Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Menggagas Pelembagaan Constitutional Question Melalui Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Undang-Undang Chalid, Hamid; Yaqin, Arief Ainul
Jurnal Konstitusi Vol 16, No 2 (2019)
Publisher : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (433.295 KB) | DOI: 10.31078/jk1628

Abstract

Tulisan ini membahas tentang gagasan pelembagaan constitutional question (pertanyaan konstitusional) di Indonesia melalui perluasan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa lembaga constitutional question itu dapat ditempatkan sebagai bagian dari kewenangan pengujian konstitusional yang telah dimiliki Mahkamah Konstitusi berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Selain itu hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa terdapat kebutuhan atau urgensi, baik dari segi teori maupun praktek untuk melembagakan mekanisme constitutional question di Mahkamah Konstitusi. Oleh sebab itu pada bagian akhir penelitian ini dikemukakan suatu kesimpulan dan rekomendasi bahwa lembaga constitutional question ini sangat perlu dan sangat prospektif untuk segera diterapkan di Indonesia. Caranya cukup dengan melakukan perubahan terhadap undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi dengan mengatur dan memasukan mekanisme constitutional question ini ke dalam undang-undang yang dimaksud, tanpa harus mengadakan perubahan terhadap UUD 1945. This study will discuss the concept of constitutional question institutionalization in Indonesia by expanding the Constitutional Court’s constitutional review authority against the Constitution. The research shows that the constitutional question can be placed as part of the Constitutional Court’s constitutional review method based on Article 24C (1) 1945 Constitution. Moreover, the research also shows that there is a need or urgency, in both theory and practice, to institutionalize the constitutional question mechanism in the Constitutional Court. Therefore, this research concludes that the constitutional question is inevitable, and that is recommended to be immediately adopted in Indonesia. One of the possible methods to implement the mechanism is through the Constitutional Court law revision, which includes the constitutional question mechanism, without amending the Constitution. 
Karakteristik Judicial Order dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan Amar Tidak Dapat Diterima Hamid Chalid; Arief Ainul Yaqin
Jurnal Konstitusi Vol 16, No 4 (2019)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (505.738 KB) | DOI: 10.31078/jk16410

