yang biasa kita sebut teknologi AI