Ananda Chrisna Dewi Panjaitan
Universitas Ngurah Rai Denpasar

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

HARMONISASI UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN PROTOKOL PALERMO DALAM PERLINDUNGAN PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA ANANDA CHRISNA D. PANJAITAN
Jurnal Yustitia Vol 16 No 1 (2022): YUSTITIA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Terdapat perbedaan makna yang ketika Protokol Palermo menjelaskan bentuk-bentuk kejahatan dalam berbagai bentuk kekerasan atau ancaman lainnya sedangkan di Indonesia tidak menafsirkan bentuk kejahatan tersebut mengakibatkan formulasi tindak pidana perdagangan orang dalam UU No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang pada prinsipnya ingin mewujudkan perlindungan korban perdagangan orang namun rumusan bentuk kejahatan tindak pidana perdagangan orang masih belum memadai. Tujuan dari penulisan ini untuk mengkaji peraturan UU No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdangangan Orang. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa daya mengikat Protokol Palermo terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia masih belum efektif dalam melakukan ratifikasi khususnya masalah perubahan definisi yang mengakibatkan kesalahan tafsiran dan disharmonisasi Protokol Palermo dan UU TPPO tidak akan berakibat secara langsung namun akan mengakibatkan Indonesia dianggap tidak maksimal untuk melakukan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang dan korban tindak pidana perdagangan orang.
PEMBAHARUAN HUKUM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA EKONOMI ANANDA CHRISNA D. PANJAITAN
Jurnal Yustitia Vol 16 No 2 (2022): JURNAL YUSTITIA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62279/yustitia.v16i2.972

Abstract

Diperlukan suatu penataan kembali terhadap pengaturan pertanggung jawaban pidanakorporasi yang menyangkut pengaturan tentang kapan suatu korporasi dikatakan telah melakukantindak pidana, siapa dalam korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan sanksi yang tepatbagi korporasi yang melakukan kejahatan, sehingga terjadi keharmonisan aturan yang berdampakpada pencapaian tujuan hukum.Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian ini menggunaan dua rumusan masalah,yang pertama bagaimana pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidanaekonomi dan bagaiman pembaharuan hukum pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindakpidana ekonomi di Indonesia ?Metode penelitian ini menggunakan metode normatif berawal dari perbedaan pengaturanterhadap pertanggung jawaban pidana bagi korporasi yang melakukan tindak pidana dalamundang-undang di Indonesia akan berakibat pada lemahnya penegakan hukum terhadap kejahatankorporasi.Hasil penelitian ini adalah yang pertama pertanggungjawaban korporasi telah diatur dibeberapa perundang-undangan di Indonesia akan tetapi setiap peraturan perundang-undangan yangmengatur tentang kejahatan korporasi dari segi ruang lingkup, definisi dan subjek berbeda-bedaoleh karena itu perlu adanya kodifikasi serta harmonisasi ketentuan mengenai kejahatan korporasiagar tercipta kepastian hukum. Selanjutnya perbedaan ini dapat membawa perdebatan hukum,khususnya terkait dengan apakah dalam hal ini, UU Tipikor tetap dapat dikecualikan sebagai lexspesialis. Dalam arti bahwa dalam penegakan tindak pidana korupsi terhadap korporasi, kriteria“perbuatan korporasi” yang digunakan tetap mengacu pada UU Tipikor dan bukan pada buku IKUHP (bila kemudian RUU telah menjadi UU).
KONSEKUENSI PENETAPAN STATUS KELOMPOK KRIMINAL BERSENJATA (KKB) DALAM KONFLIK PAPUA SEBAGAI GERAKAN TERORIS MENURUT HUKUM PIDANA Tolib Effendi; Ananda Chrisna Dewi Panjaitan
RechtIdee Vol 16, No 2 (2021): December
Publisher : Trunojoyo Madura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21107/ri.v16i2.11823

Abstract

Berdasarkan sejarahnya, sebelum diberikan label sebagai teroris oleh pemerintah, aksi kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang di Papua mendapatkan sebutan yang berbeda, pihak Kepolisian menyebut Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sedangkan Tentara Nasional Indonesia menggunakan istilah Kelompok Separatis Bersenjata (KSB), namun bagi Organisasi Papua Merdeka (OPM), kelompok tersebut adalah pejuang yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Berbagai penyerangan yang dilakukan oleh KKB/ KSB/ OPM terhadap aparat penegak hukum yang bertugas di Papua, memaksa pemerintah untuk secara tegas menetapkan aksi tindakan maupun kelompok yang melakukan kekerasan di Papua sebagai tindak pidana teroris. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penetapan status tersebut tepat dan bagaimana konsekuensi penetapan status teroris tersebut dalam sudut pandang hukum pidana baik materiil maupun formil. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwasanya penetapan KKB/ KSB/ OPM dalam konflik bersenjata di Papua sebagai kelompok teroris tidak tepat karena latar belakang sejarah serta pemenuhan unsur-unsur yang termuat dalam UU Pemberantasan Terorisme tidak tepat. Penetapan status teroris tersebut bukanlah solusi untuk mengatasi konflik di Papua karena memiliki konsekuensi tidak hanya terhadap kualifikasi tindak pidana yang dilakukan tetapi dengan instrument hukum, model penegakan hukum dan pihak yang terlibat dalam penanganan KKB/ KSB/ OPM.
HARMONISASI UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN PROTOKOL PALERMO DALAM PERLINDUNGAN PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA ANANDA CHRISNA D. PANJAITAN
Jurnal Yustitia Vol 16 No 1 (2022): YUSTITIA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62279/yustitia.v16i1.895

Abstract

Terdapat perbedaan makna yang ketika Protokol Palermo menjelaskan bentuk-bentuk kejahatan dalam berbagai bentuk kekerasan atau ancaman lainnya sedangkan di Indonesia tidak menafsirkan bentuk kejahatan tersebut mengakibatkan formulasi tindak pidana perdagangan orang dalam UU No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang pada prinsipnya ingin mewujudkan perlindungan korban perdagangan orang namun rumusan bentuk kejahatan tindak pidana perdagangan orang masih belum memadai. Tujuan dari penulisan ini untuk mengkaji peraturan UU No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdangangan Orang. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa daya mengikat Protokol Palermo terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia masih belum efektif dalam melakukan ratifikasi khususnya masalah perubahan definisi yang mengakibatkan kesalahan tafsiran dan disharmonisasi Protokol Palermo dan UU TPPO tidak akan berakibat secara langsung namun akan mengakibatkan Indonesia dianggap tidak maksimal untuk melakukan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang dan korban tindak pidana perdagangan orang.