Hasanul Arifin
Faculty Of Medicine Universitas Sumatera Utara Medan, Indonesia

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

GAMBARAN DISFUNGSI SEKSUAL DISABILITAS DAN KUALITAS HIDUP PADA PASIEN PASCASTROKE Hasanul Arifin,* Alfansuri Kadri,* Yuneldi Anwar*
NEURONA Vol. 36 No. 2 Maret 2019
Publisher : Neurona Majalah Kedokteran Neuro Sains

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

INTRODUCTION SEXUAL FUNCTION AND DISABILITY ARE POSTSTROKE COMPLICATIONS THAT CAN AFFECT THE LONGTERM QUALITY OF LIFE THE PROBLEM IS BEING NEGLECTED THUS CANNOT BE INTERVENED FURTHER THERE ARE SIMPLE SCREENINGS THAT CAN BE USED TO DETECT THE DISORDER
Perbedaan Nilai Agregasi Trombosit Akibat Pengaruh Penggunaan Analgesia Ketorolak dan Ibuprofen Intravena Pascaoperasi di RSUP Haji Adam Malik Medan Dewi Yuliana Fithri; Dadik Wahyu Wijaya; Hasanul Arifin
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 5, No 3 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (666.266 KB) | DOI: 10.15851/jap.v5n3.1166

Abstract

Obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) merupakan analgetik yang sering digunakan pada pascaoperasi bedah ortopedi. Penelitian ini bertujuan melihat apakah terdapat perbedaan nilai agregasi trombosit akibat pengaruh penggunaan analgestik ketorolak dengan ibuprofen intravena setelah operasi. Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis dengan uji acak tersamar buta ganda yang membandingkan perbedaan pengaruh ketorolak  30 mg intravena/6 jam dengan ibuprofen 800 mg intravena/6 jam. Populasi penelitian ini adalah pasien yang menjalani tindakan pembedahan elektif dengan anestesi umum di RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan Agustus 2016. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok dengan tiap-tiap kelompok berjumlah 20 pasien. Ketorolak atau ibuprofen sebagai analgetik diberikan setelah 30 menit selesai operasi, kemudian dilanjutkan per 6 jam sampai dengan 2 hari selesai operasi. Uji statistik menggunakan tes Wilcoxon untuk sebelum perlakuan dan Uji Mann-Whitney untuk sesudah perlakuan pada kedua kelompok. Data karakteristik subjek homogen. Agregasi trombosit pada kelompok ketorolak dengan kelompok ibuprofen berbeda bermakna setelah 10 menit ekstubasi dengan 8 jam setelah pemberian obat terakhir. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok ketorolak dan kelompok ibuprofen setelah 10 menit ekstubasi (p>0,05), namun terdapat perbedaan bermakna pada 8 jam setelah akhir pemberian obat. Simpulan, ketorolak menurunkan persentase agregasi trombosit lebih besar daripada ibuprofen setelah 8 jam pemberian obat terakhir. Differences in Platelet Aggregation Values in Postoperative Intravenous Ketorolac and Ibuprofen Analgesics at Haji Adam Malik Central General Hospital MedanNon-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) are analgesics used for postoperative orthopedic surgery. This study aimed to underrstand the effect of intravenous ketorolac and ibuprofen on platelet aggregation values. This was a double-blind randomized controlled trial that compared the effects of intravenous ketorolac and ibuprofen. The population of this study were patients undergoing elective surgery under general anesthesia at Haji Adam Malik Central General Hospital Medan in August 2016. Patients were divided into 2 groups (n: 20): ketorolac group andibuprofen group. Both group received analgesic 30 minutes after surgery up to 2 days postoperative. The statistical tests used were Wilcoxon test for pre-treatment and Mann-Whitney test for post-treatment in each group. Subject characteristic data were homogenous. Platelet aggregation of ketorolac and ibuprofen groups differed significantly between 10 minutes after extubation and 8 hours after the last drug administration. There was no significant difference between the ketorolac and ibuprofen groups after 10 minutes of extubation (p>0.05); however there was a significant difference at 8 hours after the end of drug administration. In conclusion, ketorolac decreases platelet aggregation percentage greater than ibuprofen after 8 hours of the last drug administration. 
Perbandingan Efek Sevofluran dengan Halotan terhadap Jumlah Neutrofil Hafniana Hafniana; Hasanul Arifin
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 5, No 3 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (655.793 KB) | DOI: 10.15851/jap.v5n3.1169

