Yustisia, Whinda
Faculty Of Psychology, Universitas Indonesia

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Extended Intergroup Contact and Outgroup Attitude of Students in Public and Religious Homogeneous Schools: Understanding the Mediating Role of Ingroup Norms, Outgroup Norms, and Intergroup Anxiety Yustisia, Whinda; Hudiyana, Joevarian; Muluk, Hamdi
Jurnal Psikologi Vol 48, No 1 (2021)
Publisher : Faculty of Psychology, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jpsi.42419

Abstract

Previous studies had shown the benefits of extended intergroup contact for outgroup attitude, mainly when direct intergroup contact is blocked. However, there have not studies that attempt to directly compare the role of extended contact in outgroup attitude across different contexts. The present study aimed to fill the gap by examining the relationship of extended intergroup contact and outgroup attitude in three different contexts: public schools, moderate Islamic Boarding School, and fundamentalist Islamic Boarding School. These schools differ in the level of group heterogeneity. Possible mechanisms that could explain the relationship were also examined: ingroup norms, outgroup norms, and intergroup anxiety. Two correlational studies were conducted to test the hypotheses—study 1 employed 126 Muslim public high school students employed as participants, study 2 employed 112 participants from a more fundamentalist Islamic Boarding School and 230 participants from a more moderate Islamic Boarding Schools. Across studies, we found evidence that extended intergroup contact indirectly predicted outgroup attitude. However, different social contexts involve different mechanisms. This difference is attributed to direct intergroup contact.
Pengaruh empati emosional terhadap perilaku prososial yang dimoderasi oleh jenis kelamin pada mahasiswa Azmi Nisrina Umayah; Amarina Ariyanto; Whinda Yustisia
Jurnal Psikologi Sosial Vol 15 No 2 (2017): August
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan Ikatan Psikologi Sosial-HIMPSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (171.62 KB) | DOI: 10.7454/jps.2017.7

Abstract

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh empati emosional terhadap perilaku prososial yang dimoderasi oleh jenis kelamin pada mahasiswa. Empati emosional diartikan sebagai dorongan secara otomatis dan tanpa disadari untuk merespon keadaan emosi orang lain dan perilaku prososial diartikan sebagai tindakan yang dilakukan individu untuk membantu orang lain. Empati secara emosional diinduksi dengan cara memberikan sebuah video yang dapat membuat empati seseorang menjadi meningkat atau bahkan netral. Instrumen yang digunakan untuk mengukur empati emosional dengan menggunakan Positive Affect and Negative Affect Scale (PANAS) yang dikembangkan oleh Watson, Clark, & Tellegen (1988). Pengukuran perilaku prososial dilakukan dengan cara melihat dari jumlah donasi yang diberikan oleh partisipan. Responden penelitian ini merupakan 126 mahasiswa aktif S1 Universitas Indonesia yang terbagi atas laki-laki dan perempuan, dengan kriteria usia 18-25 tahun. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen laboratorium dengan menggunakan desain faktorial 2 (empati: netral vs empati) X 2 (jenis kelamin: laki-laki vs perempuan) between subject design. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang cukup signifikan antara empati emosional terhadap perilaku prososial, namun pengaruh jenis kelamin sebagai moderator terhadap perilaku prososial tidak memiliki efek yang signifikan, namun pada penelitian ini ditemukan variabel lain yang dapat mempengaruhi perilaku prososial pada individu.
“Aku mau bantu karena aku merasa dekat”: Peran identity fusion sebagai moderator dalam pengaruh jarak sosial terhadap perilaku berdonasi kepada lembaga amal Giovanno Rachmat; Amarina Ariyanto; Whinda Yustisia
Jurnal Psikologi Sosial Vol 16 No 1 (2018): February
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan Ikatan Psikologi Sosial-HIMPSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (233.758 KB) | DOI: 10.7454/jps.2018.1

