Dyah Hidayati
Unknown Affiliation

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Artefak Dalam Konteks Pemanfaatan Gua Sebagai Dapur Gambir di Ngalau Datuk Marajo Ali, Lembah Harau, Sumatera Barat Nenggih Susilowati; Taufiqurrahman Setiawan; Dyah Hidayati; Lucas Partanda Koestoro
Berkala Arkeologi Sangkhakala Vol 19 No 2 (2016)
Publisher : Balai Arkeologi Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1441.957 KB) | DOI: 10.24832/sba.v19i2.30

Abstract

AbstractNgalau (Cave) Datuk Marajo Ali is located at Jorong Koto Nan Gadang, Kenagarian (State) of Pilubang, Harau District, Lima Puluh Kota Regency. Ngalau Datuk Marajo Ali is facing southwest (2100) with an opening of 10 m wide. The depth of its front space is 9.5 m, while behind it is a passage 10 m long with a sloping front slope. The ngalau has wide enough room with low cave roof at the back. The problems are: how are the relations between artifacts, space utility, and the forms of activities that took place at Ngalau Datuk Marajo Ali? How are they compared to the artifacts found at other cave around Harau Valley? The method employed during data collection phase was explorative using inductive reasoning, while the writing method was qualitative-descriptive. In general Ngalau Datuk Marajo Ali has wide enough space without stalactite or stalagmite, and is divided into southwest and northeast sections. The southwest section has lower surface than the northeast section. The rock surface of the northeast section is relatively flat so that it was comfortable to sit or stand there, except in the innermost part. Results of the excavation show that the activities in the southwest section were varied, based on the artifacts, artifactual context, and stratigraphy. It shows that the cave was used several times for different purposes. It is assumed that the activities were related to the Paderi War (1821 – 1838) as a hiding place, a hiding place during Indonesian independence war (before 1945), and gambir processing activities (gambir kitchen) in around 1945sAbstrakNgalau Datuk Marajo Ali terletak di Jorong Koto Nan Gadang, Kenagarian Pilubang, Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota. Ngalau Datuk Marajo Ali menghadap ke baratdaya (2100) dengan lebar pintu gua 10 m dan kedalaman ruangan depan 9,5 m dan dibelakangnya terdapat lorong sedalam 10 m dengan lereng di depannya melandai. Ngalau tersebut memiliki dimensi ruang cukup lebar dengan atap gua rendah pada bagian belakang. Adapun permasalahannya adalah bagaimana kaitan antara artefak, pemanfaatan ruang, serta bentuk aktivitas yang berlangsung di Ngalau Datuk Marajo Ali? Bagaimana perbandingan dengan artefak di ngalau-ngalau lain di sekitar Lembah Harau? Metode yang digunakan dalam pengumpulan data bertipe eksploratif menggunakan alur penalaran induktif. Metode penulisannya adalah kualitatifdeskriptif. Secara umum Ngalau Datuk Marajo Ali memilki ruangan yang cukup lapang, tanpa stalagtit dan stalagmit, terbagi menjadi dua yaitu di baratdaya dan timurlaut. Di bagian baratdaya kondisi permukaannya lebih rendah dibandingkan dengan timurlaut. Permukaan bebatuan di timurlaut relatif rata, sehingga nyaman untuk duduk atau berdiri, kecuali di bagian paling dalam. Hasil ekskavasi menggambarkan bahwa di bagian baratdaya pemanfaatanya cukup beragam berdasarkan analisa terhadap temuan, konteks temuan, dan stratigrafinya. Hasilnya adalah gua ini dimanfaatkan berulang kali untuk kebutuhan yang berbeda. Diperkirakan aktivitas yang berlangsung berkaitan dengan persembunyian pada masa perang Paderi (1821--1838), persembunyian pada masa perang kemerdekaan (sebelum 1945), serta aktivitas pengolahan gambir dengan dapur gambir sekitar tahun 1945 -an.
Potensi Kepurbakalaan di Pulo Aceh Dyah Hidayati
Berkala Arkeologi Sangkhakala Vol 16 No 2 (2013)
Publisher : Balai Arkeologi Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5554.261 KB) | DOI: 10.24832/bas.v16i2.99

