Hakim MK (Mahkamah Konstitusi) bersifat independen dan merdeka tanpa adanya pengaruh dan intervensi intern maupun ekstern dalam melakukan wewenangnya termasuk pada proses menguji Undang-Undang (judicial review). Salah seorang hakim MK di Indonesia bernama Aswanto mengalami pemberhentian dari jabatannya secara sepihak oleh lembaga yang dulu mengajukannya kepada Mahkamah Konstitusi untuk menjadi Hakim MK yaitu DPR. Hal ini dikarenakan hakim Aswanto menganulir dan membatalkan produk hukum dari DPR, sehingga DPR merasa dikotomi dan dikhianati. Sedangkan Hakim MK berhak atas pembatalan produk hukum dari siapapun ketika dinilai tidak sesuai dan bertolak belakang dengan UUD 1945 dan putusannya yang demikian itu bersifat final dan binding. Artikel ini menggunakan metode kualitatif. Dalam hal ini kami menggunakan Undang-Undang No. 7 tahun 2020 tentang perubahan ketiga Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang MK dan Undang-Undang Tentang Hak Asasi Manusia sebagai bahan hukum primer dalam mengkaji dan menganalisis pada artikel ini. Hasil penelitian menunjukkan Pemberhentian dan pemakzulan Aswanto dianggap bertentangan dengan pasal 23 ayat 4 Undang-Undang No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan ketiga Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi menyangkut pemberhentian seorang Hakim MK, kemudian pada pasal yang sama ayat 1 dan 2 menyangkut alasan atau motif pemberhentian Hakim MK.