Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

Conservation of Agroecosystem through Utilization of Parasitoid Diversity: Lesson for Promoting Sustainable Agriculture and Ecosystem Health DAMAYANTI BUCHORI; BANDUNG SAHARI; NURINDAH NURINDAH
HAYATI Journal of Biosciences Vol. 15 No. 4 (2008): December 2008
Publisher : Bogor Agricultural University, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (145.866 KB) | DOI: 10.4308/hjb.15.4.165

Abstract

For many years, agricultural intensification and exploitation has resulted in biodiversity loss and threaten ecosystem functioning. Developing strategies to bridge human needs and ecosystem health for harmonization of ecosystem is a major concern for ecologist and agriculturist. The lack of information on species diversity of natural enemies and how to utilize them with integration of habitat management that can renovate ecological process was the main obstacle. Parasitoids, a group of natural enemies, play a very important role in regulating insect pest population. During the last ten years, we have been working on exploration of parasitoid species richness, how to use it to restore ecosystem functions, and identifying key factors influencing host-parasitoid interaction. Here, we propose a model of habitat management that is capable of maintaining agricultural biodiversity and ecosystem functions. We present data on parasitoid species richness and distribution in Java and Sumatera, their population structure and its impact toward biological control, relationship between habitat complexes and parasitoid community, spatial and temporal dynamic of parasitoid diversity, and food web in agricultural landscape. Implications of our findings toward conservation of agroecosystem are discussed. Key words: conservation, agroecosystem, parasitoid, diversity, ecosystem health
EFEKTIVITAS DAN KOMPATIBILITAS EKSTRAK BIJI MIMBA UNTUK MENGENDALIKAN KOMPLEKS PENGGEREK BUAH KAPAS Nurindah Nurindah; Dwi Adi Sunarto; Sujak Sujak
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Vol 23, No 1 (2012): BULETIN PENELITIAN TANAMAN REMPAH DAN OBAT
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/bullittro.v23n1.2012.%p

Abstract

Kompleks penggerek buah kapas (Helicoverpa armigera Hūbner dan Pectinophora gossypiella Saunders) merupakan serangga hama yang masih menjadi fokus pengendalian dalam budidaya kapas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efektivitas dan kompatibilitas ekstrak biji mimba (EBM[H1] ) untuk mengendalikan kompleks penggerek buah. Penelitian dilakukan di KP. Asembagus pada Musim Penghujan (MP) 2009, disusun dalam rancangan petak terbagi dengan 2[H2] dua faktor dengan tiga ulangan3[H3] . Petak utama adalah tata tanam : Kapas monokultur serta Tum-pangsari kapas, kacang hijau dan jagung. Anak petak adalah teknik pengendalian : Insektisida kimia sintetis, yaitu aplikasi insektisida berdasarkan ambang kendali; Insektisida nabati EBM aplikasi EBM secara berjadwal 7[H4] tujuh hari sekali (40-75 hari setelah tanam); Parasitoid telur (T), pelepasan Trichogrammatoidea bactrae berjadwal 10 hari sekali (40-90 hst); T dan EBM; pelepasan parasitoid telur secara berjadwal 10 hari sekali (40-90 hst); jika populasi penggerek buah masih mencapai ambang kendali dilakukan aplikasi EBM; dan Kontrol, tanpa pene-rapan pengendalian. Pengamatan dilaku-kan terhadap : Perkembangan populasi H. armigera, P. gossypiella, dan preda-tor; kerusakan buah; dan hasil kapas berbiji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi H. armigera dapat dikendalikan pada tingkat yang tidak merusak oleh semua teknik pengendalian yang diuji. Kerusakan buah oleh P. gossypiella pada M[H5] perlakuan monokultur lebih tinggi 21% dibandingkan pada TS[H6] perlakuan tumpangsari. Aplikasi EBM secara berjadwal tidak mampu menekan infestasi larva P. gossypiella ke dalam buah, tetapi jika ditambahkan pelepasan parasitoid telur infestasi larva P. gossypiella dapat ditekan hingga 40%. Pelepasan parasitoid telur dan penyem-protan EBM dapat mempertahankan produksi kapas berbiji hingga 1.176 kg/ ha. EBM mempunyai kompatibilitas yang tinggi dengan pelepasan parasitoid telur dalam pengendalian kompleks penggerek buah kapas, baik dalam sistem tanam monokultur maupun tumpangsari. dengan palawija[H1]Ekstrak biji mimba (EBM)[H2]dua[H3]tiga[H4]tujuh[H5]perlakuan mono kultur (M)[H6]perlakuan tumpang sari (TS)
Karakteristik Kimia Serat Buah, Serat Batang, dan Serat Daun Elda Nurnasari; Nurindah Nurindah
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 9, No 2 (2017): Oktober 2017
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/btsm.v9n2.2017.64-72