Abstract

Neutrofil berperan penting dalam respons imun nonspesifik. Penurunan nilai neutrofil dapat dipakai sebagai parameter sederhana untuk mengukur tingkat stres dan inflamasi sistemik. Penelitian ini bertujuan mengetahui efek agen inhalasi sevofluran dan halotan terhadap penurunan neutrofil. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan acak tersamar buta ganda yang membandingkan efek sevofluran dengan halotan terhadap  jumlah neutrofil pada 36 pasien ASA I dan II yang menjalani operasi elektif dengan anestesi umum di RSUP Haji Adam Malik Medan periode September 2016. Pasien dibagi dua kelompok, yaitu kelompok yang mendapat agen inhalasi sevofluran dan kelompok yang mendapat inhalasi halotan. Jumlah neutrofil dihitung pada kedua kelompok pada saat sebelum operasi, setelah induksi, dan 90 menit setelah inhalasi. Jumlah neutrofil pada kedua kelompok tidak mengalami penurunan sebelum operasi dan setelah induksi (p>0,005), namun mengalami penurunan pada 90 menit setelah inhalasi (p<0,005) pada tiap-tiap kelompok, namun uji beda antara kelompok sevofluran dan halotan tidak bermakna pada tiga kali pengukuran.  Simpulan, tidak terdapat perbedaan antara sevofluran dan halotan terhadap penurunan jumlah neutrofil.Comparison of  Sevoflurane and Halothane Effects on Neutrophil CountsNeutrophil has an important role in non-spesific immune responses. The declining value of neutrophil can be used as a parameter to measure the level of stress and systemic inflammation. This study aimed to determine the effects of sevoflurane and halothane inhalation agents on the number of neutrophil. This was a double-blind randomized comparing the effects of sevoflurane and halothane on the number of neutrophil in 36 ASA 1 and II patients underwent elective surgery under general anesthesia at Haji Adam Malik Central General Hospital  Medan during September 2016. Patients were divided into two groups: the group that received sevoflurane inhalation and the group that received halothane inhalation. The number of neutrophils was counted in both groups before surgery, after induction, and 90 minutes after inhalation. Both groups did not experience a decrease in neutrophil counts before surgery and after induction (p>0.005), but suffered a decline in the number of neuthrophils 90 minutes after inhalation (p>0.005). The difference between the sevoflurane and halothane groups was not meaningful in the three times of measurement. In conclusion, there is no difference between sevoflurane and halothane terms of declined number of neutrophils. 
Perbandingan Efek Induksi Propofol dengan Ketamin terhadap Penurunan Nilai Neutrofil pada Pasien dengan Tindakan Anestesi Umum Angga Permana Putra; Hasanul Arifin; Chairul M. Mursin
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 5, No 1 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (719.611 KB) | DOI: 10.15851/jap.v5n1.999

Abstract

Leukosit merupakan bagian dari imunitas bawaan. Penurunan nilai neutrofil dapat dipakai sebagai parameter yang sederhana untuk mengukur berat ringannya stres dan inflamasi sistemik pada pasien. Beberapa penelitian mengemukakan pengaruh obat-obat anestesi terhadap leukosit dan penelitian yang lain melihat dari pengaruh obat-obat anestesi terhadap fungsi dari subset leukosit terutama neutrofil. Tujuan penelitian ini mengetahui perbedaan efek induksi propofol dengan ketamin terhadap penurunan nilai neutrofil pada pasien dengan tindakan anestesi umum di Instalasi Bedah Pusat RSUP H. Adam MalikMedan mulai Mei–Juni 2016. Penelitian uji klinis dengan  randomized control trial double blind dilakukan pada 32 pasien ASA I dan II dibagi dalam 2 kelompok yang menjalani operasi dengan anestesi umum. Pasien pada kelompok propofol (A) diberikan induksi dengan propofol 2 mg/kgBB. Kelompok ketamin diinduksi ketamin 2 mg/kgBB. Kemudian diukur nilai neutrofil (%) pada saat sebelum induksi (T1), 10 menit setelah intubasi (T2), dan 60 menit setelah insisi kulit (T3). Dengan SPSS ver.23, Uji T-independen dan Mann-Whitney U didapatkan hasil T1 neutrofil nilai p=0,636, T2 neutrofil nilai p=0,846, T3 neutrofil nilai p=0,403. Simpulan, terdapat perbedaan efek induksi antara propofol dan ketamin terhadap penurunan nilai neutrofil. Terdapat pengaruh ketamin terhadap penurunan nilai neutrofil, tetapi tidak ada pengaruh propofol terhadap penurunan nilai neutrofil. Comparison of Induction Effect between Propofol and Ketamine against Impairment of Neutrophils in Patient with General AnesthesiaLeukocyte is a part of innate immunity elements. Neutrophil impairment of can be used as a simple parameter to measure the severity of stress and systemic inflammation in patients. Some research suggests the influence of anesthetic drugs on leukocytes and other studies look at the effect of anesthetic drugs on leukocyte subset functions, especially neutrophils. This study aimed to reveal the difference in the induction effect of propofol and ketamine against impairment of neutrophils in patients with general anesthesia. This was a double blind randomized control trial conducted in 32 patients ASA I and II who were divided into two groups. These patients underwent general anesthesia at the Central Operating Theater of H. Adam Malik General Hospital during May–June 2016. Group propofol (A) received 2 mg/kgBW propofol, while group ketamine (B) received 2 mg/kgBW ketamine. Neutrophils were measured before induction (T1), 10 minutes after intubation (T2), and 60 minutes after intubation (T3). By using T-independent and Mann-Whitney U test in SPSS ver.23, it was found that the the p-values for T1. T2, and T3 neutrophils were 0.636,0.846, and 0.403. respectively. In conclusion, there is a difference in induction effect between propofol and ketamine against impairment of neutrophils with no effect is found for propofol. 
Penatalaksanaan Anestesi pada Koreksi Atresia Esophagus dan Atresia Esofagus Fadli Armi Lubis; Hasanul Arifin
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 5, No 3 (2013): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (228.356 KB) | DOI: 10.14710/jai.v5i3.6312

