Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Peran OMS Dalam Pembangunan Perdamaian Aceh Tjoetra, Afrizal; Askandar, Kamarulzaman
PASAI Vol 8, No 1 (2014)
Publisher : Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) berperan aktif untuk membangun perdamaian di Aceh. Berbagai upaya yang dilakukan selama konflik dan periode paska bencana, termasuk meningkatkan kapasitas dan memberikan dukungan kepada berbagai institusi. Selama periode konflik, kegiatan OMS berfokus pada pemberdayaan masyarakat, pemantauan pelanggaran hak asasi manusia, dan melakukan advokasi untuk perdamaian. Selama masa rehabilitasi dan rekonstruksi tsunami, kegiatan yang dilakukan juga termasuk program kemanusiaan dan keadilan. Selama periode ini, sejumlah aktivis OMS di Aceh mengalami peningkatan keterampilan dan jaringan mereka. Hal ini dicapai secara langsung maupun  tidak langsung melalui interaksi dengan berbagai organisasi internasional yang hadir di Aceh. Melalui pengalaman dan kapasitas yang diperoleh, OMS di Aceh memiliki peran strategis dalam pembangunan perdamaian di Aceh. Artikel ini membahas perubahan secara internal OMS di Aceh dengan dukungan organisasi eksternal. Isu-isu yang dieksplorasi terkait dengan tata kelola internal lembaga, independensi, dan kapasitas sumber daya manusia yang tersedia. Sementara pendalaman dukungan eksternal terkait dengan kebijakan, jaringan, dan respon terhadap isu-isu yang berkembang dalam masyarakat. Menurut Lili Hasanuddin (2009), bahwa OMS dengan berbagai latar belakang, pendekatan dan cara kerja telah bekerja sama untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat Aceh paska bencana. Dalam hal pembangunan perdamaian, Lederach (1997) menyatakan bahwa tiga tingkat kepemimpinan memiliki peran penting dalam pembangunan perdamaian. Terdiri dari kepemimpinan tingkat atas, kepemimpinan pada tingkat menengah, dan kepemimpinan pada akar rumput. Pada kepemimpinan menengah dan akar rumput, khususnya OMS, memiliki peran strategis. Tulisan ini didasarkan pada studi dokumen dan wawancara dengan sejumlah pengurus OMS di Aceh dan  akademisi. Upaya ini bertujuan untuk mengumpulkan berbagai informasi terkait dengan respon yang harus dilakukan OMS di Aceh terhadap berbagai perubahan yang terjadi dalam pembangunan perdamaian di provinsi Aceh. 
Why Was “Self-Government” Not Achieved in Aceh? The Challenges of Implementing a Peace Agreement Zainal, Suadi; Askandar, Kamarulzaman; Abubakar, Muhammad bin
Jurnal Ilmiah Peuradeun Vol. 10 No. 3 (2022): Jurnal Ilmiah Peuradeun
Publisher : SCAD Independent

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26811/peuradeun.v10i3.789

Abstract

The "self-government" was proposed as an alternative solution to independence and special autonomy to end the protracted conflict in Aceh. Based on the contents of the peace agreement signed in 2005, Aceh is given the right to self-government. However, this is not realized fully. This study aimed to explain the imagined self-government and the causes challenging it to be implemented. The study used a qualitative library research method in which data was sourced from online text documents. The data were analyzed using critical discourse analysis. The study found that the issue of "self-government" was initially at the center of the negotiation. The Free Aceh Movement - GAM envisioned it like Olan Island in Finland and Sarawak in Malaysia. Still, it has not been realized because it was not declared explicitly in the agreement, and the term "self-government" was used as a strategy to persuade GAM negotiators to continue in the negotiation. Further, the Government of Indonesia (GoI) offered Aceh special autonomy instead of self-government through the Law on Governing Aceh by ignoring the limitations on the authority of GoI over Aceh that was agreed. This was caused by five reasons that lay in the negotiation process and the realization of the agreement interconnected. Amongst; GAM was unbalanced to GoI during the negotiations and powerless to force GoI to obey the deal, and there was no punishment mechanism for the violator of the agreement. Finally, the study revealed that an inclusive process in drafting new laws for a post-conflict region does not always result in full outcomes by the agreement.