DICKI BAKHTIAR - A11109129
Unknown Affiliation

Published : 1 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 1 Documents
Search

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PASAL 20 UUPA NOMOR 5 TAHUN 1960 DENGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 11 TAHUN 2010, TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DALAM KAITANNYA DENGAN STATUS HAK MILIK ATAS TANAH - A11109129, DICKI BAKHTIAR
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 2, No 4 (2014): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Masalah pertanahan  muncul, ketika kewenangan (hak mengusai negara) diperhadapkan dengan hak warga negara, khususnya hak milik Individu dan hak komunal yang memiliki kewenangan tunggal yang sangat besar untuk mengelelola, pembagian , penguasaan, pemanfaatan dan peruntukan tanah harus berhadapan  dengan hak asasi yang melekat pada diri rakyatnya sendiri. Pengakuan kepemilikan tanah yang dikonkritkan dengan sertifikat sejak lama terjadi pada zaman sebelum kemerdekaan  Demikian juga di negara lainnya seperti Inggris, sertifikat merupakan pengakuan hak-hak atas tanah seseorang yang diatur dalam Undang·Undang Pendaftaran Tanah (Land Registrations Act 1925). Di Indonesia, sertifikat hak-hak atas tanah berlaku sebagai alat bukti yang kuat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (1 dan 2)   Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian  yang kuat mengenai data fisik dan data Yuridis  yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai  dengan data yang ada dalam surat ukur  dan buku tanah yang bersangkutan. Mengenai kekuatan hukum dalam status hak milik atas tanah, diperkuat dan ditegaskan dalam pasal 20 UUP, dinyatakan : Hak milik adalah turun temurun, terkuat dan terpenuhi yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6 Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan seringkali merugikan rakyat yang merupakan titik awal perebutan  dalam sumber daya tanah. Mengetahui dan menyadari beberapa kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat , maka pemerintah melalui  PP No. 36 Tahun 1998 tentang  Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, Dalam Pasal 1 Point 5 PP No. 36 tahun 1998, disebutkan bahwa “Tanah terlantar  adalah tanah yang diterlantarkan  oleh pemegang hak atas tanah” Kemudian dalam Pasal 3 ditegaskan  kembali perihal  tanah hak (Hak Milik, HGU,dan HGB serta Hak Pakai) dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar  apabila tanah  tersebut dengan sengaja  tidak  dipergunakan  oleh pemegang haknya  atau tidak dipelihara  secara baik. Pasal ini mengulang bunyi pasal 27 UUPA. Perjalanan PP Nomor. 36 Tahun 1998, belum memberikan dampak terhadap penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, sehingga pada akhirnya dibuat  produk hukum terbaru berbentuk Peraturan Pemerintah, yaitu melalui  Peraturan Pemerintah Nomor. 11 Tahun 2010, Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah terlantar, yang ditindak lanjuti dengan keputusan kepala Badan. Didalam PP Nomor. 11 tahun 2010 ini  tidak ada salah satu pasalpun yang menyebutkan  batasan tanah terlantar termasuk Pada Status Hak Milik, Hal ini merupakan sebuah kerancuan dimana Status Hak milim berdasarkan pasal 20 UUPA yang menyatakan status Hak milik adalah kuat tetapi dilain pihak dengan kondisi diterlantarkan dapat dibatalkan dengan sebuah Peraturan pemerintah yang setiungkat lebih rendah dari UUPA. Dasar pembentukan UUPA,  ini  adalah mengacu kepada Pasal 33  ayat (3) UUD 1945,  mengatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 terdapat dua kata yang menentukan, yaitu perkataan “dikuasai” dan “dipergunakan”. Perkataan  “dikuasai” sebagai dasar wewenang Negara, Negara adalah badan hukum publik yang dapat mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia biasa. Persoalan yang dapat dikemukakan adalah apakah dasar alasan sehingga Negara diberi kewenangan untuk menguasai tanah, sementara