Abstract

Pendahuluan : Atresia esofagus adalah suatu kondisi medis bawaan (cacat lahir) yang mempengaruhi saluran pencernaan. Cacat bawaan anatomi disebabkan oleh perkembangan embrio abnormal fistula esofagus membentuk tracheoesofageal. Bedah perbaikan adalah pengobatan definitif untuk EA dan TEF. Karena fistula, saluran napas diubah dan ahli anestesi harus menghadapi tantangan unik pada manajemen.Kasus : Seorang bayi laki-laki, masuk rumah sakit dengan keluhan utama muntah setelah disusui. Temuan fisik ditemukan ronki basah kasar pada suara napas. Intubasi menggunakan teknik intubasi sadar. Selama operasi, hemodinamik stabil, maintanance dengan sevofluran MAC 1 %, fentanil 4 mg / jam, dan rocuronium 0,5 mg / jam. Durasi operasi adalah sekitar 4 jam. Hemodinamik stabil selama operasi, dan menemukan TEF tipe C. Ketika desaturasi terjadi, kami menghentikan sejenak operasi, kami memeriksa posisi ETTat, memberikan ventilasi yang cukup, setelah beberapa saat saturasi naik dan kemudian operasi dilanjutkan. Meski demikan anastomose esofagus gagal dilakukan karena jarak antara cacat itu terlalu jauh. Setelah pasien operasi diambil dirawat di NICU dan 3 hari kemudian pasien meninggal.Ringkasan: Manajemen anestesi baik menggunakan "intubasi sadar" dan ventilasi yang baik adalah teknik yang dipilih dalam kasus ini. Operasi berlangsung 4 jam dengan hemodinamik stabil. Namun, karena operasi tidak berhasil memperbaiki cacat tersebut, maka hasil pasca operasi kurang baik. 
Keberhasilan Setelah Henti Jantung selama Torakotomi Emergensi disebabkan Luka Penetrasi Trauma Torak pada Kondisi Dengan Keterbatasan Fasilitas Mumya Camary; Akhyar H Nasution; Hasanul Arifin
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 6, No 1 (2014): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (458.67 KB) | DOI: 10.14710/jai.v6i1.6653

Abstract

Latar Belakang: Sebuah torakotomi darurat (kadang-kadang disebut sebagai torakotomi resusitasi) adalah torakotomi yang dilakukan untuk meresusitasi seseorang yang telah terluka parah setelah mengalami trauma berat pada rongga dada. Henti jantung dapat terjadi selama prosedur torakotomi yang memerlukan pijat jantung internal dan defibrilasi. Manajemen yang cepat dengan Kombinasi ramalan klinis, kemampuan untuk melihat perubahan tanda-tanda klinis, dan keberanian untuk melakukan prosedur bedah sederhana namun menyelamatkan nyawa dapat membawa perbedaan hasil bagi pasien luka dada bahkan di tempat dengan sumber daya terbatas.Kasus: Laki-laki, 31 tahun, berat badan perkiraan 70 kg dirawat di Rumah Sakit Haji Adam Malik dengan keluhan luka tusuk di dada kiri. Pemrisaan ronsen dada menunjukkan hemothorax luas di sisi kiri. Dokter bedah membuka dada yang terkena luka tusuk dan terlihat kolaps paru dengan darah diperkirakan 2.500 ml dari hemitoraks kiri, ahli bedah memutuskan untuk melakukan sternotomy dan kemudian menemukan robekan pada arteri mamaria interna kiri dan diligasi, ditemukan robek ventrikel kanan tetapi tidak ada pendarahan dari luka. Serangan jantung terjadi dan ahli bedah mulai pijat jantung internal dan resusitasi cairan, 15 menit setelahnya EKG menunjukkan VF, defibrilasi internal pada 20 joule, EKG menunjukkan sinus takikardia 145/min, setelah mengontrol perdarahan, prosedur operasi selesai dan dilakukan pemasangan selang dada. Pasien dipindahkan ke ICU untuk observasi. Pasien stabil dan tidak ada komplikasi pada pasca operasi . Pasien dipulangkan pada harike 8 pasca operasi.Ringkasan: Keputusan untuk melakukan torakotomi darurat melibatkan evaluasi yang cermat di bidang  ilmiah, isu-isu etika, sosial dan ekonomi. Manajemen yang cepat dengan Kombinasi ramalan klinis, kemampuan untuk melihat perubahan tanda-tanda klinis, dan keberanian untuk melakukan prosedur bedah sederhana namun menyelamatkan nyawa dapat membawa perbedaan hasil bagi pasien luka dada bahkan di tempat dengan sumber daya terbatasTabungan Waktu adalah tabungan hidup. 
Perbandingan Efek Analgesi Infiltrasi Morfin 10 Mg dan Bupivakain 0,5% 2 Mg/KgBB pada Seksio Sesarea dengan Teknik Anestesi Spinal Wulan Fadinie; Dadik Wahyu Wijaya; Hasanul Arifin
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 3 No 2 (2020): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v3i2.45

