Aris Wahyudi
Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search
Journal : Wayang Nusantara: Journal of Puppetry

Bima-Drona dalam Lakon Dewa Ruci sebagai Vayu-Vata, Transformasi Prana dalam Pertunjukan Wayang Aris Wahyudi
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 4, No 2 (2020): September 2020
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v4i2.5172

Abstract

AbstrackRelationship of Bima and Drona in Dewa Ruci story is unique. Eventhough Drona puts Bima into danger, Bima chooses Drona as a teacher. It is because Bima has not obtained a very good spiritual knowledge about life yet since a hero is supposed to have high spiritual qualities and good prayers. The wayang tradition describes Bima as a cruel hero who is not religious, and Drona does not have good brahman qualifications, either. This leads to an assumption that their relationship must be important and meaningful. The question is what does the relationship between Bima-Drona mean, namely Bima as the learner who becomes the recipient of spiritual knowledge of welfare and Drona as his teacher? With structural mythological analysis, it can be concluded that the relationshp between Bima-Drona is an identification of Vãyu-Vãta as the transformation of prana in the Syiwapuja rituals. AbstrakBima dan Drona dalam cerita Dewa Ruci adalah hubungan yang unik. Meski Drona menjerumuskan Bima, namun Bima memilih Drona sebagai guru. Apalagi hal yang berhubungan dengan pengetahuan spiritual yang sangat baik tentang kehidupan, di mana dapat ditemukan oleh pahlawan yang memiliki kualitas spiritual yang tinggi, doa yang baik, tetapi Bima belum. Tradisi wayang memaparkan bahwa Bima adalah pahlawan yang kejam, tidak berkarakter religius dan Drona belum memiliki kualifikasi brahmana yang baik. Fenomena itu memunculkan asumsi bahwa hubungan tersebut pasti bermakna. Pertanyaannya adalah apa arti Bima-Drona, yaitu Bima sebagai penerima pengetahuan spiritual tentang kesejahteraan dan Drona sebagai gurunya? Dengan analisis mitologi struktural dapat disimpulkan bahwa Bima-Drona adalah identifikasi Vãyu-Vãta sebagai transformasi prãna dalam upacara ritual Syiwapuja.
Resepsi dan Tanggapan Ki Timbul Hadiprayitno atas Gugurnya Dasamuka dalam Lakon Banjaran Sinta Setyoko Setyoko; Aris Wahyudi
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 4, No 2 (2020): September 2020
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v4i2.4952

Abstract

AbstractKi Timbul Hadiprayitno’s sanggit (a way of storytelling in wayang perfomance based on particular dalang’s/puppet master’s interpretation) regarding the death of Prabu Dasamuka in his play of Banjaran Sinta is an interesting phenomenon. There are several characters and events that are not common in conventional puppetry traditions in general, especially in Ngayogyakarta puppetry tradition. Ki Timbul himself has said that some of the events and characters in the play originated from the comic by Kosasih. Thus, it can be said that there has been a transformation of the Kosasih text into the performance form by Ki Timbul Hadiprayitno. The question is: How does Ki Timbul Hadiprayitno respond to the Kosasih text through his new sanggit? The process of the transformation here can be traced by comparing the texts of Ki Timbul Hadiprayitno and Kosasih in order to examine their similarities and differences. The comparison of both texts is very important to show the origin of source text which becomes the basis for the creation of the new text in Ki Timbul Hadiprayitno’s sanggit. By this comparison, the causes of differences and changes of text and sanggit can be revealed. Furthermore, it can show that Kosasih’s text has influenced Ki Timbul Hadiprayitno’s play. There have been changes, both additions and subtractions. However, Ki Timbul Hadiprayitno still pays attention to and maintains the intertextuality of wayang plays intact. AbstrakSanggit Ki Timbul Hadiprayitno mengenai gugurnya Prabu Dasamuka dalam lakon Banjaran Sinta, merupakan fenomena yang menarik. Di sana dijumpai beberapa tokoh dan peristiwa yang tidak lazim dalam tradisi pedalangan konvensional pada umumnya, terlebih tradisi pedalangan Ngayogyakarta. Ki Timbul sendiri mengatakan bahwa beberapa peristiwa dan tokoh dalam lakon tersebut bersumber dari komik karya Kosasih. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa telah terjadi transformasi teks Kosasih ke dalam bentuk pertunjukan Ki Timbul Hadiprayitno. Yang menjadi pertanyaan adalah: Bagaimana cara Ki Timbul Hadiprayitno menanggapi teks Kosasih melalui sanggit barunya? Proses terjadinya transformasi di sini dilacak dengan cara mempersandingkan teks Ki Timbul Hadiprayitno dan Kosasih dalam rangka mencermati persamaan dan perbedaannya. Persandingan demikian sangat penting untuk menunjukkan sumber teks yang dijadikan dasar penciptaan teks baru dalam sanggit Ki Timbul Hadiprayitno. Dari sini kemudian dilacak tentang penyebab perbedaan dan perubahan yang terjadi. Melalui strategi di atas diperoleh pemahaman bahwa teks Kosasih menjadi bahan perubahan pada teks lakon yang telah dimiliki Ki Timbul Hadiprayitno sebelumnya. Namun dalam perpaduan tersebut telah terjadi perubahan, baik penambahan maupun pengurangan. Namun demikian Ki Timbul Hadiprayitno masih memperhatikan dan mempertahankan intertekstual lakon wayang secara utuh.
Lakon Karna Tandhing: Konsep Pergantian Musim dalam Pemujaan Syiwa Aris Wahyudi
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 3, No 2 (2019): September 2019
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v3i2.3148

