This Author published in this journals
All Journal JOGED
Hendy Hardiawan
Program Pascasarjana, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, Indonesia

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : JOGED

ENCEH: KARYA TARI SEBAGAI EKSPRESI UPACARA RITUAL DI MAKAM RAJA-RAJA IMOGIRI Hendy Hardiawan
Joged Vol 13, No 2 (2019): OKTOBER 2019
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (609.953 KB) | DOI: 10.24821/joged.v13i2.3602

Abstract

Karya tari yang berjudul Encèh terinspirasi dari nama upacara ritual yang ada di Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri yaitu Nguras Encèh. Karya ini bercerita tentang latar belakang dan proses upacara Nguras Enceh, yang diawali dari awal ritual sampai akhir upacara Nguras Encèh. Upacara ini diadakan setiap bulan Sura. Nguras Encèh merupakan simbolisasi pembersihan diri dari segala sesuatu yang buruk dalam diri manusia. Dalam hal ini sesuatu yang buruk digambarkan oleh sosok Bethara Kala. Air Encèh dipercaya bertuah dan berguna untuk membersihkan “hati” yang diselimuti iri, dengki, benci, murka dan berbagai emosi negatif. Lebih dari itu air dari Encèh dipercaya mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit.The title of the dance is Encèh. This title is taken from a ritual ceremony in the Grave of Mataram Kings at Imogiri, named Nguras Encèh. The dance tells the story of the ceremony from the very beginning of the background and the process itself. The ceremony is held every Sura month (Sura is a Javanese month). Nguras Encèh symbolized the purification from anything bad from human soul. In this dance, the bad thing conceived by Bathara Kala. The water from the Encèh believed as a cure for the heart with any negative emotions such as jealousy, hatred, and anger or wrath. Indeed, the water of the Encèh believed can cure any diseases.
KONSEP DWI TUNGGAL DALAM PROSES PENCIPTAAN BEKSAN MANUNGGAL JATI: SINTESIS GERAK TARI GAYA KERATON YOGYAKARTA DAN PURO PAKUALAMAN Hardiawan, Hendy
Joged Vol 24, No 1 (2025): APRIL 2025
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v24i1.15209

Abstract

RINGKASANTulisan ini bertujuan untuk memaparkan proses penciptaan Beksan Manunggal Jati dengan konsep Dwi Tunggal. Dalam karya ini, konsep Dwi Tunggal dimaksudkan sebagai percampuran dua gaya tari yaitu Kraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman. Fokus pembahasannya terletak pada sintesis gerak tari gaya Kraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman. Harapannya penciptaan karya tari ini mampu meningkatkan eksistensi dan memberikan kontribusi praktis dalam aspek pendidikan dan kebudayaan. Penelitian ini menggunakan metode Alma Hawkins yang terdiri dari eksplorasi, improvisasi, dan pembentukan atau komposisi. Beksan Manunggal Jati memiliki konsep Dwi Tunggal yang berarti menyatunya Kraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman yang menjadi satu, penyatuan ini merujuk pada elemen pertunjukannya, dalam hal ini pada elemen sintesis gerak tari. Dalam penyajiannya beksan ini mengadaptasi konsep bedhayan yang memiliki tiga struktur yaitu, majeng beksa, inti beksa, mundur beksa. Pola ruang dalam beksan ini menggunakan pola ruang pendopo yang berpengaruh terhadap pola lantai secara keseluruhan serta pembagian struktur gerak. Dalam penyajiannya Beksan ini memegang erat prinsip Joged Mataram yaitu greget, sengguh, nyawiji, dan ora mingkuh.ABSTRACTThis research aims to present the process of creating Beksan Manunggal Jati with the concept of Dwi Tunggal. In this work, the concept of Dwi Tunggal refers to the fusion of two dance styles, namely Kraton Yogyakarta and Puro Pakualaman. The focus of the discussion lies in the synthesis of the dance movements from the Kraton Yogyakarta and Puro Pakualaman styles. It is hoped that the creation of this dance work will enhance it’s existence and contribute practically to the fields of education and culture. This research used Alma Hawkins method, which includes exploration, improvisation, and formation or composition. Beksan Manunggal Jati has a Dwi Tunggal concept, meaning the unification of Kraton Yogyakarta and Puro Pakualaman into one entity. This unification refers to the elements of it’s performance, particularly the synthesis of it’s dance movements. In it’s presentation, this beksan adapts the concept of bedhayan, which consists of three structures: majeng beksa, inti beksa, and mundur beksa. The spatial pattern in this beksan follows a pendopo floor pattern, which influences the floor patterns and the division of the movement structure. In it’s presentation, this Beksan firmly adheres to the principles of Joged Mataram, namely greget, sengguh, nyawiji, and ora mingkuh.