perkataan “dipergunakan” mengandung suatu perintah kepada Negara untuk menggunakan bagi sebesar-besamya kemakmuran rakyat, penguasaan atas tanah oleh Negara, diartikan sebagai pemberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat Indonesia. Konsekuensinya, Negara berhak campur tangan  disektor agraria, sehingga hak atas tanah tidak terlepas dari hak menguasai Negara. Demi kepentingan nasional misalnya, Negara dapat mengendalikannya, Prof. Dr. Yusriadi Sebagai tindak lanjut dari pasal tersebut, berkenaan dengan tanah terlantar dan dilihat secara filosofis “tanah terlantar” sangat bertentangan dengan  asas yang menentukan bahwa tanah merupakan asset atau modal, bahkan  tanah merupakan sumber kehidupan manusia yang tidak akan habis, tanah berfungsi untuk mensejahterakan kehidupan manusia, sehingga tanah harus digunakan  untuk meningkatkan kemakmuran rakyat, oleh sebab itu mengabaikan kewajiban menggunakan, mengelola dengan benar dalam hal ini sesuai dengan haknya  merupakan tindakan pelanggaran terhadap fungsi sosial dan pengingkaran filosofis  tanah Kesadaran akan kedudukan istimewa  tanah dalam alam pikiran bangsa Indonesia juga terungkap dalam UUPA yang menyatakan adanya hubungan abadi antara bangsa Indonesia dengan  tanah, namun kata “dikuasai” Pasal 33 UUD 1945 tidak menunjukan Negara adalah pemiliknya, Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan umum, dinyatakan bahwa Negara (pemerintah) hanya menguasai tanah. Pengertian tanah “dikuasai” seperti tersebut diatas bukan berarti memiliki, tetapi kewenangan tertentu yang diberikan kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan, Hal ini dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA Hak adalah kepentingan yang dilindungi oleh hukum, sedangkan  kepentingan adalah tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Kepentingan pada hakikatnya mengandung kejelasaan yang dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya. Dengan demikian, apa yang dinamakan hak itu sah apabila dilindungi oleh sistem hukum.[1] Pemegang hak melaksanakan kehendak menurut cara tertentu dan kehendaknya itu diarahkan untuk memuaskan. Pada bagian lain, Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa, hak merupakan hubungan hukum antara subjek hak déngan objek hak, karéna hubungan tersebut memperoleh perlindungan hukum Kemerdekaan Negara Indonesia pada tanggal 17 Agustus tahun 1945, merupakan batas akhir berlakunya tata hukum, yang oleh  Prof. Dr. Ahmad Sanusi, SH., mengatakan bahwa Hukum yang berlaku sekarang di sini ia menerangkan seluruh hukum dari berbagai cabangnya yang kini berlaku di Indonesia, dan yang berlakunya baik itu atas semua orang, maupun atas golongan-golongan penduduk tertentu.[1] artinya beralihnya tata hukum Kolonial kepada tata hukum Indonesia, tetapi untuk proses pembentukan hukum sebagai pengganti hukum Kolonial, tidak secepat apa yang diharapkan, karena proses pembentukan hukum yang menjadi tata hukum tidak semudah apa yang dipikirkan, oleh karena itu Melalui Peraturan Peralihan Pasal II, UUD Tahun 1945, ”Semua lembaga Negara yang ada masih tetap berfungsi  sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut undang-undang ini” memahami hal tersebut dengan maksud mengisi kekosongan hukum, seperti disebutkan Pasal II Aturan Peralihan. Dengan demikian atas dasar tersebut, produk hukum lama masih tetap diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan Falsafah bangsa yaitu Pancasila dan UUD tahun 1945. Pada era inilah terjadi perubahan politik agraria nasional. Pemerintah sekarang tidak lagi berangkat dari paradigma UUPA, akan tetapi memaknai paradigma  UUPA  yang neo populis tersebut yang menyatakan bahwa “tanah itu digunakan untuk pemenuhan kebutuhan rakyat”, dengan paradigma “Sumber-sumber agraria adalah komoditas”. Tanah dalam hal ini telah dirubah dari memiliki karakter sosial, menjadi masuk dalam skema pasar tanah Keyword : Peraturan yang lebih rendah tingkatannya