AbstrakKemajuan teknologi seharusnya menjanjikan kemudahan-kemudahan bagi manusia. Sehingga manusia mempunyai waktu yang banyak untuk mendapatkan kebebasannya. Namun kenyataan itu hanya terlahir dalam mimpi. Ketika teknologi secara terang-terangan mengawinkan kekuasaannya dengan sistem politik, secara sah telah melahirkan penindasan yang tak terkendalikan terhadap kebebasan manusia. Manusia digiring masuk dalam dunia ‘entah berantah’ yang terjauh dari dunia eksistensinya, dan seketika menegaskan dirinya sebagai ‘mayat-mayat’ hidup yang harus berkerumun dalam sebuah sistem penindasan. Pada posisi ini, Herbert Marcuse sebagai seorang pemikir yang mencoba membedah problem eksistensi manusia dalam sebuah analisis yang lebih mendalam, memulai pembongkaran sistem penindasan ini dengan beranjak dari dunia alam bawah sadar manusia yang telah terepresi. Marcuse menempatkan problem represi manusia dalam kacamata yang berbeda. Marcuse melihat bahwa represi pada batasnya, dibutuhkan dalam menyokong terbentuknya sebuah peradaban yang sehat. Namun, ketika represi dipergunakan sebagai sebuah situasi yang melebih-lebihkan represi (surplus respesi) demi suatu kepentingan kelompok, maka akan menimbulkan sebuah penindasan manusia. Kenyataan tersebut, telah melahirkan sebuah ketertarikan yang mendalam terhadap pemikiran Herbert Marcuse dan menggiring penulis untuk melacak kembali problem eksistensi manusia dalam peradaban modern yang telah melahirkan sebuah sistem penindasan. Dalam analisisnya yang membedah persoalan represi manusia dengan beranjak dari alam bawah sadar manusia, Marcuse menyimpulkan bahwa manusia mampu membebaskan dirinya hanya melalui perubahan yang mendalam terhadap sifat represi teknologi dan industri modern, sehingga sifat represifnya tidak lagi memperbudak manusia. Terlepas dari karakter utopis yang terlihat dalam pemikirannya, secara umum pemikirannya telah memberikan analisis yang tajam yang bisa dibaca ulang sebagai dasar kerangka yang lebih kokoh dalam usaha mewujudkan pergerakan peradaban yang lebih baik.