Abstract

Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa jarak sosial memiliki peranan penting dalam menjelaskan perilaku donasi. Hal ini didasari pada ide bahwa seseorang akan lebih mau berdonasi pada orang dengan keanggotaan kelompok yang sama. Namun kenyataannya, individu memiliki tingkat kedekatan dengan kategorisasi sosial tertentu. Bisa saja, secara objektif individu memiliki latar belakang keanggotaan kelompok yang sama dengan target donasi. Namun, secara subjektif individu merasa identitas personalnya tidak terlalu dekat dengan kategorisasi sosial tersebut sehingga individu tidak terlalu merasa dekat dengan target donasi dan pada gilirannya tidak meningkatkan kecenderungan donasi. Penelitian ini berupaya memahami lebih jauh pengaruh kedekatan sosial dengan perilaku donasi dengan mempertimbangkan peran identity fusion sebagai moderator. Penelitian eksperimendilakukan pada 110 mahasiswa dengan kriteria mahasiswa aktif S1 Universitas Indonesia dan beragama Islam (M=19,87, SD=1,10). Penelitian ini menggunakan 2 (Jarak sosial: besar vs. kecil) x 2 (identity fusion: kuat vs. lemah) between subject design.Hasil analisis menunjukkan bahwa 15,30% varians perilaku berdonasi dapat dijelaskan oleh jarak sosial, F(5,104)= 3.756, p= 0,04), meski jarak sosial tidak memiliki significant unique effect terhadap perilaku berdonasi. Namun, terdapat pengaruh interaksi yang signifikan antara jarak sosial dan identity fusion (b= 0,456, SE= 0,187, 95% CI [0,086, 0,826], t= 2,443, p= 0,016). Secara spesifik, jarak sosial mempengaruhi perilaku berdonasi secara signifikan ketika tingkat identity fusion rendah (b= -0,704, SE= 0,268, 95% CI [-1,235, -0,173], t= -2,631, p= 0,010) tetapi tidak ketika tingkat identity fusion tinggi.
Karena faktor agama atau gaya berpikir? Peran fundamentalisme agama dan need for closure dalam memprediksi toleransi politik Adeline Dinda Caesara; Whinda Yustisia
Jurnal Psikologi Sosial Vol 19 No 3 (2021): August
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan Ikatan Psikologi Sosial-HIMPSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.7454/jps.2021.20

Abstract

Beberapa penelitian terdahulu telah menemukan bahwa adanya hubungan yang signifikan dan positif yang kuat antara fundamentalisme agama dan toleransi politik. Meskipun demikian, ada juga penelitian yang menunjukan bahwa hubungan fundamentalisme agama dengan toleransi politik tidak terlalu kuat karena perbedaan individual. Penelitian ini berupaya untuk menguji kembali hubungan antara fundamentalisme agama dan toleransi politik di konteks Indonesia serta melihat efek moderasi need for closure terhadap hubungan dua variabel tersebut. Fundamentalisme agama diprediksi memiliki hubungan negatif dan signifikan dengan toleransi politik di mana need for closure dapat memperkuat hubungan keduanya. Untuk menguji hipotesis tersebut, penelitian korelasional dilakukan dengan merekrut 211 responden yang beragama Islam dan dijaring secara daring. Sebanyak 64,9% partisipan adalah perempuan. Rata-rata usia responden adalah 27,52 tahun (SD=11,309). Hasil penelitian menunjukkan bahwa fundamentalisme agama berkorelasi negatif dan signifikan dengan toleransi politik. Need for closure memiliki kontribusi sebagai moderator terhadap hubungan fundamentalisme agama dan toleransi politik, khususnya ketika need for closure tinggi. Namun, tidak ditemukan peranan individual need for closure yang signifikan dalam menjelaskan toleransi politik. Temuan ini menunjukkan pentingnya peran faktor kognitif dalam melemahkan peranan negatif fundamentalisme agama terhadap toleransi politik.
Group Norms as Moderator in The Effect of Cross Group Friendship on Outgroup Attitude: A Study on Interreligious Group in Indonesia Yustisia, Whinda
Makara Human Behavior Studies in Asia Vol. 20, No. 1
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Past studies indicate that the effect of intergroup contact on outgroup attitude is not isolated to contextual factors. One of the contextual factors that has begun to be studied is group norm. However, group norm in these studies is still merely conceptualized as the perception of how ingroup members evaluate outgroup members. In fact, according to norm focus theory, in a given context, individuals are influenced, at least, by two types of group norms, namely injunctive norms (i.e., what most people morally accept to do) and descriptive norms (i.e., what most people do). To fill the gap, present studies attempt to answer the question of how two types of group norms might have different effects on the relationship of intergroup contact and outgroup attitude. Built on past studies, it was hypothesized that both quality (H1) and quantity (H2) of cross-group friendship would positively affect outgroup attitude. Further, built on the fact that the nature of attitude in present studies is more utilitarian than hedonic, it was predicted that injunctive norms would be more likely to function as moderator in the effect of cross-group friendship on outgroup attitude, either in dimensions of quality (H3) or quantity (H4). 110 Muslim students were recruited as participants and asked to fill in a self-report questionnaire regarding their interactions with Christians. The findings partly support the hypotheses.
Extended Intergroup Contact and Outgroup Attitude of Students in Public and Religious Homogeneous Schools: Understanding the Mediating Role of Ingroup Norms, Outgroup Norms, and Intergroup Anxiety Whinda Yustisia; Joevarian Hudiyana; Hamdi Muluk
Jurnal Psikologi Vol 48, No 1 (2021)
Publisher : Faculty of Psychology, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (779.649 KB) | DOI: 10.22146/jpsi.42419

