Claim Missing Document
Check
Articles

Dekalog dan Perjanjian yang Baru (Ul 5:6-21; Kel 20:1-17; Yer 31:31-34): The Decalogue and the New Covenant (Dt. 5:6-21; Ex. 20:1-17; Jr. 31:31-34) Stanislaus, Surip
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 18 No. 2 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (337.219 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v18i2.314

Abstract

The Decalogue is the ten commandments which are a covenant between God and His people. Written on two tablets of stone, this Decalogue is apodictive (unconditional command and prohibition). It expresses the love between God and His people and between members of the people. This article shows that in the Pentateuch there are two versions of the Decalogue (Ex. 20:1-17 and Deut. 5:6-21) with some differences between them. Deuteronomy 5:6-21 contains additions to Exodus 20:1-17. Ex. 20:1-17 was spoken by God himself to the Israelites at Mount Sinai; Deut. 5:6-21 by Moses in the plains of Moab when quoting Ex. 20:1-17. The commandment to keep the Sabbath day holy in Ex. 20:8-11 is motivated by God’s rest on the seventh day of creation; in Deut. 5:12-15 it is motivated by Israel’s liberation from slavery in the land of Egypt. Ex. 20:13-17 contains fi ve social commandments in no apparent order; Deut. 5:17-21 contains six social commandments inparallel arrangement. The Decalogue, as a law does not guarantee its implementation. And the Israelites repeatedly violated or disobeyed the law. Therefore, God Himself takes the initiative and intervenes toensure its implementation. After the destruction of the city of Jerusalem as an outward sign of the end of the Old Covenant, the prophet Jeremiah prophesied the New Covenant at the initiative of God to bewritten in the hearts, so that previously impossible loyalty would now become a reality (Jer. 31:31-34). Thus, the New Covenant is not different from the Sinai Covenant, but rather a renewal of YHWH’s faithfulnesswhich is rebuilt and deepened continuously so that it becomes a “covenant without end” (Lam. 3:22-23). Abstrak Dekalog adalah sepuluh fi rman yang merupakan pernjanjian antara Allah dengan umat-Nya, tertulis dalam dua loh batu. Dekalog yang bersifat apodiktif (perintah dan larangan tanpa syarat) mengungkapkankasih antara Allah dengan umat-Nya dan antarumat Allah. Artikel ini menunjukkan bahwa dalam Pentateukh terdapat dua versi Dekalog (Kel. 20:1-17 dan Ul. 5:6-21) dengan beberapa perbedaan. Ul. 5:6-21 memuat beberapa tambahan yang tidak terdapat dalam Kel. 20:1-17. Kel. 20:1-17 diucapkan sendiri oleh YHWH kepada bangsa Israel di gunung Sinai; Ul. 5:6-21 diucapkan oleh Musa di dataran Moab dengan mengutip isi Kel. 20:1-17. Perintah kuduskanlah hari Sabat dalam Kel. 20:8-11 bermotifkan istirahat Allah pada hari ketujuh saat penciptaan; dalam Ul. 5:12-15 bermotifkan pembebasan bangsa Israel dari perbudakan di tanah Mesir. Kel. 20:13-17 memuat lima perintah sosial tanpa urutan yang jelas; Ul. 5:17-21 memuat enam perintah sosial yang disusun paralel. Dekalog sebagai undang-undang tidak menjamin pelaksanaannya. Berulangkali bangsa Israel telah melanggar atau tidak setia pada penjanjian tersebut. Maka, Allah sendiri yang berinisiatif dan campur tangan demi terjaminnya pelaksanaan perjanjian-Nya. Sesudah penghancuran kota Yerusalem sebagai tanda lahiriah berakhirnya Perjanjian Lama, Nabi Yeremia menubuatkan Perjanjian Yang Baru atas prakarsa Allah yang akan ditulis dalam hati manusia, sehingga kesetiaan yang tadinya mustahil akan menjadi kenyataan (Yer. 31:31-34). Dengan demikian Perjanjian Yang Baru itu tidak berbeda dengan Perjanjian Sinai, tetapi lebih berupa pembaruan kesetiaan YHWH yang dibangun kembali dan diperdalam terus-menerus sehingga menjadi “perjanjian yang tak berkesudahan” (Rat. 3:22-23).
Digital Literacy and Wise Language Use in Online Spaces: A Qualitative Study of Online Communities in Indonesia Saputra, Dedi Gunawan; Stanislaus, Surip; Tu, Pham Anh; Husain, Desy Liliani; Setiawati, Rahmi
Journal International of Lingua and Technology Vol. 4 No. 1 (2025)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Hikmah Pariangan Batusangkar, West Sumatra, Indonesia.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55849/jiltech.v3i3.814