Abstract

Latar Belakang: Persalinan dengan seksio sesarea sangat umum dilakukan dan setiap intervensi yang dapat mengurangi rasa sakit pasca operasi layak diteliti lebih lanjut. Cara terbaik untuk mengurangi rasa sakit dengan memberikan analgesi yang langsung bekerja pada area luka. Telah diketahui morfin memiliki reseptor perifer sehingga pemberian secara subkutan dapat menjadi metode yang sangat efektif dalam manajemen nyeri pasca operasiTujuan: Membandingkan efek analgesi dari infiltrasi lokal morfin 10 mg dengan bupivakain 2mg/kgBB 0,5% pada pasca seksio sesarea dengan anestesi spinal. Subjek dan Metode: Penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar ganda dengan 100 sampel wanita hamil, usia 20-40 tahun, PS-ASA I-II yang akan menjalani seksio sesarea elektif dan darurat dengan anestesi spinal. Setelah dihitung secara statistik, sampel dibagi secara acak menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama mendapat morfin 10 mg dan kelompok kedua mendapat bupivakain 0,5% 2 mg/kgBB secara infiltrasi lokal subkutan didaerah luka operasi. Skala nyeri dinilai dengan VAS. Hasilnya diuji dengan uji T-independent, Chi-Square, dengan nilai signifikan 95% (p <0,05%, signifikan secara statistik). Hasil: Pada kelompok morfin pemberian analgesi tambahan lebih sedikit daripada kelompok bupivakain, hasilnya berbeda bermakna secara statistik (p <0.05) pada setiap jam pengamatan. Efek samping tidak ditemukan pada kedua kelompok. Kelompok morfin meringankan rasa sakit lebih baik daripada kelompok bupivakain dengan skor VAS yang lebih rendah pada setiap jam pengamatanSimpulan: Infiltrasi lokal subkutan 10 mg morfin memberikan efek analgetik yang lebih baik pada pasien pasca seksio sesarea dengan anestesi spinal dibandingkan dengan bupivacain 0,5% 2 mg/kgBB, tanpa efek samping. Comparison of the Analgesic Effects of 10 mg Morphine and 2mg/BW Bupivacaine 0.5% Infiltration in Cesarean Section with Spinal Anesthesia Technique Abstract Background: Nowadays, deliveries by cesarean section are more commonly done, any intervention that can make progression to reduce post-operative pain are feasible for further study. The best way to reduce pain is by administration pain relieve drug that directly act in wound. It is known that morphine has peripheral receptors, so subcutaneous administration can be a very effective method of postoperative pain management. Objective: To compare analgetic effect from local infiltration of 10 mg morphine with 2mg/BW bupivacaine 0.5% in post cesarean section with spinal anesthesiaSubject and Methods: This study was done by double blinded randomized clinical trial with 100 samples of pregnant women, age 20-40 years, PS-ASA I-II that will undergo elective and emergency cesarean section with spinal anesthesia. After calculated statistically, all samples divided randomly into 2 groups. First group got morphine 10 mg and second group got bupivacaine 0.5% 2 mg/BW infiltration at the area of surgical wound. Pain scale was evaluated by VAS. The result was tested by T-independent test, Chi-Square, with significant value 95% (p<0.05%, statistically significant). Result: In morphine group, the additional analgesia was less than bupivacaine group, the results were statistically significant (p <0.05) at each hour of observation. No side effects were found in either group. The morphine group relieved pain better than the bupivacaine group with lower VAS scores at each hour of observation.Conclusion: Infiltration of 10 mg morphine subcutaneous compared to bupivacaine 0.5% 2mg/BW give better analgetic effect in post cesarean section patients with spinal anesthesia, without any side effects