Abstract

Previous studies had shown the benefits of extended intergroup contact for outgroup attitude, mainly when direct intergroup contact is blocked. However, there have not studies that attempt to directly compare the role of extended contact in outgroup attitude across different contexts. The present study aimed to fill the gap by examining the relationship of extended intergroup contact and outgroup attitude in three different contexts: public schools, moderate Islamic Boarding School, and fundamentalist Islamic Boarding School. These schools differ in the level of group heterogeneity. Possible mechanisms that could explain the relationship were also examined: ingroup norms, outgroup norms, and intergroup anxiety. Two correlational studies were conducted to test the hypotheses—study 1 employed 126 Muslim public high school students employed as participants, study 2 employed 112 participants from a more fundamentalist Islamic Boarding School and 230 participants from a more moderate Islamic Boarding Schools. Across studies, we found evidence that extended intergroup contact indirectly predicted outgroup attitude. However, different social contexts involve different mechanisms. This difference is attributed to direct intergroup contact.
Catatan Managing Editor Memandang diri lewat pandangan orang lain: Catatan editorial tentang meta-prasangka Yustisia, Whinda
Jurnal Psikologi Sosial Vol 23 No 2 (2025): Agustus
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan Ikatan Psikologi Sosial-HIMPSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.7454/jps.2025.10

Abstract

Pada bulan Oktober 2023, ketika saya masih tinggal di Chicago, Amerika Serikat, Idhamsyah Eka Putra, salah seorang peneliti psikologi sosialterkemuka menghubungi saya dengan pesan teks yang cukup panjang. Walaupun pesan ini dikirimkan melalui pesan singkat, tapi isinya lengkap seperti proposal; terdiri dari pendahuluan, urgensi, dan rencana ke depan. Ia mengawalinya dengan menceritakan bahwa konsep meta-prasangka yang ia perkenalkan pertama kali tahun 2014 akan berusia 10 tahun. Untuk memperkuat keberadaan konsep ini, ia menawarkan Jurnal Psikologi Sosial membuat Edisi Khusus (Special Issue) tentang metaprasangka dan meminta saya sebagai salah satu tim editor. Tanpa berpikir panjang saya mengiyakan penawaran ini. Walaupun banyak peneliti psikologi sosial di Indonesia telah mempublikasikan artikel ilmiah belakangan ini, peneliti yang dengan serius memformulasikan, menguji, dan mempublikasikan ide konseptual baru dalam jurnal-jurnal internasional sangatlangka. Saya merasa usulan ini perlu disambut dengan baik dan didukung.