Ketut Wiradnyana
Unknown Affiliation

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Aspek-aspek Kemaritiman di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi dari Masa Mesolitik Hingga Tradisi Megalitik Ketut Wiradnyana
Berkala Arkeologi Sangkhakala Vol 19 No 1 (2016)
Publisher : Balai Arkeologi Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (736.388 KB) | DOI: 10.24832/bas.v19i1.21

Abstract

AbstractMaritime aspects in the western part of Indonesia are known from the presence of shell mound sites, which show Mesolithic characteristics and elements of Hoabinhian Culture. The shell mound sites along the east coast of Sumatra Island reveal that coastal areas were very important in providing for life in the past because of the marine biota that can be exploited. The Hoabinhian Culture on highland areas also bears traces of maritime aspects. Likewise are the Neolithic and sites that dispersed on highland areas. Various kinds of mollusks were still exploited on the highlands. Even the religions and social structures that bear maritime characteristics were still preserved. The attempt to recognize the maritime aspects during the periods is done by determining various artifacts, ecofacts, and other finds in relation with the marine environment, as well as through ethnoarchaeology studies by observing patterns of meaningsin the cultures of several traditional communities in the western part of Indonesia. The effort to determine archaeological objects, supported by ethnoarchaeology studies, will portray various maritime aspects that can be recognized through the aspects of the environment, biota, religion, technology, aesthetic, and other social aspects.AbstrakAspek kemaritiman di indonesia bagian barat diketahui dari keberadaan situs-situs bukit kerang yang memiliki periode Mesolitik, dengan budaya pendukungnya Hoabinh. Situs-situs bukit kerang yang tersebar di pesisir timur Pulau Sumatera menunjukkan bahwa kawasan pantai merupakan areal yang sangat penting dalam mendukung kehidupan masa itu, mengingat berbagai biota laut menjadi objek yang dieksploitasi. Keberadaan budaya Hoabinh di dataran tinggi juga masih menunjukkan sisa-sisa aspek kemaritiman. Sebaran situs di dataran tinggi pada masa Neolitik dan Megalitik juga masih menunjukkan aspek kemaritiman. Berbagai jenis moluska yang hidup di dataran tinggi masih menjadi bahan pangan yang dieksploitasi, bahkan aspek religi dan struktur sosial yang berkaitan dengan ciri kemaritiman masih dipertahankan. Upaya mengetahui aspek kemaritiman pada beberapa periode tersebut, tentu akan diketahui melalui determinasi berbagai artefak, ekofak dan lainnya yang terkait dengan lingkungan laut. Pemahaman aspek kemaritiman juga dilakukan melalui etnoarkeologi, dengan melihat berbagai pola makna yang terkandung dalam kebudayaan masyarakat tradisional di indonesia bagian barat. Determinasi objek arkeologis yang disertai dengan kajian etnoarkeologi menggambarkan berbagai aspek kemaritiman yang dapat dikenali dari aspek lingkungan, biota, religi, teknologi, estetika dan aspek sosial lainnya.
Mereposisi Fungsi Menhir dalam Tradisi Megalitik Batak Toba Ketut Wiradnyana
Berkala Arkeologi Sangkhakala Vol 20 No 1 (2017)
Publisher : Balai Arkeologi Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2226.649 KB) | DOI: 10.24832/bas.v20i1.68

Abstract

AbstractThe functions of menhirs are often being connected to medium of worship, burial markers, and guardian of an area/village, or stakes to tether sacrificial animals. Such functions are known to be related to visual aspect or practical functions. Menhirs in Batak Toba culture on Samosir Island, which are called tunggalpanaluan and borotan also have the above functions. Moreover, the cultural items have other functions in relation to the aspect of cosmogony. Hence the aim of this article is to understand the function of tunggalpanaluan and borotan in relation to cosmogony, which were carried out using descriptive-interpretative method, supported by ethnographical data of Batak Toba culture that was compared to similar cultures and functions in other places. The implementation of the method to fulfill the research aim reveals that tunggalpanaluan and borotan also function as a bridge to connect the three levels of environment. AbstrakKerap fungsi menhir itu dikaitkan dengan medium pemujaan, tanda kubur, penjaga area/perkampungan atau tambatan hewan kurban. Fungsi dimaksud diketahui terkait dengan aspek visual atau fungsi yang bersifat praktis. Menhir dalam budaya masyarakat Batak Toba di Pulau Samosir yang disebut dengan tunggal panaluan dan borotan juga memiliki fungsi dimaksud. Kedua benda budaya itu juga memiliki fungsi lainnya yang terkait dengan aspek kosmogoni. Berkenaan dengan itu maka tujuan uraian ini adalah mengtahui fungsi tunggal panaluan dan borotan dalam kaitannya dengan kosmogoni. Hal tersebut dilakukan melalui metode deskriptif-interpretatif yang disertai data etnografi budaya Batak Toba untuk kemudian dibandingkan dengan budaya dan fungsi sejenis di tempat lainnya. Pemanfaatan metode tersebut dalam pencapaian tujuan penelitian menghasilkan fungsi tunggal panaluan dan borotan sebagai jembatan bagi roh untuk menyatukan ketiga tingkatan alam.   
Makna Penguburan Bersama Masa Prasejarah dan Tradisinya di Sumatera Bagian Utara Ketut Wiradnyana
Berkala Arkeologi Sangkhakala Vol 16 No 2 (2013)
Publisher : Balai Arkeologi Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5219.982 KB) | DOI: 10.24832/bas.v16i2.100

