Perkembangan ekonomi platform pada era Revolusi Industri 4.0 telah menghadirkan gig economy yang menempatkan jutaan mitra pengemudi dalam posisi rentan akibat konstruksi hukum "kemitraan" yang membatasi akses terhadap perlindungan hukum ketenagakerjaan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perlindungan hukum bagi mitra pengemudi dalam perjanjian kemitraan dengan perusahaan aplikasi Gojek, menilai kesesuaian klausul perjanjian dengan prinsip-prinsip keadilan kontraktual, mengkaji pemenuhan kewajiban perlindungan konsumen dan keselamatan kerja, serta merumuskan model perlindungan hukum yang bersifat operasional. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual, menganalisis bahan hukum primer, sekunder, dan tersier melalui penalaran deduktif serta interpretasi sistematis. Temuan penelitian menunjukkan bahwa hubungan hukum antara Gojek dan mitra dibangun sebagai hubungan kemitraan perdata berdasarkan KUHPerdata dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019, bukan sebagai hubungan kerja, sehingga norma perlindungan ketenagakerjaan tidak berlaku secara otomatis. Perlindungan preventif tercermin melalui regulasi tarif, SOP terkait suspensi dan pemutusan kemitraan, program BPJS Ketenagakerjaan, serta transparansi melalui Tartibjek. Adapun perlindungan represif tersedia melalui hak banding, layanan pengaduan, dan jalur penyelesaian sengketa. Namun demikian, posisi mitra tetap lemah akibat kontrak baku yang bersifat sepihak, monopoli perusahaan atas pengambilan keputusan dan data, serta mekanisme banding yang kurang transparan. Kesimpulannya, meskipun kerangka normatif telah tersedia, kesenjangan antara perlindungan de jure dan de facto masih terjadi sehingga diperlukan penguatan partisipasi mitra, penegasan unsur-unsur hubungan kerja secara faktual, serta penegakan lebih ketat atas kewajiban perusahaan guna mewujudkan keadilan kontraktual dalam ekosistem platform digital.