Abstract

Serat alam yang berasal dari tanaman non-kayu dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu serat buah, serat batang dan serat daun.  Masing-masing jenis serat alam tersebut memiliki karakteristik yang berbeda.  Karakter kimia, fisik, maupun dinamik dari serat alam diperlukan untuk pengembangan pemanfaatannya sebagai bahan baku industri strategis berbasis serat.  Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis karakteristik kimia serat buah (kapas), serat batang (abaka), dan serat daun (sisal), serta membahas peluang pemanfaatannya dalam industri berbasis serat alam. Informasi mengenai karakteristik kimia serat diperlukan sebagai dasar untuk pemanfaatan serat sebagai bahan baku dalam industri strategis. Data karakteristik kimia serat alam juga diperlukan sebagai dasar pembuatan produk-produk turunannya (diversifikasi produk) sehingga dapat menjadi nilai tambah bagi produk tanaman serat. Analisis karakter kimia serat alam dilakukan dengan menggunakan metode Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk mendapatkan informasi tentang kandungan selulosa, hemiselulosa, holoselulosa, lignin, dan pentosan, serta kadar zat ekstraktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serat buah kapas memiliki kandungan selulosa tertinggi (98,06%), serat batang abaka mempunyai kandungan lignin tertinggi (7,63%), sedangkan serat daun sisal mempunyai kandungan hemiselulosa tertinggi (21,97%).  Kadar holoselulosa ketiga jenis serat hampir sama, yaitu antara 93,3–94,7%. Kadar zat ekstraktif (kelarutan alkohol-benzena, air panas dan air dingin) ketiga jenis serat termasuk kecil (<5%) yaitu antara 0,63–4,44%. Informasi tentang karakter kimia serat alam tersebut hendaknya dipadukan dengan informasi karakter fisik dan dinamik serat untuk dikembangkan sebagai bahan baku industri strategis berbasis serat, misalnya kertas uang, biokomposit untuk industri automotif, biopolymer dan produk yang berbasis nano fiber.Chemical Characteristics of Boll, Bast, and Leaf FibersNon-wood natural fibers are categorized into three groups, viz. boll fiber, bast fiber and leaf fiber.  Those natural fibers have specific characters.  Chemical characters as well as physical and dynamical characters of the fibers are useful for their utilization in natural fiber based industries.  This research aims are to analyse chemical characters of cotton boll fibers, bast fiber of abaca, and leaf fiber of sisal, as well as to discuss the possibility of their use in fiber based industries.   The information of the fibers chemical characters is needed for developing their use as the main materials of strategic industries.  The data are also useful for developing derivates products or product diversification, so that could be an added value of the natural fibers.  The characterization of those fibers used Indonesian National Standard (SNI) methods to analyse the content of cellulose, hemi cellulose, holocellulose, lignin, and pentosan, as well as the extractive compounds.  Result showed that cotton fiber has the highest cellulose content (98.06%), the bast fiber of abaca has the highest lignin content (7.63%), and sisal has the highest hemicellulose content (21.9%).  Holocellulose content of those fibers were around 93.3-94.7%.  The content of extractive compound of the fibers (in term of disolve capacity of fiber in alcohol-benzene, hot and cold water) was catogerized as very low (less than 5%).  These information regarding to the chemical characters of those three fibers when are integrated with the fiber-physical and dynamical characters would be useful for developing the utilization of the fibers into natural-fiber-based industries, such as paper money, biocomposite for automotive industry, biopolymers, and nano fiber products.
Pemanfaatan Lignin dari Biomassa Tanaman Serat Untuk Sumber Bioenergi Farida Rahayu; Mala Murianingrum; Nurindah Nurindah
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 11, No 2 (2019): OKTOBER 2019
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/btsm.v11n2.2019.73-85