Abstract

The rapid growth of digital technologies has significantly transformed communication, particularly in online spaces where people engage in diverse forms of interaction. In Indonesia, online communities have become central to shaping public discourse and social norms. However, the increasing reliance on digital platforms raises concerns about digital literacy and the responsible use of language. This study explores the role of digital literacy and wise language use within online communities in Indonesia, focusing on how individuals navigate online interactions and the implications of their language practices. The aim of this research is to examine how members of online communities in Indonesia exhibit digital literacy and how they incorporate wise language use in their interactions. A qualitative research design, utilizing semi-structured interviews and content analysis of online communication, was employed to collect data from members of various online communities. The results revealed that while most participants demonstrated strong digital literacy skills, there was a notable variance in the application of wise language use. Some members employed respectful and thoughtful language, while others exhibited aggressive or harmful communication. In conclusion, this study highlights the importance of fostering both digital literacy and wise language use to improve the quality of online interactions. Recommendations for promoting these skills in online communities are discussed.
PERKAWINAN DALAM KITAB SUCI PERJANJIAN BARU Stanislaus, Surip
LOGOS Vol 15 No 2 (2018): Juni 2018
Publisher : UNIKA Santo Thomas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (415.916 KB) | DOI: 10.54367/logos.v15i2.320

Abstract

Kepada jemaat di Tesalonika Paulus menasihati agar umat Kristenmenghayati dan menghargai perkawinan dengan menjauhkan diri daripercabulan dan seks bebas (1Tes 4:3-8). Kepada jemaat di Korintus punia mengecam percabulan dan segala bentuk penyelewengan seksualkarena bertentangan dengan etika Kristen dan kekudusan perkawinan(1Kor 5-7). Dalam Surat-surat Pastoralnya ia juga melawan aliran sesatyang bertendensi anti perkawinan, emansipatif dan tidak menghargaianak-anak (1Tim 3:4; 5:14; Tit 2:4-5). Oleh karena itu, Paulus memberitata tertib dalam hidup berumah tangga yang mengatur hubungansuami-isteri dan orang tua-anak (Ef 5:22-6:4 bdk. 1Ptr 3:1-7). SedangkanYesus menegaskan bahwa hubungan suami-isteri yang telahdipersatukan oleh Allah itu tidak boleh diceraikan manusia (Mrk 10:2-12; Mat 19:3-12).
KRITIK SOSIAL : Nabi Israel-Yehuda Stanislaus, Surip
LOGOS Vol 15 No 1 (2018): Januari 2018
Publisher : UNIKA Santo Thomas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (325.029 KB) | DOI: 10.54367/logos.v15i1.335

Abstract

Kehidupan semi-nomaden di padang gurun membentuk bangsa Israel peka terhadap keadilan sosial. Kepedulian terhadap keadilan sosial itu berangsur-angsur luntur bersamaan dengan menetapnya bangsa itu di tanah Kanaan. Salah satu penyebabnya adalah kerakusan tuan-tuan tanah dan penyalahgunaan kuasa para penguasa yang mau meraup keuntungan pribadi. Akibatnya terjadi kekerasan dan penindasan terhadap orang-orang lemah, terbentang jurang antara orang kayamiskin dan ketidakadilan sosial. Kenyataan inilah yang mendorong para nabi Israel melontarkan kritik sosial bagi bangsanya. Berpedoman pada masyarakat perjanjian (Ul 12-26) Nabi Amos mencelapemanipulasian perkara pengadilan dengan uang suap untuk memeras orang miskin. Nabi Yesaya mengkritik para pemimpin Yerusalem dan penduduknya yang sudah menjadi sundal atau kehilangan keadilan dan kebenaran. Nabi Mikha mengecam para penguasa Yehuda yang membenci keadilan dan nabi-nabi palsunya yang menyesatkan. Nabi Zefanya mencela penduduk Yehuda yang berlaku tidak adil, para pemimpin dan hakim-hakim yang tidak membela rakyat dan para imam yang mencemarkan ibadat. Nabi Yeremia mengritik bahwa  kepercayaan kepada TUHAN yang tinggal bersama umat-Nya di Bait- Nya adalah sia-sia bila tidak dibarengi pertobatan dan tindak keadilan. Nabi Yehezkiel mengecam para pemimpin Yehuda yang memeras dan membiarkan rakyatnya tersesat serta menuduhkan kejahatan sosial dan keagamaan pada rakyatnya. Nabi Obaja mengutuk kejahatan bangsa Edom yang bertindak kejam dan merampas tanah dari sisa-sisa penduduk Yehuda buangan serta memperbudak mereka. Nabi Zakharia menuduh dan mengingatkan bahwa pertobatan tidak cukup dengan menyelesaikan pembangunan kembali Bait Allah saja, tetapi harus dibarengi dengan hidup dalam kebenaran, kebaikan dan keadilan. Nabi Yoel mengecam dan menubuatkan hukuman terhadap musuh-musuh Israel (Tirus, Sidon dan Filistin) atas kejahatan mereka yang merampas tanah dan perkakas Bait Allah serta memperjualbelikan bangsa Israel sebagai budak.
PERKAWINAN DALAM KITAB SUCI PERJANJIAN LAMA Stanislaus, Surip
LOGOS Vol 14 No 2 (2017): Juni 2017
Publisher : UNIKA Santo Thomas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (297.195 KB) | DOI: 10.54367/logos.v14i2.337