Abstract

Arjuna, Indra’s son stands at his war car. General uniform was used making heroic, his left hand hold a bow, and right hand to balance arrow; in the other side Kurawa’s army, Prabu Karna, the Surya’s son, the commander to play his bow too. When bang of war drum to fill the sky, the both army toward central of Kuruksetra field. The millionarrows flaying in the sky like cloudy that closed the sun, and after their hundreds army to yell out dating, afterward the Kuruksetra field flood blood. Suddenly Karna’s arrow kicks Arjuna’s head. At once surprised who show it. Deities yell congratulation praying. Some minutes the war stop. Arjuna’s crown destroyed. Narada descends from the sky give crown to Arjuna that it is exactly with Karna’s have. The both hero collide again. Now, Arjuna likes Karna. Arjuna.s angry make increasingly. He get Pasopati arrow. Arjuna lift his bow. Another one who is look when Arjuna frees his arrow, suddenly Karna’s head cut off. Kurawa’s Hero, Surya’s son was dead. This story, in the wayang world it was called Lakon Karno Tandhing. There were can to get some problems. When Arjuna’s crown destroyed, Narada prepare a crown to Arjuna. I assume that deity knew that would happen. The question is “Why the crown was prepared similarly Karna have, so it is called Karna Tandhing? I am sure that the composer had a meaning ofit. Mythology-ritual analysis shows that this happen is continuity of deity level. All of the hero experiences always involve deity activities. Javanese philosopher composed this story to explain cosmic system that uses symbol systems Lakon Karna Tandhing.Arjuna, putra Indra berdiri megah di atas kereta perangnya. Pakaian kebesaran seorang senapati semakin menambah keperkasaannya. Kedua tangannya mengayun gendewa lengkap dengan busurnya. Di pihak lain, Prabu Karna, putra Surya melakukan hal yang sama saat memimpin pasukan Kurawa. Begitu genderang perang bertalu-talu memenuhi angkasa, kedua pihak berhambur ke medan Kuruksetra, saling menyerbu. Ribuan pasukan saling bertempur dan tidak sedikit yang gugur. Tiba-tiba anak panah Karna menghantam kepala Arjuna hingga mahkotanya hancur. Semua yang menyaksikan sangat terkejut, termasuk pula para dewa dewi di angkasa. Narada segera turun ke dunia, memberikan mahkota yang mirip dengan yang dikenakan Karna yang membuat Arjuna mirip dengan Karna. Kedua perwira tersebut kembali bertempur, seakan-akan Karna melawan Karna. Arjuna melepaskan panah pasopati dan tepat memenggal leher Karna. Karna gugur dengan kepala terlempar dan tubuhnya bersandar di kereta perangnya. Kisah ini dalam tradisi  pedalangan disebut lakon Karna Tandhing. Dari persoalan tersebut, pertanyaannya adalah: mengapa mahkota yang diberikan Narada tersebut mirip dengan milik Karna? Melalui analisis mitologi-ritual diperoleh pemahaman bahwa peristiwa tersebut merupakan kontinuitas dari peristiwa di tataran mite. Semua peristiwa yang dialami para tokoh epic selalu melibatkan campur tangan tokoh mite. Lakon Karna Tandhing merupakan pengejawantahan peristiwa kosmis yang menjelaskan perpindahan musim kemarau (Karna sebagai putra Surya) berganti dengan musin penghujan (Arjuna sebagai putra Indra). Kesemuanya diatur oleh Syiwa sebagai mahakala yang disimbolkan melaluiArjuna bermahkotakan “Karna”.