Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

PENGEMBANGAN BUKU AJAR SEJARAH SENI BERBASIS AUGMENTED REALITY UNTUK MAHASISWA PENDIDIKAN SENI DAN BUDAYA KEAGAMAAN Juliawan, I Nengah; Palguna, I Kadek Edi; Ardiyasa, Putu; Yasa, I Kadek Abdhi; Wahyuni, I Gusti Ayu Desy
Jurnal Ilmiah Pendidikan Citra Bakti Vol. 11 No. 4 (2024)
Publisher : STKIP Citra Bakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38048/jipcb.v11i4.4579

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan buku ajar berbasis Augmented Reality (AR) yang inovatif guna meningkatkan kualitas pembelajaran Sejarah Seni. Kebaruan penelitian ini terletak pada pengembangan buku ajar berbasis AR di Indonesia yang belum banyak diterapkan dalam konteks pembelajaran seni, khususnya di bidang seni dan budaya keagamaan. Metode yang digunakan adalah Research and Development (R&D) dengan model pengembangan 4-D, yaitu pendefinisian, perancangan, pengembangan, dan penyebaran. Buku ajar yang dihasilkan menyajikan materi tentang jejak kesenian Nusantara, khususnya seni Bali, dalam format interaktif yang mengintegrasikan elemen visual dan narasi audio, serta dilengkapi dengan barcode untuk akses AR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan AR secara signifikan meningkatkan minat dan pemahaman mahasiswa terhadap objek seni, serta menciptakan pengalaman belajar yang lebih menarik dan mendalam. Namun, penelitian ini juga mengidentifikasi tantangan dalam hal aksesibilitas teknologi, literasi digital di kalangan pengajar dan mahasiswa, serta infrastruktur pendidikan yang belum merata. Untuk mengatasi hal ini, penting diadakan pelatihan bagi pengajar agar mereka dapat memanfaatkan teknologi AR secara efektif. Implikasi praktis dari penelitian ini adalah memberikan wawasan baru dalam pendidikan seni berbasis teknologi, sekaligus memperkaya metode pembelajaran seni dengan cara yang mendukung pelestarian budaya lokal. Pengembangan buku ajar berbasis AR ini diharapkan tidak hanya memperkaya proses pembelajaran seni, tetapi juga menegaskan pentingnya integrasi teknologi dalam pendidikan untuk menghadapi tantangan abad ke-21.
PENGEMBANGAN BUKU AJAR SEJARAH SENI BERBASIS AUGMENTED REALITY UNTUK MAHASISWA PENDIDIKAN SENI DAN BUDAYA KEAGAMAAN Juliawan, I Nengah; Palguna, I Kadek Edi; Ardiyasa, Putu; Yasa, I Kadek Abdhi; Wahyuni, I Gusti Ayu Desy
Jurnal Ilmiah Pendidikan Citra Bakti Vol. 11 No. 4 (2024)
Publisher : STKIP Citra Bakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38048/jipcb.v11i4.4579

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan buku ajar berbasis Augmented Reality (AR) yang inovatif guna meningkatkan kualitas pembelajaran Sejarah Seni. Kebaruan penelitian ini terletak pada pengembangan buku ajar berbasis AR di Indonesia yang belum banyak diterapkan dalam konteks pembelajaran seni, khususnya di bidang seni dan budaya keagamaan. Metode yang digunakan adalah Research and Development (R&D) dengan model pengembangan 4-D, yaitu pendefinisian, perancangan, pengembangan, dan penyebaran. Buku ajar yang dihasilkan menyajikan materi tentang jejak kesenian Nusantara, khususnya seni Bali, dalam format interaktif yang mengintegrasikan elemen visual dan narasi audio, serta dilengkapi dengan barcode untuk akses AR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan AR secara signifikan meningkatkan minat dan pemahaman mahasiswa terhadap objek seni, serta menciptakan pengalaman belajar yang lebih menarik dan mendalam. Namun, penelitian ini juga mengidentifikasi tantangan dalam hal aksesibilitas teknologi, literasi digital di kalangan pengajar dan mahasiswa, serta infrastruktur pendidikan yang belum merata. Untuk mengatasi hal ini, penting diadakan pelatihan bagi pengajar agar mereka dapat memanfaatkan teknologi AR secara efektif. Implikasi praktis dari penelitian ini adalah memberikan wawasan baru dalam pendidikan seni berbasis teknologi, sekaligus memperkaya metode pembelajaran seni dengan cara yang mendukung pelestarian budaya lokal. Pengembangan buku ajar berbasis AR ini diharapkan tidak hanya memperkaya proses pembelajaran seni, tetapi juga menegaskan pentingnya integrasi teknologi dalam pendidikan untuk menghadapi tantangan abad ke-21.
Indigenous Knowledge Bali Aga dalam Gringsing Motif Lubeng: Ritus Sakral dan Pemertahanan Identitas di Tenganan Pegringsingan Juliawan, I Nengah
Kamaya: Jurnal Ilmu Agama Vol 8 No 4 (2025)
Publisher : Jayapangus Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37329/kamaya.v8i4.5013

Abstract

The phenomenon of the erosion of the younger generation's understanding of the indigenous knowledge of the Gringsing Lubeng motif among Tenganan Pegringsingan people is the central issue of this research, driven by globalization and the economic shift to tourism, which threatens the transmission of knowledge. This study aims to uncover how indigenous knowledge in the Lubeng motif functions as a tool for identity preservation and to analyze the Tenganan community's adaptation strategies in responding to the challenges of modernity. This study uses qualitative methods with an ethnographic approach to uncover the emic perspective through participant observation, in-depth interviews, and focus group discussions (FGDs). Data were analyzed using the Miles & Huberman model and Spradley's ethnographic analysis. The results show that the indigenous knowledge of Gringsing Lubeng is a living knowledge system manifested in three domains: the sacred materiality of Tridatu, double ikat technology as embodied knowledge, and the symbolism of the Lubeng motif as a wearable cosmogram. This motif maps the Bali Aga cosmology, where the Tapak Dara symbol represents the fundamental values ​​of Tri Hita Karana, and the scorpion serves as an apotropaic symbol (a deterrent to disaster). This knowledge serves as material agency in lifecycle and communal rituals. It is concluded that the indigenous knowledge of Gringsing Lubeng functions as a holistic identity defense system. The community's layered adaptation strategies, including upholding customary rules (awig-awig), everyday resistance through slow production, and a cultural firewall strategy by intelligently creating commercial products (Idup Anak), successfully protect the sacredness of core heritage amidst the pressures of commercialization.