Abstract

AbstractLimited prehistoric archaeological data has hampered the interpretation process of a culture. Thus, comparing information in terms of cultural appropriateness, space and time is required. The discovery two of human skeletons in one burial is an example of the need for such comparison act to acquire a preliminary interpretation of the implied meaning of an archaeological discovery. The comparing method is ethnoarchaeology which involves onsite observation of the communal burial procession around Aceh Tengah Regency, namely the cultural territories of Batak Toba, Karo and Nias. The acquired interpretations of the communal burial activities in those cultural areas are what have been understand the same as the one burial chamber of Loyang Ujung Karang site. Cultural evolutions may explain the possible pioneering nature of such burial at Loyang Ujung Karang site as a secondary entombment in North Sumatra.AbstrakKeterbatasan informasi yang dihasilkan dari data arkeologi masa prasejarah menjadikan proses interpretasi sebuah kebudayaan terkendala. Untuk itu diperlukan informasi pembanding baik dalam konteks kesesuaian budaya, ruang dan waktu. Keberadaan dua kerangka manusia di dalam satu liang kubur merupakan salah satu contoh diperlukannya upaya pembanding tersebut. Hal itu akan dapat memberikan gambaran awal makna yang tersirat dari temuan arkeologis dimaksud. Metode pembanding dimaksud yakni etnoarkeologi, yaitu dengan melihat prosesi penguburan bersama di wilayah sekitar Kabupaten Aceh Tengah, yaitu di wilayah budaya Batak Toba, Karo dan wilayah budaya Nias. Makna yang terangkum didalam aktivitas penguburan bersama di ketiga wilayah budaya dimaksud, diinterpretasikan sebagai makna penguburan bersama dalam satu liang kubur di situs Loyang Ujung Karang. Mengingat adanya evolusi kebudayaan maka sangat dimungkinkan perilaku penguburan di situs Loyang Ujung Karang sebagai cikalbakal penguburan sekunder di daerah Sumatera bagian utara.
Pengaruh Kebudayaan Hoabinh dan Austronesia Prasejarah di Dataran Tinggi Tanoh Gayo Ketut Wiradnyana
Berkala Arkeologi Sangkhakala Vol 16 No 1 (2013)
Publisher : Balai Arkeologi Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (736.388 KB) | DOI: 10.24832/bas.v16i1.109

Abstract

Abstract'Tanoh Gayo' is a cultural area of the Gayo ethnic situated at the hghland of the Aceh province. The Tanah Gayo highland possesses an archeological site the Loyang Ujung Karang and Loyang Mendale that keep information of the ancient Hoabinh and Austronesian cultures. Such information that was acquired from an excavation has been learned through various cultural elements whose morphological and technological aspects identified through ethnoarchaeology method. The results show not only the two prehistoric cultures existence in the past but also their continued appearance in the beginning of the coming of Islam in the area.AbstrakTanoh Gayo merupakan wilayah budaya masyarakat etnis Gayo yang terletak di dataran tinggi Provinsi Aceh. Di wilayah ini terdapat situs arkeologis yaitu Loyang Ujung Karang dan Loyang Mendale yang menyimpan informasi dari budaya Hoabinh dan Austronesia prasejarah. Keberadaan informasi tersebut diketahui dari berbagai unsur budaya yang terekam dalam ekskavasi yang selanjutnya diidentifikasi morfologi dan teknologinya serta dilakukan juga metode etnoarkeologi. Hasilnya tidak hanya diketahui kedua budaya prasejarah tersebut tetapi juga diketahui adanya keberlangsungan budaya prasejarah tersebut pada masa-masa awal masuknya Islam di wilayah ini.
FUNGSI DAN MAKNA PATUNG TEHEMBOWO DI SITUS HILIGOWE, KABUPATEN NIAS, BAGI MASYARAKAT PENDUKUNGNYA Ketut Wiradnyana
Berkala Arkeologi Sangkhakala Vol 8 No 17 (2006)
Publisher : Balai Arkeologi Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1490.261 KB) | DOI: 10.24832/bas.v8i17.335