Abstract

AbstractPulo Aceh is sub-district in the Regency of Aceh Besar, Aceh Province that consists of groups of islands. In 2002, a survey aimed at inventorying archaeological data in Pulo Aceh was conducted on the two biggest inhabited islands, Nasi and Breuh. The research questions proposed were the potential archaeology and the factors that underlined the varieties of the archaeological remains on the islands of Nasi and Breuh. The research resulted in the discovery of the potentials of Islamic archaeology of cemeteries on the island of Nasi and colonial remains of the Dutch buildings in the island of Breuh. The archaeological differences are concerned with the use of them. The external Breuh Island was used by the Dutch to place their marine navigation surveillance over the Malacca strait and the Weh Island as Sabang free port. The internal Nasi Island was used as a settlement and as the food sustainer to the mainland Aceh.AbstrakPulo Aceh merupakan salah satu wilayah kecamatan di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh yang terdiri dari gugusan pulau. Pada dua pulau terbesar yang berpenghuni yaitu Pulau Nasi dan Pulau Breuh telah dilakukan survei pada tahun 2002. Tujuan penelitian ini adalah untuk menginventarisir data-data arkeologis di Pulau Aceh. Sedangkan permasalahan yang diajukan adalah mengenai bentuk potensi kepurbakalaan di Pulau Nasi dan Pulau Breuh, serta faktor yang melatarbelakangi perbedaan tinggalan-tinggalan arkeologis di Pulau Nasi dan Pulau Breuh. Survei tersebut menghasilkan potensi kepurbakalaan yang bercorak Islam yang berupa tinggalan makam-makam Islam di Pulau Nasi, dan tinggalan-tinggalan bercorak kolonial yang berupa bangunan-bangunan Belanda di Pulau Breuh. Perbedaan tinggalan-tinggalan arkeologis tersebut terkait dengan pemanfaatan kedua pulau tersebut untuk hal yang berbeda. Pulau Breuh yang letak geografisnya berada pada posisi yang lebih di luar dimanfaatkan oleh Belanda untuk membangun infrastruktur kelautan yang terkait dengan sistem pengawasan navigasi khususnya dalam tujuannya untuk mengawasi perairan Selat Malaka dan Pulau Weh sebagai pelabuhan bebas Sabang. Sedangkan Pulau Nasi yang keletakan pulaunya lebih ke dalam lebih dimanfaatkan sebagai permukiman yang ramai dan juga untuk mendukung ketersediaan bahan pangan di Aceh daratan.
Pemaknaan Lasara dalam Mitologi Nias Dyah Hidayati
Berkala Arkeologi Sangkhakala Vol 15 No 1 (2012)
Publisher : Balai Arkeologi Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4855.004 KB) | DOI: 10.24832/bas.v15i1.136

Abstract

AbstractLasara is a mytological object being that is often symbolized in Nias material culture such as osa-osa, sarcofagus, wooden coffin, grave, lasara on village gate, traditional house ornaments, and sword handle. This comparative study-enhanced descriptive-analytical research method is aimed at finding connection between lasara, which is a part of Nias people mythology, and its interpretation through the outlying elements to obtain a complete understanding of lasara. The analysis reveals that in a society where mythology is an innate value, lasara is understood as a symbol of a ride related with religious and social aspects. Lasara is symbolized as a boat used in the migration of Nias people through the sea, as well as a spiritual ride in its religious life.AbstrakLasara merupakan makhluk mistis yang banyak diwujudkan dalam budaya materi di Nias seperti osa-osa, sarkofagus, peti jenazah kayu, bangunan kubur, lasara pada gerbang desa, ornamen rumah adat, dan hulu pedang. Untuk menjawab permasalahan mengenai pemaknaan lasara dalam pemahaman masyarakat Nias digunakan metode deskriptif analitik yang diperkuat oleh studi komparatif yang bertujuan untuk menarik benang merah antara objek yang dikenal sebagai lasara yang menjadi bagian dari mitologi masyarakat Nias dengan pemaknaannya melalui aspek-aspek yang melatarbelakanginya sehingga dapat diperoleh pemahaman yang utuh terhadap salah satu bentuk kebudayaan di daerah Nias tersebut. Dari analisis tersebut dapat terjawab bahwa dalam pemahaman masyarakatnya yang masih sangat terikat oleh mitologi, lasara dimaknai sebagai simbol yang berkaitan dengan struktur sosial serta simbol wahana terkait dengan aspek religi dan sosial. Lasara sebagai wahana dikaitkan dengan bentuk perahu yang berhubungan dengan proses migrasi orang Nias melalui jalur lautan, serta sebagai kendaraan arwah dalam kehidupan religinya.
DAYA DUKUNG LINGKUNGAN UNTUK FUNGSI LINDUNG SITUS GUA BERINGIN DAN GUA CARANO DANAU SINGKARAK, SUMATERA BARAT [THE ENVIRONMENTAL SUPPORTING FUNCTIONS FOR PROTECTION OF BARINGIN AND CARANO CAVE SITES IN THE SINGKARAK LAKE, WEST SUMATERA] Nenggih Susilowati -; Dyah Hidayati; Anik Juli Dwi Astuti; Teguh Hidayat; Dodi Chandra
Kindai Etam : Jurnal Penelitian Arkeologi Vol. 7 No. 2 (2021): KINDAI ETAM VOLUME 7 NOMOR 2 TAHUN 2021
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/ke.v7i2.105