Abstract

AbstrakBiomassa lignosellulosa memiliki potensi sebagai material penghasil bahan kimia dan biomaterial.  Lignin adalah polimer alami yang ketersediaannya paling melimpah kedua setelah selulosa. Lignin merupakan biopolimer berbasis fenol dan memiliki kandungan karbon lebih tinggi daripada oksigen yaitu dengan ratio 2:1 sehingga kandungan energinya lebih besar daripada selulosa. Hal ini menjadikan lignin sebagai bahan baku untuk  memproduksi bahan bakar dan senyawa aromatik seperti fenol, benzene, toluene, xilen, karbon fiber, karbon aktif dan material komposit lainnya. Bahan-bahan tersebut digunakan secara berkelanjutan dalam suatu produksi, sebagai sumber energi, katalis dan untuk mengatasi polusi lingkungan atau kontaminasi. Tersedia berbagai sumber lignin, termasuk tanaman serat seperti agave, kenaf dan rami. Sifat fisik dan sifat kimia lignin akan berbeda antara satu dengan lainnya tergantung dari asal sumbernya dan metode ekstraksi yang digunakan. Keberhasilan dalam mencapai tujuan pemanfaatan lignin tergantung pada pengembangan teknologi untuk mengatasi tantangan-tantangan, seperti: 1) teknologi pretreatmen yang efisien dan teknologi ektraksi untuk pemisahan lignin dengan kemurnian tinggi; 2) analisis dan karakterisasi kuantitatif yang tepat untuk lignin dalam proses transformasi kimia; 3) pendekatan baru untuk konversi lignin menjadi produk berharga. Tinjauan ini merangkum inovasi mutakhir terbaru dari konversi lignin dengan fokus pada tiga aspek utama yang disebutkan di atas serta potensi tanaman serat sebagai sumber lignin yang terbarukan.Abstract Utilization of Lignin from fiber crops biomass for bioenergy resources Lignocellulosic biomass has the potential to produce chemicals and biomaterials. Lignin is a natural polymer whose availability is the second most abundant after cellulose. Lignin is a phenol-based biopolymer and has a higher carbon content than oxygen in a ratio of 2: 1, so that the energy content is greater than cellulose. This makes lignin as a raw material for producing fuels and aromatic compounds such as phenols, benzene, toluene, xylene, carbon fiber, activated carbon and other composite materials. These materials are used sustainably in a production, as a source of energy, as a catalyst and to overcome environmental pollution or contamination. Various sources of lignin are available, including fiber plants such as agave, kenaf and flax. The physical and chemical properties of lignin differ from one another depending on the origin of the source and the extraction method used. Success in achieving the goal to utilize lignin depends on developing technology to overcome the following challenges, such as: 1) efficient pretreatment technology and extraction technology for the separation of high-purity lignin; 2) appropriate quantitative analysis and characterization for lignin in the process of chemical transformation; 3) a new approach to the conversion of lignin into valuable products. This review summarizes the latest up-to-date innovations of lignin conversion with a focus on the three main aspects mentioned above and the potential of fiber crops as a source of renewable lignin
Pengelolaan Agroekosistem dalam Pengendalian Hama NURINDAH NURINDAH
Perspektif Vol 5, No 2 (2006): Desember 2006
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v5n2.2006.%p