Abstract

Kej 1-3 secara tidak langsung berbicara tentang lembaga perkawinan yang mengatur seksualitas. Lembaga perkawinan itu dipandang sebagai kontrak sipil oleh bangsa Israel (Tob 7:13-14) dengan peran mas kawin (Kej 34:12), tahap-tahap perkawinan (Ul 22:23-27; Kej 24:66-67) dan sifatnya endogen poligam poligini (Ul 7:3-6; 22:28-29). Para nabi menganalogikan lembaga perkawinan itu sebagai hubungan antara Allah dengan umat-Nya, bangsa Israel (Am 3:2; Hos 1; 2; Yer 2:1-3; 3:6- 13; Yeh 16; 23; Yes 54:4-8; 62:4-5). Para bijak Israel meneruskan analogi hubungan Allah-Israel dengan suami-isteri lewat Buku Kidung Agung yang mengangkat kesetaraan derajat laki-laki-perempuan danmemandang positif seksualitas sebagai bagian dari cinta sejati yang  tidak dapat dibeli dan yang dibawa mati (Kid 1:13-17; 2:2,7,16; 7:10-11; 8:6-7). Cinta sejati laki-laki dan perempuan itu dijadikan analogi hubungan cinta Allah dengan umat pilihan-Nya (tafsir Yahudi) atau hubungan cinta Kristus dengan Gereja-Nya (tafsir Kristen). Buku Amsal dan Yesus bin Sirakh pun mengisahkan pujian yang mengangkat derajat seorang perempuan dan isteri (Ams 18:22; 19:14; Sir 26:15) serta madah pujian tentang keunggulan dan peran seorang isteri yang baik, berbudi, sopan dan cakap (Ams 31:10-31; Sir 26:1-3,13-18).
THE MYSTERY OF GOD IN EPH 1:3-14 (A Study of Paul’s Teaching on the Mystery) Stanislaus, Surip
LOGOS Vol 2 No 1 (2003): Januari 2003
Publisher : UNIKA Santo Thomas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (502.283 KB) | DOI: 10.54367/logos.v2i1.349

Abstract

Bagi Paulus, misteri erat kaitannya dengan rahasia karya penyelamatan Allah yang telah memilih dan mengangkat manusia menjadi putera-puteri-Nya. Rahasia kehendak Allah itu telah dinyatakan oleh dan dalam Kristus Yesus dengan wafat dan kebangkitan-Nya. Ef 1:3-14 melukiskan bahwa dalam Kristus, Allah telah memilih manusia sebelum dunia dijadikan; oleh Kristus, Allah telah mengangkat manusia menjadi anak-anak-Nya; sebab di dalam Kristus dan oleh darah-Nya, manusia beroleh penebusan, yakni pengampunan dosa. Semua itu terjadi sesuai dengan rencana yang dari semula telah ditetapkan Allah di dalam Kristus Yesus sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam-Nya segala sesuatu yang ada di surga dan di bumi. Di dalam Kristus Yesus itu pula kita yang percaya kepada-Nya dimeteraikan dengan Roh Kudus yang menjamin kita akan memperoleh penebusan dan menjadikan kita milik Allah.
MERAYAKAN Šabbāt, HARI SABAT, TAHUN SABAT & TAHUN YOBEL Inspirasi Biblis Peduli Ekologi Stanislaus, Surip
LOGOS Vol 16 No 1 (2019): Januari 2019
Publisher : UNIKA Santo Thomas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (627.256 KB) | DOI: 10.54367/logos.v16i1.563

