Belaskasih Allah sering dimengerti keliru terutama dalam hubungannya dengan keadilan-Nya. Kalau Allah tetap menghukum setiap kesalahan manusia, lalu di mana belaskasih-Nya? Pewahyuan nama Allah dalam Kel 34:57 mengungkapkan bahwa hakikat Allah adalah belaskasih sekaligus adil. Belaskasih Allah secara eksplisit nyata dalam ungkapan “penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya, yang meneguhkan kasih setia-Nya kepada beribu-ribu orang, yang mengampuni kesalahan, pelanggaran dan dosa.†Dalam belaskasih itu Allah serentak menyatakan diri-Nya sebagai yang “tidaklah sekali-kali membebaskan orang yang bersalah dari hukuman, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya dan cucunya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat.†Tindakan Allah yang tetap menghukum orang yang bersalah adalah perwujudan keadilan-Nya. Belaskasih Allah tidak meniadakan keadilan-Nya. Allah dikatakan adil kalau Ia mengganjar orang yang benar dan menghukum orang yang salah. Ganjaran Allah itu tercurah dalam berkat dan hukuman-Nya dalam kutuk/kemalangan. Namun bagi bangsa Israel, hukuman Allah sering kali bukan semata hukuman demi hukuman, melainkan hukuman itu bertujuan untuk mendidik, menegur dan menyucikan mereka. Dalam hal ini hukuman menjadi sarana karya penyelamatan Allah sehingga tak bertentangan dengan belaskasih-Nya. Oleh karena itu, belaskasih Allah jangan disalahgunakan untuk kompromi terhadap dosa dan melanggar etos Kristiani. Kita harus mengajarkan belaskasih Allah tanpa meniadakan keadilan-Nya, agar belaskasih Allah itu tidak ditafsirkan sebagai pembiaran dan kesempatan bagi manusia untuk berbuat apa saja. Belaskasih Allah harus dipandang sebagai undangan dan kesempatan bagi manusia untuk bertobat demi keselamatannya.