Abstract

ABSTRAKPengelolaan agroekosistem dalam pengendalian hama, merupakan salah satu metode dalam Pengendalian Hama   Terpadu (PHT)   yang   diterapkan   dengan pendekatan ekologi.  Penerapan metode ini dilakukan setelah   dipahami   faktor-faktor   penyebab   suatu agroekosistem menjadi rentan terhadap eksplosi hama, dan   dikembangkan   metode-metode   yang   dapat meningkatkan   ketahanan   agroekosistem   tersebut terhadap   eksplosi   hama.   Prinsip   utama   dalam pengelolaan agroekosistem untuk pengendalian hama adalah menciptakan keseimbangan antara herbivora dan musuh alaminya melalui peningkatan keragaman hayati. Peningkatan keragaman vegetasi dan penambahan biomassa, dapat meningkatkan keragam-an hayati dalam suatu agroekosistem.  Peningkatan keragaman  vegetasi  dilakukan  melalui  pola  tanam polikultur   dengan   pengaturan   agronomis   yang optimal.  Penambahan  biomassa  dilakukan  dengan mengaplikasikan mulsa, penambahan pupuk hijau dan pupuk kandang.  Kedua metode ini ditujukan untuk mendapatkan produktivitas lahan yang optimal dan berkelanjutan.Kata kunci: Kapas, Gossypium hyrsutum, Pengendalian Hama Terpadu, pengelolaan agro-ekosistem, keragaman hayati. ABSTRACTAgroecosystem management for Pest ControlAgroecosystem  management  is  an  Integrated  Pest Management (IPM) with ecological approaches.  This method can be applied when the factors that make the agro ecosystem become vulnerable to pest outbreak are known. The main  agroecosystem management for pest management is to create the balance between herbivores and their natural enemies by increasing biodiversity, enhancing vegetations and biomasses. Increasing  vegetation diversity can be done by adopting poly culture systems, optimizing agronomic arrangements.  Increasing biomasses can be done by applying mulch, green manures, and cattle manures. Both  methods  are  aimed  to  obtain  optimal  land productivity and sustainability.Key words: Cotton,  Gossypium hirsutum, Integrated Pest Management, agroecosystem management,  biodiversity
PENGARUH MENGUNYAH PERMEN KARET XYLITOL TERHADAP pH SALIVA PEROKOK R Ardian Priyambodo; Nurindah Nurindah
Media Kesehatan Gigi : Politeknik Kesehatan Makassar Vol 17, No 1 (2018)
Publisher : poltekkes kemenkes makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (337.695 KB) | DOI: 10.32382/mkg.v17i1.165

Abstract

Kebiasaan merokok dalam jangka waktu yang dapat menurunkan pH saliva. Karies gigi pada perokok 3 kali lebih banyak dibandingkan yang bukan perokok. Permen karet Xylitol berguna untuk merangsang sekresi saliva. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh permen karet Xylitol terhadap pH saliva perokok. Penelitian dilakukan dengan rancangan eksperimental pretest-posttest control group design. Terdiri atas 10 sampel yaitu perokok aktif yang telah memenuhi kriteria inklusi. Hasil penelitian berdasarkan berdasarkan Uji Normalitas Data menunjukkan bahwa semua data berdistribusi normal (p < 0,05). Analisis dengan Uji t-paired menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pH saliva secara bermakna (P < 0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa mengunyah dua butir permen karet Xylitol selama 5 menit dapat meningkatkan pH saliva perokok selama 3 jam. Hal ini disebabkan karena pemberian permen karet Xylitol dapat menstimulasi sekresi saliva dan meningkatkan komposisi pH saliva. Perubahan komposisi ini menstimulasi kemampuan saliva untuk mencegah penurunan pH dan mencegah kerusakan pada gigi. Disimpulkan bahwa mengunyah dua butir permen karet Xylitol selama 5 menit dapat meningkatkan pH saliva perokok dalam jangka waktu tiga jam, sehingga disarankan bagi perokok, terutama perokok aktif untuk mengunyah permen karet setiap tiga jam membantu upaya mencegah terjadinya kerusakan gigi.
Konservasi Musuh Alami Serangga Hama sebagai Kunci Keberhasilan PHT Kapas NURINDAH NURINDAH; DWI ADI SUNARTO
Perspektif Vol 7, No 1 (2008): Juni 2008
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v7n1.2008.%p