Abstract

Ilmu pengetahuan dan teknologi di satu sisi telah memajukan perababan dan memberi kenyamanan hidup manusia. Di sisi lain keduanya telah menyulut dan memicu kerakusan manusia untuk mengeksploitasi alam dan melahirkan krisis ekologi. Masalah ekologis ini merupakan dampak negatif dari penggunaan ilmu dan teknologi yang tidak tepat guna. Merayakan Hari Sabat, Tahun Sabat dan Tahun Yobel sebagaimana telah dipraktekkan bangsa Israel dapat menjadi inspirasi bagi kita untuk peduli ekologi. Šabbāt Allah (Kej 2:1-3) yang menjadi mahkota dari karya penciptaan dalam Kej 1:1-2:4a dan perkembangan selanjutnya dalam Kel 20:8-11 bukan semata-mata untuk keperluan-Nya sendiri, tetapi sebagai model bagi manusia yang harus menahan diri dari kerjanya dan membatasi diri dari sepak terjang kehidupannya. Dengan merayakan šabbāt manusia bukan saja beristirahat dari kerja tetapi juga beristirahat untuk menikmati sukacita atas segala pemberian Allah dan beribadat kepada-Nya. Norma-norma tentang Hari Sabat, Tahun Sabat dan Tahun Yobel menyajikan pengistirahatan, pembebasan dan pemulihan dari tindakan-tindakan yang eksploitatif baik terhadap tanah, orang dan budak maupun binatang, sehingga orang yang merayakannya dapat terinspirasi untuk peduli ekologi
BELAS KASIH & KEADILAN ALLAH (Kel 34:5-7) Stanislaus, Surip; Saragih, Arie R. Oktavianus
LOGOS Vol 17 No 2 (2020): Juni 2020
Publisher : UNIKA Santo Thomas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (602.174 KB) | DOI: 10.54367/logos.v17i2.805

Abstract

Belaskasih Allah sering dimengerti keliru terutama dalam hubungannya dengan keadilan-Nya. Kalau Allah tetap menghukum setiap kesalahan manusia, lalu di mana belaskasih-Nya? Pewahyuan nama Allah dalam Kel 34:57  mengungkapkan bahwa hakikat Allah adalah belaskasih sekaligus adil. Belaskasih Allah secara eksplisit nyata dalam ungkapan “penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya, yang meneguhkan kasih setia-Nya kepada beribu-ribu orang, yang mengampuni kesalahan, pelanggaran dan dosa.” Dalam belaskasih itu Allah serentak menyatakan diri-Nya sebagai yang “tidaklah sekali-kali membebaskan orang yang bersalah dari hukuman, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya dan cucunya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat.” Tindakan Allah yang tetap menghukum orang yang bersalah adalah perwujudan keadilan-Nya. Belaskasih Allah tidak meniadakan keadilan-Nya. Allah dikatakan adil kalau Ia mengganjar orang yang benar dan menghukum orang yang salah. Ganjaran Allah itu tercurah dalam berkat dan hukuman-Nya dalam kutuk/kemalangan. Namun bagi bangsa Israel, hukuman Allah sering kali bukan semata hukuman demi hukuman, melainkan hukuman itu bertujuan untuk mendidik, menegur dan menyucikan mereka. Dalam hal ini hukuman menjadi sarana karya penyelamatan Allah sehingga tak bertentangan dengan belaskasih-Nya. Oleh karena itu, belaskasih Allah jangan disalahgunakan untuk kompromi terhadap dosa dan melanggar etos Kristiani. Kita harus mengajarkan belaskasih Allah tanpa meniadakan keadilan-Nya, agar belaskasih Allah itu tidak ditafsirkan sebagai pembiaran dan kesempatan bagi manusia untuk berbuat apa saja. Belaskasih Allah harus dipandang sebagai undangan dan kesempatan bagi manusia untuk bertobat demi keselamatannya.
PEDULI EKOLOGI ALA YESUS DAN PAULUS Stanislaus, Surip
LOGOS Vol 17 No 1 (2020): Januari 2020
Publisher : UNIKA Santo Thomas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54367/logos.v17i1.1036