Abstract

Tehembowo is one of the Megalithic statue which be located inHili Gowe Sites. This statue indicated that there was a fondrako,that is a ceremony of the legalization of custom regulation inSisarahili and around the village. Besides that, the statue has adeep meaning and function related to Nias community social life.
MAKNA DALAM GELAR: UPAYA MEMUDAHKAN MEMAHAMI MEGALITIK NIAS Ketut Wiradnyana
Naditira Widya Vol 3 No 2 (2009): Naditira Widya Vol. 3 No.2
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/nw.v3i2.145

Abstract

It is necessary to know physical and non-physical aspect of the megalithic remains at Nias to comprehend its significance. Recognizing Nias’ physical aspects does not directly grasp the essence of its megalithic culture and describe the people who once built the remnants. Therefore, it is necessary to understand its non physical aspect, such as names and titles of nobility of Nias community, because it is important part of their culture and act as symbol of characteristic, kinship, social standing and culture territory. This article discusses the importance of understanding the names and titles or nobility to futher explain the significance of megalithic remains in Nias.
ANALISA GEOKIMIA ENDAPAN PIROKLASTIK DI SITUS LOYANG MENDALE & LOYANG UJUNG KARANG, ACEH TENGAH Lismawaty; Taufiqurrahman Setiawan; Ketut Wiradnyana
Jurnal Sains dan Teknologi ISTP Vol. 22 No. 02 (2025): JANUARI
Publisher : LPPM ISTP

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59637/jsti.v22i2.471

Abstract

Loyang (Gua) Mendale dan Loyang Ujung Karang merupakan situs arkeologi yang berada di Dataran Tinggi Gayo Aceh Tengah dan kedua situs tersebut teridentifikasi pernah menjadi tempat hunian dan tempat penguburan kebudayaan pra sejarah. Stratigrafi kedua siklus terdapat lapisan alamiah diatas lapisan budaya neolitik dan diatas lapisan budaya mesolitik, kedua lapisan alamiah tersebut dianggap sebagai pemutus berlangsungnya budaya/kehidupan di masa neolitik dan mesolitik. Hasil penelitian sebelumnya menunjukan jenis endapan piroklastiknya berufa tuf yang terdiri dari tiga lapisan: lapisan tuf bawah berada diatas lapisan budaya neolitik, lapisan tuf tengah diatas lapisan budaya mesolitik dan lapisan tuf atas berada menerus diatas lapisan tuf tengah. Penelitian lanjutan ini dimaksudkan untuk mendetailkan hasil penelitian sebelum nya dengan analisa geokimia unsur utama batuan (mayor element) batuan melalui metode XRF (X-Ray Fluorance). Tujuan penelitian ini mengetahui siapa (batuan, komposisi) dari endapan alamiah, darimana asal dan bagaimana proses kehadiran lapisan alamiah di dalam kedua loyang atau proses alam apa yang berlangsung sehingga kedua loyang terindikasi dihuni, lalu ditinggalkan dan dihuni kembali. Analisa geokimia dilakukan pada empat sampel : 3 (tiga) sampel dari Loyang Mendale (lapisan bawah-tengah dan atas tuf) dan satu sampel dari Loyang Ujung Karang (lapisan tuf bawah) Analisa hasil geokimia endapan piroklastik menunjukan lapisan tuf bawah Loyang Ujung Karang, lapisan bawah dan tengah loyang Mendale berasal dari magma bersifat dasitik, sedangkan lapisan tuf atas berasal dari magma yang bersifat andesitik. Mineral normatif hasil analisa CIPW (Cross, Iddings, Pirson, and Washington) terdiri dari mineral kuarsa, anortit, albit dan ortoklas (mineral felsik penyusun utama batuan). Perbedaan komposisi mineral dari magma dasitik dan andesitik ditunjukan oleh perbedaan presentasi kehadiran nya. Asal endapan piroklastik tuf dalam loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang diduga berasal dari hasil erupsi/letusan Gunungapi Nama Salah. Hal tersebut didasarkan pada kesamaan jenis magmatik dan lokasi keberadaan Gunung Nama Salah yang berjarak dekat dan berada disisi barat kedua loyang.