Abstract

RINGKASANSejak   awal   pengembangan   kapas   di   Indonesia, serangga hama merupakan salah satu aspek penting dalam  budidaya  kapas,  sehingga  ditetapkan  sistem pengendalian dengan penyemprotan insektisida kimia sintetik  secara  berjadwal  sebanyak 7  kali  selama semusim dengan jumlah insektisida hingga 12 l/ha. Pengembangan  PHT  kapas  ditekankan  pada  sistem pengendalian   non-kimiawi   dengan   memanfaatkan secara optimal faktor-faktor mortalitas biotik serangga hama utama, yaitu wereng kapas Amrasca biguttulla (Ishida)   dan   penggerek   buah   Helicoverpa   armigera (Hubner).  Optimalisasi musuh alami serangga hama kapas dilakukan melalui tindakan konservasi, yaitu memberikan lingkungan yang mendukung terhadap musuh  alami  untuk  dapat  berperan  sebagai  faktor mortalitas biotik, sehingga populasi serangga hama dapat dijaga untuk selalu berada pada tingkat yang rendah.  Tindakan konservasi musuh alami dilakukan dengan   memperbaiki   bahan   tanaman   dan   teknik budidaya   yang   dapat   mendukung   perkembangan musuh alami, yaitu penggunaan varietas kapas yang tahan   terhadap   wereng   kapas,   sistem   tanam tumpangsari  dengan  palawija,  penggunaan  mulsa, penerapan    konsep    ambang    kendali    dengan mempertimbangkan  keberadaan  musuh  alami  dan aplikasi insektisida botani, jika diperlukan.  Penerapan PHT kapas dengan mengutamakan konservasi musuh alami, berhasil mengendalikan populasi hama tanpa melakukan    penyemprotan    insektisida    dengan produksi   kapas   berbiji   yang   tidak   berbeda   dari produksi budidaya kapas dengan sistem pengendalian hama    menggunakan    penyemprotan    insektisida, sehingga menghemat biaya input dan meningkatkan pendapatan petani.  Konservasi musuh alami melalui penerapan    komponen    PHT    sebenarnya    dapat dilakukan petani dengan mudah, karena komponen PHT  tersebut  pada  umumnya  merupakan  praktek budidaya kapas yang sudah biasa dilakukan petani.Kata  kunci:  Kapas,  Gossypium  hirsutum,  Helicoverpa armigera,   Amrasca   biguttulla,   ambang kendali, musuh alami, PHT.  ABSTRACKConservation of natural enemies is the key for successful IPM on cottonSince early development of cotton in Indonesia, insect pests  were  the  most  important  aspect  of  the  crop cultivation, so that the scheduled sprays of insecticides were applied.  The frequency of sprays were 7 times using 12 l/ha of insecticides per season. The development of IPM on cotton is emphasized on non-chemical control methods by optimizing the role of natural enemies of the key pests, i.e., cotton jassid Amrasca   biguttulla  (Ishida)   and   cotton   bollworm Helicoverpa  armigera  (Hubner).  Conservation  of  the natural enemies provides the suitable environment for them to be an effective mortality factor so that the pests could   be   maintained   always   in   low   population. Conservation  of  the  natural  enemies  was  done  by improving the plant material and cultural techniques. These include the use of resistant cotton variety to jassid,  intercropping  with  secondary  food  crops, applying mulch, and adopting the action threshold concept which considers the natural enemies presence, and   using   botanical   insecticide   if   necessary. Conservation of natural enemies on IPM successfully controlled  the  cotton  pests  without  any  pesticide sprays  and  the  production  of  cotton  seed  did  not significantly different with that use insecticide sprays. This leads to reduction of cost production and increase the farmers’ income. Conservation of natural enemies  by applying IPM components should be no difficulty to be applied, as the components are mostly those that usually practice by the farmers.Key words: Cotton, Gossypium hirsutum,Helicoverpa armigera, Amrasca  biguttulla,  action threshold, natural enemies, IPM.
Karakteristik Kimia Serat Buah, Serat Batang, dan Serat Daun Elda Nurnasari; Nurindah Nurindah
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 9, No 2 (2017): Oktober 2017
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (502.992 KB) | DOI: 10.21082/btsm.v9n2.2017.64-72

