Purba, Esther Risma
Universitas Brawijaya

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Satwika : Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial

Mitos dan paradoks diskursus perempuan dalam film horor Kuime (Over Your Dead Body) Cintya Dara Sakina; Esther Risma Purba
Satwika : Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial Vol. 6 No. 2 (2022): Oktober
Publisher : Universitas Muhammadiyah Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22219/satwika.v6i2.22952

Abstract

Genre horor seringkali menghadirkan perempuan sebagai sosok mengerikan dan menakutkan. Penggambaran tersebut berangkat dari mitos tentang perempuan yang sengaja direpresentasikan sebagai sosok yang mengancam laki-laki. Sebagai akibatnya, sosok menakutkan dan mengerikan diidentikkan dengan perempuan. Terkait dengan mayoritas karya bergenre horor yang menampilkan perempuan sebagai sosok yang menakutkan dan mengerikan dengan teror dan penampilannya, horor di Jepang yang biasa disebut dengan  kaidan (怪談) juga masih mempertahankan praktik tersebut. Bahkan dalam kaidan, perempuan dinarasikan dan divisualisasikan secara lebih spesifik, yaitu ditampilkan dalam wujud hantu balas dendam. Terdapat paradoks hantu balas dendam sebagai tokoh jahat dalam cerita yang di sisi lain dimaklumi karena semasa hidupnya ia mengalami ketidakadilan dan penindasan oleh laki-laki. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis film Kuime yang menampilkan bahwa narasi dan visualisasi hantu perempuan Jepang merupakan sebuah diskursus dari pemahaman masyarakat Jepang mengenai perempuan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka dengan pendekatan kualitatif menggunakan teori analisis wacana kritis oleh Norman Fairclough. Teori tersebut mencakup analisis deskripsi linguistik dari teks, interpretasi hubungan antara proses diskursif dengan teks, serta hubungan antara proses diskursif dengan proses sosial. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat diskursus posisi dan peran perempuan dalam masyarakat Jepang yang memengaruhi pembentukan mitos hantu perempuan pada karya bergenre horor di Jepang.  Dengan adanya diskursus tandingan dalam paradoks hantu dan pembunuh perempuan pada film Kuime, dapat disimpulkan bahwa terdapat perubahan pada pemaknaan perempuan dalam film horor Jepang yang pada awalnya dimaknai sebagai bentuk manifestasi ketakutan laki-laki terhadap perempuan menjadi pemaknaan yang berpusat pada keberdayaan perempuan.    The horror genre often portrays women as terrible Gambars. Women are deliberately represented as a menace to men. As a result, a frightening and terrible Gambar is identified as a woman. Related to the most of horror genre that represents women as terrifying Gambars with terror and grim appearance, Japanese horror, known as kaidan (怪談) also still maintains this practice. In kaidan, women are narrated and visualized more specifically in revenge ghost Gambars. There is a paradox in the vengeful female ghost who is seen as an evil character in the story, but her revenge is understandable because she was wronged and oppressed by men. This research was conducted to analyze Kuime, a Japanese horror film which shows that the narration and visualization of Japanese female ghosts is a discourse on the stereotypes about women in Japanese culture. The method used in this research is a literature study with a qualitative approach using the theory of critical discourse analysis by Norman Fairclough. The theory includes the analysis of the linguistic description of the text, the interpretation of the relationship between the discursive process and the text, and the relationship between the discursive process and the social process. The result of this research shows that discourse about the position and role of Japanese women builds the myth of female ghosts in Japanese horror. By the counter-discourse in the paradox of ghosts and female killers in Kuime, it can be concluded that there is a change in the meaning of women in Japanese horror films, which was interpreted as a manifestation of men's fear of women becoming centered to women's empowerment. 
Representasi Kulit Hitam dalam One Punch Man, The Promised Neverland, dan Shaman King Rahmah, Salsabila; Fatimah, Emma Ramawati; Purba, Esther Risma
Satwika : Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial Vol. 8 No. 1 (2024): April
Publisher : Universitas Muhammadiyah Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22219/satwika.v8i1.32414

Abstract

Blackface di Jepang diperkenalkan oleh orang kulit putih pada tahun 1854 dan mulai diadaptasi sejak tahun 1920-an dalam pertunjukan, layar perak, buku anak, dan mainan di Jepang. Meskipun ditolak oleh aktivis anti-rasisme, blackface kembali muncul beberapa tahun kemudian, diperkuat dengan kurang tegasnya regulasi anti-ujaran kebencian yang mempersulit definisi rasisme di Jepang. Dalam perkembangannya, blackface banyak ditemukan dalam anime produksi tahun 90-an, bahkan setelah tahun 2010, seperti Superalloy Darkshine (One Punch Man, 2015 & 2019), Sister Krone (The Promised Neverland, 2019), dan Chocolove McDonell (Shaman King, 2021) yang menjadi fokus penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis representasi rasial orang kulit hitam dari ketiga anime tersebut yang juga menunjukkan keterkaitan pandangan orang Jepang terhadap orang kulit hitam yang memengaruhi bagaimana mereka menggambarkan orang kulit hitam dalam proses produksi anime tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah dokumentasi dan studi pustaka dengan pendekatan kualitatif menggunakan teori semiotika John Fiske. Teori ini terdiri dari level realitas, representasi, dan ideologi yang menyertakan unsur dari produksi tayangan televisi seperti dialog, pencahayaan, penampilan yang dapat dikaitkan dengan nilai sosial masyarakat. Hasil dari penelitian ini adalah ketiga karakter kulit hitam tersebut serupa dengan karakter kulit hitam budaya populer Barat yang bersifat stereotipikal, yaitu bodoh dan pemarah. Hal ini berkaitan dengan orang Jepang yang mengikuti cara pandang orang kulit putih yang merendahkan orang kulit hitam. Rendahnya pengetahuan orang Jepang tentang dampak rasisme membuat kurang dilibatkannya orang kulit hitam dalam produksi konten anime yang didominasi orang Jepang sehingga representasi tersebut bersifat stereotipikal.   Blackface in Japan was introduced by white people in 1854 and began to be adapted in the 1920s and 1930s in Japanese performances, silver screens, children's books, and toys. Although blackface was considered offensive due to the resistance from anti-racism activists, it reemerged again because of the lack of strict anti-hate speech regulations that complicate the definition of racism in Japan. In its development, blackface is found in many 90s anime, even after 2010, such as Superalloy Darkshine (One Punch Man, 2015 & 2019), Sister Krone (The Promised Neverland, 2019), and Chocolove McDonell (Shaman King, 2021). The research aims to analyze the elements of racial representation of black people from those three anime, which also shows how the Japanese views of black people affect how they portray black people in the anime production process. This study applies a literature study with a qualitative approach using John Fiske's semiotic theory which is suitable for analyzing television products including anime. This theory consists of levels of reality, representation, and ideology that include elements from the production of television shows such as dialog, lighting, and appearance that can be associated with the social values of society. The result of this study is that the three black characters are similar to the stereotypical black characters portrayed in Western popular culture, namely stupid and angry. The Japanese were imitating white racists mocking black people and demeaning black people. The lack of knowledge in addressing and challenging concerns about racism among the Japanese makes black people less involved in the production of Japanese-dominated anime content so that the representation is stereotypical.