Abstract

Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru sikap Yesus yang peduli ekologi dapat ditemukan dalam pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah. Visi-misi hidup Yesus adalah perjuangan demi terwujudnya Kerajaan Allah. Penginjil Yohanes menegaskan bahwa Yesus datang untuk melakukan kehendak Bapa-Nya yang sejak awal mula penciptaan alam semesta menghendaki keharmonian dan keutuhan hidup seluruh ciptaan-Nya, sehingga semuanya diciptakan baik adanya bahkan amat baik (Yoh 5:19,30; 8:26,28,38; Kej 1:10,12,18,21,25,31). Berkaitan dengan keutuhan ciptaan dan harmoni alam, Yesus mewartakan Kerajaan Allah itu lewat perumpamaan-perumpamaan alamiah. Setiap perumpamaan berkenaan dengan kehidupan manusia maupun alam ciptaan yang mengarah pada perbaikan dan pemulihan, keutuhan dan keselamatan. Sebagai contoh Penginjil Matius memaparkan tentang matahari dan hujan yang diperuntukkan bagi orang benar maupun jahat (Mat 5:45) sebagai gambaran kasih Allah yang tanpa pandang bulu dan terbuka untuk semua lapisan dengan bobot yang sama. Penginjil Markus pun menyajikan perumpamaan alamiah, seperti benih yang tumbuh (Mrk 4:26-29), biji sesawi (Mrk 4:30-34) dan pohon Ara (Mrk 13:24-32). Penginjil Lukas juga berbicara tentang perumpamaan yang memakai unsur-unsur alami, seperti awan, hujan, angin dan matahari (Luk 12:54-55). Menurut Paulus, Yesus Kristus itulah kebijaksanaan Allah yang dimuliakan karena pencurahan darah-Nya di kayu salib dan kebangkitan-Nya telah membawa pendamaian dan pemulihan keutuhan seluruh alam semesta (Kol 1:15-20). Dengan demikian oleh, untuk, dalam dan dengan Yesus rahasia karya penyelamatan Allah terhadap seluruh ciptaan-Nya telah dinyatakan (Ef 1:9-10). Sebagaimana dalam Kol 1:15-20 karya penyelamatan Allah bagi jemaat terpilih dan seluruh ciptaan terjadi oleh dan menyatu dengan Kristus sebagai Kepala, demikian halnya dalam Ef 1:9-10, bahkan melangkah lebih jauh lagi yakni jemaat dikutsertakan dalam misi penyelamatan Kristus (Ef 3:8-11)
PEDULI EKOLOGI ALA FRANSISKUS ASISI Stanislaus, Surip
LOGOS Vol 18 No 2 (2021): Juli 2021
Publisher : UNIKA Santo Thomas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54367/logos.v18i2.1317

Abstract

Kepedulian Fransiskus terhadap sesama manusia, sesama makhluk ciptaan dan lingkungan alam berakar pada relasinya dengan Allah Pencipta. Ia melihat dirinya, segala makhluk dan lingkungan alam sebagai sama-sama atau sesama ciptaan yang berasal dari satu asal, yaitu Allah Pencipta semesta alam. Oleh karena itu, semua makhluk ciptaan dipandang, diperlakukan dan dicintainya sebagai saudara dan saudari. Mengapa Fransiskus bersikap demikian? Ia memandang alam semesta dan segala isinya bukan terutama dari segi kegunaannya demi pemenuhan kebutuhan dan peningkatan mutu hidup manusia, tetapi lebih pada nilai yang ada dalam dirinya sendiri dan arti simbolis sakramentalnya. Keberadaan setiap makhluk bukan saja karena bermanfaat bagi manusia, tetapi juga karena memiliki nilai dalam dirinya sendiri dan menjadi tanda yang menghadirkan Allah. Setiap makhluk pun memiliki kesamaan, yakni sama-sama sebagai ciptaan Allah, sehingga semuanya sederajat dan Fransiskus menyapanya dengan sebutan saudara-saudari. Madah Gita Sang Surya yang digubah dua bulan menjelang kematiannya, menyingkapkan kedekatan yang begitu mendalam Fransiskus dengan alam dan segala makhluk ciptaan.