Abstract

Serat alam yang berasal dari tanaman non-kayu dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu serat buah, serat batang dan serat daun.  Masing-masing jenis serat alam tersebut memiliki karakteristik yang berbeda.  Karakter kimia, fisik, maupun dinamik dari serat alam diperlukan untuk pengembangan pemanfaatannya sebagai bahan baku industri strategis berbasis serat.  Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis karakteristik kimia serat buah (kapas), serat batang (abaka), dan serat daun (sisal), serta membahas peluang pemanfaatannya dalam industri berbasis serat alam. Informasi mengenai karakteristik kimia serat diperlukan sebagai dasar untuk pemanfaatan serat sebagai bahan baku dalam industri strategis. Data karakteristik kimia serat alam juga diperlukan sebagai dasar pembuatan produk-produk turunannya (diversifikasi produk) sehingga dapat menjadi nilai tambah bagi produk tanaman serat. Analisis karakter kimia serat alam dilakukan dengan menggunakan metode Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk mendapatkan informasi tentang kandungan selulosa, hemiselulosa, holoselulosa, lignin, dan pentosan, serta kadar zat ekstraktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serat buah kapas memiliki kandungan selulosa tertinggi (98,06%), serat batang abaka mempunyai kandungan lignin tertinggi (7,63%), sedangkan serat daun sisal mempunyai kandungan hemiselulosa tertinggi (21,97%).  Kadar holoselulosa ketiga jenis serat hampir sama, yaitu antara 93,3–94,7%. Kadar zat ekstraktif (kelarutan alkohol-benzena, air panas dan air dingin) ketiga jenis serat termasuk kecil (<5%) yaitu antara 0,63–4,44%. Informasi tentang karakter kimia serat alam tersebut hendaknya dipadukan dengan informasi karakter fisik dan dinamik serat untuk dikembangkan sebagai bahan baku industri strategis berbasis serat, misalnya kertas uang, biokomposit untuk industri automotif, biopolymer dan produk yang berbasis nano fiber.Chemical Characteristics of Boll, Bast, and Leaf FibersNon-wood natural fibers are categorized into three groups, viz. boll fiber, bast fiber and leaf fiber.  Those natural fibers have specific characters.  Chemical characters as well as physical and dynamical characters of the fibers are useful for their utilization in natural fiber based industries.  This research aims are to analyse chemical characters of cotton boll fibers, bast fiber of abaca, and leaf fiber of sisal, as well as to discuss the possibility of their use in fiber based industries.   The information of the fibers chemical characters is needed for developing their use as the main materials of strategic industries.  The data are also useful for developing derivates products or product diversification, so that could be an added value of the natural fibers.  The characterization of those fibers used Indonesian National Standard (SNI) methods to analyse the content of cellulose, hemi cellulose, holocellulose, lignin, and pentosan, as well as the extractive compounds.  Result showed that cotton fiber has the highest cellulose content (98.06%), the bast fiber of abaca has the highest lignin content (7.63%), and sisal has the highest hemicellulose content (21.9%).  Holocellulose content of those fibers were around 93.3-94.7%.  The content of extractive compound of the fibers (in term of disolve capacity of fiber in alcohol-benzene, hot and cold water) was catogerized as very low (less than 5%).  These information regarding to the chemical characters of those three fibers when are integrated with the fiber-physical and dynamical characters would be useful for developing the utilization of the fibers into natural-fiber-based industries, such as paper money, biocomposite for automotive industry, biopolymers, and nano fiber products.
Pemanfaatan Lignin dari Biomassa Tanaman Serat Untuk Sumber Bioenergi Farida Rahayu; Mala Murianingrum; Nurindah Nurindah
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 11, No 2 (2019): OKTOBER 2019
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (27.238 KB) | DOI: 10.21082/btsm.v11n2.2019.73-85

