Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Rekonstruksi Syarat Sah Perjanjian Yang Terdapat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 Lex Specialis Terhadap Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Sebagai Ketentuan Lex Generalis Rabbani, Kevin Alim; Saputra, Lucky; Louisa, Graciela Brenda
Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia Law Journal Vol 1 No 2 (2021): IPMHI Law Journal, July-December 2021
Publisher : Universitas Negeri Semarang in collaboration with Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/ipmhi.v1i2.53270

Abstract

Manusia terus mengalami perkembangan. Hal itu ditandai dengan munculnya revolusi industri 1.0 sampai dengan revolusi industri 4.0. Dunia perdagangan terkena dampaknya. Perdagangan mengalami perubahan dari corak konvensional ke corak digital atau lebih dikenal dengan istilah e-commerce. Di Indonesia, ecommerce mengalami perkembangan. Akan tetapi dalam segi hukum, ecommerce menemukan permasalahan yakni konsistensi keabsahan syarat sah perjanjian serta pelaksanaanya yang dinilai masih kurang. Oleh karena itu diperlukan suatu rekonstruksi serta penguatan tata kelola sistem e-commerce. Hal ini akan dikaji akan dengan menggunakan teori hermeneutika hukum, teori progresifitas hukum, dan teori sistem hukum serta beberapa hal-hal konseptual. Rekonstruksi yang dilakukan adalah dengan memindahkan syarat perjanjian yang terdapat di dalam PP Nomor 80 Tahun 2019 ke jenjang undang-undang sehingga konsistensi keabsahan dari syarat sah perjanjian elektronik akan terjaga demi menciptakan kepastian hukum. Penguatan pelaksanaan syarat sah perjanjian dilakukan dengan perbaikan tata kelola sistem e-commerce dengan menggunakan teknologi face recognition guna menutup celah yang ada. Dengan melaksanakan hal-hal tersebut maka akan tercipta ekosistem perdagangan elektronik yang baik. Saran dari kami untuk pemerintah adalah perlu sesegera mungkin untuk melakukan rekonstruksi serta penguatan pelaksanaan syarat sah perjanjian yang telah kami kemukakan pada pembahasan guna terciptanya ekosistem perdagangan elektronik. Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis normatif yang mendasarkan kepada sumber data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Implementation of The Trias Politica Concept and The Prospects For Establishing New High State Institutions in Indonesia Tiopan, Demson; Setiawan, Agus; Rabbani, Kevin Alim
UNES Law Review Vol. 6 No. 1 (2023)
Publisher : Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/unesrev.v6i1.1111

Abstract

State institutions play a significantly central role in the implementation of governance. The doctrine of trias politica has been implemented in the structure of the Indonesian state, establishing a division of powers among three branches: the executive, legislative, and judicial. Nevertheless, over time, Indonesia has expanded the trias politica doctrine by incorporating a novel branch of power, namely the examinative institution operated by the The Audit Board of the Republic of Indonesia. The high state institutions established in accordance with the constitution enjoy robust and enduring positions and authorities. On the other hand, state institutions formed through legislation tend to possess comparatively weaker and non-permanent positions and authorities, as they are susceptible to amendments or even dissolution by the House of People’s Representatives (Dewan Perwakilan Rakyat, DPR), which holds legislative functions. The Ombudsman and Corruption Eradication Commission (Komisi Pemberantasan Korupsi or KPK), as auxiliary state institutions playing pivotal roles in the governance system, face vulnerability due to their establishment being founded on statutory laws. Consequently, there arises an urgent necessity and opportunity for the establishment of a new high state institution by elevating the Ombudsman and KPK to the status of high state institutions. However, there are inherent challenges that must be navigated, specifically the requirement for an amendment to the 1945 Indonesian Constitution, contingent upon the political will of the members of the People's Consultative Assembly (Majelis Permusyawaratan Rakyat or MPR).