Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

KEWENANGAN PEGAWAI PENCATAT NIKAH DI KANTOR URUSAN AGAMA DALAM MENOLAK KEHENDAK NIKAH (STUDI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN RANCABALI) Paijar, Pijri
Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah: Jurnal Hukum Keluarga dan Peradilan Islam Vol 5, No 2 (2024): Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah: Jurnal Hukum Keluarga dan Peradilan Islam
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/as.v5i2.31070

Abstract

Administrasi pernikahan merupakan sesuatu hal yang wajib dipenuhi bagi warga negara Indonesia yang akan melangsungkan pernikahan. Salah satunya bagi masyarakat yang beragama Islam diharuskan melaporkan kehendak nikah dihadapan pegawai pencatat nikah sebagai pejabat yang ditunjuk oleh negara dalam melakukan pencatatan pernikahan yang berada di Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat. Akan tetapi pegawai pencatat nikah sebagai pejabat yang berwenang tidak bisa menerima semua kehendak nikah dengan alasan-alasan tertentu yang datang dari calon pengantin. Penelitian ini menggunakan metode studi lapangan dan pustaka yaitu dengan secara langsung melakukan penelitian di dalah satu Kantor Urusan Agama Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung. Pendekatan yang digunakan adalah yuridis empiris dengan melihat keadaan yang sesungguhnya dilapangan kemudian dihubungkan dengan aturan-aturan yang berlaku saat ini. Secara umum implementasi penolakan kehendak nikah sebagai kewenangan dari pegawain pencatat nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Rancabali sudah terimplementasi sebagaimana mestinya. Dari sekian penolakan kehendak nikah secara umum, pihak pegawai pencatat nikah banyak melakukan penolakan terhadap calon pengantin yang bermasalah dengan administrasi. Selain itu pihak pegawai pencatat nikah juga berkewenangan untuk memberikan solusi-solusi sebagai bentuk upaya hukum yang bisa dijalankan oleh calon pengantin yang mendapati penolakan kehendak nikah tersebut. Oleh karena itu, pemenuhan administrasi pernikahan sangatlah penting dan harus sesuai dengan yang undang-undang perintahkan dalam rangka terciptanya tertib administrasi dan terbnetuknya kepastian hukum serta perlindungan hukum kepada calon pengantin.
Judicial Considerations in Granting Interfaith Marriage Applications: A Critical Study of Bandung District Court Decision No. 166/Pdt.P/2022/PN.Bdg within the Framework of Indonesian Marriage Law and Human Rights Paijar, Pijri
Berasan: Journal of Islamic Civil Law Vol. 4 No. 1 (2025)
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Curup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29240/berasan.v4i1.13438

Abstract

This article critically examines the Bandung District Court Decision No. 166/Pdt.P/2022/PN.Bdg, which granted an interfaith marriage application despite the absence of explicit legal provisions in Indonesian Marriage Law No. 1 of 1974 and the Compilation of Islamic Law (KHI). Employing a normative juridical method with a library research approach, this study analyzes statutory regulations, judicial practices, and scholarly literature related to marriage law, interfaith unions, and human rights. The findings demonstrate that while Indonesian marriage law emphasizes religious conformity as the legal basis for marriage validity, the court employed judicial activism to justify the registration of interfaith marriages through civil administration, citing the principles of human rights and freedom of religion enshrined in the 1945 Constitution. This decision reflects ongoing legal pluralism in Indonesia, where religious norms and state law often intersect and conflict. The article argues that such judicial practices, though aimed at protecting constitutional rights, create legal uncertainty and social controversy, particularly regarding the legitimacy of interfaith marriages under Islamic law. The contribution of this study lies in highlighting the judicial role in navigating tensions between religious doctrine, constitutional rights, and legal certainty in a plural society, offering insights into the need for harmonization between state and religious laws in Indonesia.