Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

DAMPAK SOSIAL TEKNOLOGI KOMUNIKASI BARU: MEMIKIRKAN ULANG KONSEP COPYRIGHT DI INTERNET Abdul Wahid
SOURCE : Jurnal Ilmu Komunikasi Source : Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 6 Nomor 1 April 2020
Publisher : Universitas Teuku Umar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35308/source.v6i1.1761

Abstract

Permasalahan hak cipta terus melahirkan perdebatan cukup panjang sejak gagasan ini pertama kali dikenalkan pada abad 18. Beberapa aspek seperti diversitas budaya, penyebaran pengetahuan, fair use, kontrol dan monopoli karya, sampai durasi berlakunya hak cipta merupakan domain permasalahan yang masih diberdebatkan hingga saat ini. Aktivitas saling berbagi antar pengguna (peer to peer) di internet dinilai sebagai pelanggaran hak cipta. Padahal, aktivitas tersebut juga dilakukan dalam dunia nyata sebagai bentuk penggunaan wajar, sama seperti meminjamkan buku yang telah dibeli.  Jika kegiatan saling berbagi antar pengguna di internet ini didefinisikan sebagai pelanggaran hak cipta, maka sebenarnya di ranah media baru hukum bekerja secara lebih dalam; mengatur kebiasaan yang tidak diatur dalam kehidupan nyata. Melihat permasalahan tersebut, paper ini berusaha menganalisis dengan fokus spesifik: meninjau ulang konsep hak cipta dalam media baru. Tesis utama dari paper ini berusaha untuk mengkontekstualisasikan isu hak cipta sesuai dengan era perkembangan dan inovasi teknologi yang tak terelakkan. Untuk itu, beberapa hal akan dijabarkan; dampak sosial teknologi komunikasi, konteks sosial perkembangan internet, teknologi dan karya cipta, copyright, dan kritik terhadap copyright. Tinjauan kritis ini akan melahirkan gagasan alternatif mengenai konsep copy right ketika diterapkan dalam media baru.
Memahami Konsepsi “Kafir” pada Organisasi Keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah di Media Sosial Abdul Wahid; Fariza Yuniar Rakhmawati; Nia Ashton Destrity
KOMUNIKATIF : Jurnal Ilmiah Komunikasi Vol. 9 No. 2 (2020)
Publisher : Fakultas Ilmu Komunikasi UKWMS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33508/jk.v9i2.2371

Abstract

Radikalisme muncul dan berkembang di latar sosial berbeda. Di Asia, radikalisme muncul dalam bentuk identitas kelompok agama seperti ekstrem Buddha di Myanmar, ekstrem Hindu di India, dan militan Muslim di Timur Tengah dan Asia, termasuk Indonesia. Pada perkembangannya, radikalisme mewujud dalam bentuk pelabelan seperti “kafir” yang membawa konsekuensi pada diskriminasi, terutama pada kelompok non-muslim. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah juga mengambil peran dalam penggunaan istilah ini. Riset ini berupaya untuk mengungkap konstruksi “kafir” oleh media di organisasi keagamaan melalui pendekatan semiotika struktural Saussure. Hasil riset menunjukkan bahwa organisasi Islam NU dan Muhammadiyah memiliki konstruksi berbeda terhadap istilah “kafir”. NU menyepakati bahwa terdapat dua konteks yang berbeda dalam penggunaan istilah “kafir”, yaitu dalam konteks keimanan (agama) dan konteks bernegara. NU merekomendasikan untuk menghilangkan penggunaan istilah “kafir” bagi non-muslim dan menggantinya dengan istilah muwathinun (warga negara) dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbeda dengan NU, Muhammadiyah menekankan bahwa penggunaan istilah “kafir” memiliki kecenderungan merujuk kepada non-muslim. Istilah “kafir” tidak boleh dihilangkan dalam ajaran Islam, namun penyebutan “kafir” perlu digunakan secara bijak. Komunikasi menjadi perantara sentral dalam diskursus tentang politik identitas di Indonesia.