Abstract

Lingkungan merupakan faktor penting bagi kehidupan di masa lalu hingga kini yang memiliki potensi sebagai sumber penghidupan manusia, seperti sumber air dan makanan. Manusia memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap lingkungannya, dengan mengeksploitasi lingkungan dan menciptakan teknologi yang selaras dengan kebudayaannya. Adapun permasalahan yang akan dibahas pertama, bagaimana gambaran daya dukung lingkungan untuk fungsi lindung bagi keberlangsungan situs Gua Carano dan Gua Beringin di sekitar Danau Singkarak. Kedua, bagaimana nilai penting situs bagi penelitian dan pelestarian. Kemudian tujuannya adalah mengetahui daya dukung lingkungan untuk fungsi lindung bagi keberlangsungan situs Gua Carano dan Gua Beringin di sekitar Danau Singkarak. Selain itu bertujuan untuk mengetahui nilai penting situs bagi penelitian dan pelestarian. Metode yang diterapkan adalah kualitatif menggunakan alur penalaran induktif. Hipotesisnya adalah lingkungan mempengaruhi budaya yang berkembang pada situs tersebut di masa lalu,dan perubahan yang terjadi di sekitarnya akan mempengaruhi situsnya. Kemudian guna mempertajam analisis daya dukung lingkungan untuk fungsi lindung dilakukan analisa terhadap data primer dan data sekunder melalui peta. Keberadaan Gua Beringin dan Gua Carano di tepian Danau Singkarak memiliki nilai sejarah yang cukup tinggi sejak masa prasejarah. Nilai penting dari sisi pendidikan dan ilmu pengetahuan meliputi teknologi pembuatan gerabah dan aktivitas kemaritiman di lingkungan danau sebagai bagian dari pelajaran muatan lokal, maupun menjadi objek penelitian bagi disiplin ilmu lain selain arkeologi. Nilai penting bagi kebudayaan berkaitan dengan strategi adaptasi dan subsistensi terhadap sumber daya alam di lingkungan danau. Environment is important for human livelihood, such as a source of water and food. Humans have a good ability to adapt by exploiting the environment and creating technology which is in harmony with their culture. The problems in this study are how is environment carrying capacity for protection the sustainability of Carano and Beringin Caves around Singkarak Lake, and how important are the caves. The method applied was qualitative using inductive reasoning flow. The analysis of both primary and secondary data was carried out through maps. The result showed that these caves have a fairly high historical value since prehistoric times. The important values in terms of education and science include technology for making pottery and maritime activities as part of local content lessons, as well as being an object of research for disciplines other than archeology. The Important values of culture are related to adaptation and subsistence strategies for natural resources.
Huta Ginjang Dolok Site: An Indication Of The Early Residence Sisingamangaraja Dynasty At Lake Toba Based Ecological Considerations SIMATUPANG, DEFRI ELIAS; Dyah Hidayati; Lolita Refani Lumban Tobing
PURBAWIDYA Vol. 13 No. 2 (2024): Vol. 13 (2) November 2024
Publisher : Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55981/purbawidya.2024.5790

Abstract

Valleys and hills in Bakara, Humbang Hasundutan Regency, are the origins of the Sisingamangara Dynasty (the hereditary king for most of the Toba Batak ethnic community). The purpose of this study is to describe the implementation of the early Batak ethnic dwellings that thought of defense against enemy attacks while protecting the resources and environment of the area. This study uses a qualitative approach that uses data from archaeological excavations, observations, and interviews at one of the object locations in Bakara, namely Huta Ginjang Dolok. The results of the research description indicate that the location of Huta Ginjang Dolok has indeed proven to be one of the examples of early settlements in the Lake Toba area, which has several functions, including social functions related to traces of former settlements in locations located on hillsides. The ecological function is related to the abundance of clean mountain springs. The cultural function is related to the finding of human and livestock bones in archaeological excavations carried out during the research, and the economic function is related to the discovery of foreign currency, also found in the excavation activities during field activities.