Abstract

AbstrakBiomassa lignosellulosa memiliki potensi sebagai material penghasil bahan kimia dan biomaterial.  Lignin adalah polimer alami yang ketersediaannya paling melimpah kedua setelah selulosa. Lignin merupakan biopolimer berbasis fenol dan memiliki kandungan karbon lebih tinggi daripada oksigen yaitu dengan ratio 2:1 sehingga kandungan energinya lebih besar daripada selulosa. Hal ini menjadikan lignin sebagai bahan baku untuk  memproduksi bahan bakar dan senyawa aromatik seperti fenol, benzene, toluene, xilen, karbon fiber, karbon aktif dan material komposit lainnya. Bahan-bahan tersebut digunakan secara berkelanjutan dalam suatu produksi, sebagai sumber energi, katalis dan untuk mengatasi polusi lingkungan atau kontaminasi. Tersedia berbagai sumber lignin, termasuk tanaman serat seperti agave, kenaf dan rami. Sifat fisik dan sifat kimia lignin akan berbeda antara satu dengan lainnya tergantung dari asal sumbernya dan metode ekstraksi yang digunakan. Keberhasilan dalam mencapai tujuan pemanfaatan lignin tergantung pada pengembangan teknologi untuk mengatasi tantangan-tantangan, seperti: 1) teknologi pretreatmen yang efisien dan teknologi ektraksi untuk pemisahan lignin dengan kemurnian tinggi; 2) analisis dan karakterisasi kuantitatif yang tepat untuk lignin dalam proses transformasi kimia; 3) pendekatan baru untuk konversi lignin menjadi produk berharga. Tinjauan ini merangkum inovasi mutakhir terbaru dari konversi lignin dengan fokus pada tiga aspek utama yang disebutkan di atas serta potensi tanaman serat sebagai sumber lignin yang terbarukan.Abstract Utilization of Lignin from fiber crops biomass for bioenergy resources Lignocellulosic biomass has the potential to produce chemicals and biomaterials. Lignin is a natural polymer whose availability is the second most abundant after cellulose. Lignin is a phenol-based biopolymer and has a higher carbon content than oxygen in a ratio of 2: 1, so that the energy content is greater than cellulose. This makes lignin as a raw material for producing fuels and aromatic compounds such as phenols, benzene, toluene, xylene, carbon fiber, activated carbon and other composite materials. These materials are used sustainably in a production, as a source of energy, as a catalyst and to overcome environmental pollution or contamination. Various sources of lignin are available, including fiber plants such as agave, kenaf and flax. The physical and chemical properties of lignin differ from one another depending on the origin of the source and the extraction method used. Success in achieving the goal to utilize lignin depends on developing technology to overcome the following challenges, such as: 1) efficient pretreatment technology and extraction technology for the separation of high-purity lignin; 2) appropriate quantitative analysis and characterization for lignin in the process of chemical transformation; 3) a new approach to the conversion of lignin into valuable products. This review summarizes the latest up-to-date innovations of lignin conversion with a focus on the three main aspects mentioned above and the potential of fiber crops as a source of renewable lignin
Pengelolaan Agroekosistem dalam Pengendalian Hama NURINDAH NURINDAH
Perspektif Vol 5, No 2 (2006): Desember 2006
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (186.215 KB) | DOI: 10.21082/p.v5n2.2006.%p

Abstract

ABSTRAKPengelolaan agroekosistem dalam pengendalian hama, merupakan salah satu metode dalam Pengendalian Hama   Terpadu (PHT)   yang   diterapkan   dengan pendekatan ekologi.  Penerapan metode ini dilakukan setelah   dipahami   faktor-faktor   penyebab   suatu agroekosistem menjadi rentan terhadap eksplosi hama, dan   dikembangkan   metode-metode   yang   dapat meningkatkan   ketahanan   agroekosistem   tersebut terhadap   eksplosi   hama.   Prinsip   utama   dalam pengelolaan agroekosistem untuk pengendalian hama adalah menciptakan keseimbangan antara herbivora dan musuh alaminya melalui peningkatan keragaman hayati. Peningkatan keragaman vegetasi dan penambahan biomassa, dapat meningkatkan keragam-an hayati dalam suatu agroekosistem.  Peningkatan keragaman  vegetasi  dilakukan  melalui  pola  tanam polikultur   dengan   pengaturan   agronomis   yang optimal.  Penambahan  biomassa  dilakukan  dengan mengaplikasikan mulsa, penambahan pupuk hijau dan pupuk kandang.  Kedua metode ini ditujukan untuk mendapatkan produktivitas lahan yang optimal dan berkelanjutan.Kata kunci: Kapas, Gossypium hyrsutum, Pengendalian Hama Terpadu, pengelolaan agro-ekosistem, keragaman hayati. ABSTRACTAgroecosystem management for Pest ControlAgroecosystem  management  is  an  Integrated  Pest Management (IPM) with ecological approaches.  This method can be applied when the factors that make the agro ecosystem become vulnerable to pest outbreak are known. The main  agroecosystem management for pest management is to create the balance between herbivores and their natural enemies by increasing biodiversity, enhancing vegetations and biomasses. Increasing  vegetation diversity can be done by adopting poly culture systems, optimizing agronomic arrangements.  Increasing biomasses can be done by applying mulch, green manures, and cattle manures. Both  methods  are  aimed  to  obtain  optimal  land productivity and sustainability.Key words: Cotton,  Gossypium hirsutum, Integrated Pest Management, agroecosystem management,  biodiversity