Abstract

Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dengan amar tidak dapat diterima atau niet ontvankelijke verklaard (NO) pada umumnya tidak memiliki pertimbangan hukum. Akan tetapi dalam perkembangannya MK memberikan pertimbangan hukum baik mengenai pokok perkara dan kedudukan hukum Pemohon. Penelitian ini hendak menjawab dua permasalahan yaitu; apa urgensi adanya pertimbangan hukum yang mengandung judicial order dalam putusan dengan amar tidak dapat diterima? Kemudian bagaimana karakteristik judicial order dalam putusan dengan amar tidak dapat diterima? Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan metode pengumpulan data melalui studi pustaka. Penelitian ini mengelompokkan putusan yang memiliki amar NO dari tahun 2003 sampai dengan 2018 yang berjumlah 375 putusan. Dari jumlah tersebut, putusan NO yang memiliki pertimbangan hukum sebanyak 71 putusan. Penelitian ini menemukan 3 putusan yang didalam pertimbangan hukumnya terdapat judicial order yakni Putusan 105/PUU-XIV/2016, Putusan 57/PUU-XV/2017, dan Putusan 98/PUU-XVI/2018. Simpulan dari penelitian ini adalah putusan dengan amar Tidak Dapat Diterima yang memuat judicial order selalu berkaitan dengan implementasi putusan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. MK menegaskan kembali sifat final dan binding Putusan MK serta sifat putusan MK yang declatoir konstitutif melalui putusan a quo. Karakteristik judicial order dalam ketiga a quo adalah ketika MK memberikan peringatan konstitusional secara bertahap (gradual). Pada Putusan 105/PUU-XIV/2016 MK menegaskan bahwa pengabaian putusan MK merupakan perbuatan melawan hukum, selanjutnya pada putusan 57/PUU-XV/2017 MK tegaskan sifat putusan yang self executing dan yang paling mendasar adalah pada putusan 98/PUU-XVI/2018 yang menyatakan bahwa lembaga atau masyarakat yang tidak menjalankan putusan MK merupakan pembangkangan terhadap konstitusi. Lahirnya pertimbangan tersebut sebagai ikhtiar menegakkan supremasi konstitusi dan marwah Mahkamah Konstitusi.Decisions of the Constitutional Court in judicial review of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (1945 Constitution) with an unacceptable verdict or niet ontvankelijke verklaard (NO) generally do not have legal considerations. However, in its development the Court gave legal considerations both on the subject matter and legal position of the Petitioner. This research wants to answer why is the Constitutional Court gives judgment (judicial order) to the case with the unacceptable verdict? What are the legal consequences of legal considerations in the unacceptable verdict on compliance with the Constitutional Court's decision? This research is a normative legal research with data collection method through literature study. This study grouped the decisions that had NO verdicts from 2003 to 2018 totaling 375 decisions. From all of those, NO verdicts that have legal considerations are 71. This study found 3 decisions that have judicial orders in their legal considerations namely Decision 105/PUU-XIV/2016, Decision 57/PUU-XV/2017, and Decision 98/PUU-XVI/2018. The conclusion of this research is that an unacceptable verdict that contains a judicial order is always related to the implementation of a decision that does not work as it should. The Court reaffirmed the final and binding character of the Constitutional Court's decision as well as the character of the Constitutional Court's decision which declared constitutive through a quo decision. The characteristic of judicial order in the three a quo is when the Constitutional Court gives a gradual constitutional warning. In Decision 105/PUU-XIV/2016 the Constitutional Court confirmed that the disregard for the Constitutional Court's decision was an act against the law, then in the decision 57/PUU-XV/2017 the Constitutional Court affirmed the character of the decision that was self-executing and the most basic was the decision 98/PUU-XVI/2018 which states that an institution or community that does not carry out the Constitutional Court's decision is a defiance of the constitution. The birth of these considerations is as an effort to uphold the supremacy of the constitution and the spirit of the Constitutional Court. 
Kewenangan Otorita Ibu Kota Nusantara dalam Memberikan Persetujuan untuk Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang Dibuat oleh Notaris Muhammad Adrian Rizaldi; Hamid Chalid
UNES Law Review Vol. 6 No. 2 (2023): UNES LAW REVIEW (Desember 2023)
Publisher : LPPM Universitas Ekasakti Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/unesrev.v6i2.1236

Abstract

Pemerintah telah menetapkan pemindahan Ibukota Indonesia dan menetapkan nama Ibukota yang baru menjadi Ibukota Nusantara sebagaimana tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibukota Negara. Pemerintah juga membentuk Otorita Ibukota Nusantara sebagai lembaga yang berwenang untuk menjalankan pemerintahan daerah di kawasan Ibukota Nusantara. Di dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2022 tentang Perolehan Tanah dan Pengelolaan Pertanahan di Ibu Kota Nusantara, Otorita Ibukota Nusantara diberikan kewenangan untuk mengendalikan pengalihan hak atas tanah yang berada di kawasan Ibukota Nusantara. Salah satu metode pengendalian yang dimaksud adalah dengan mewajibkan Notaris untuk mendapat persetujuan sebelum membuat akta perjanjian pengikatan jual beli. Namun, hingga saat ini, tidak ada ketentuan secara khusus yang mengatur bagaimana pemberian persetujuan oleh Otorita Ibukota Nusantara kepada Notaris.Terlebih lagi, akta perjanjian pengikatan jual beli bukan merupakan alat bukti pengalihan hak atas tanah karena belum memenuhi asas tunai dan terang. Selain itu, ketentuan saat ini juga tidak mengatur akibat hukum apabila Notaris membuat akta perjanjian pengikatan jual beli tanpa persetujuan Otorita Ibukota Nusantara. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan ketentuan mengenai pemberian persetujuan akta perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat oleh Notaris untuk mewujudkan asas kepastian hukum.
STUDI TENTANG HUKUM AIR DAN PROBLEMATIKA PEMENUHAN HAK ASASI MANUSIA ATAS AIR DI INDONESIA Chalid, Hamid
Jurnal Hukum & Pembangunan
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This research discusses the study on water law and the problematic of fulfillment of human rights to water in Indonesia. The focus of this research is to address the rights in accessing and obtaining water, as an essential prerequisite of human’s livelihood. This research also considers a case to describe the protection of the human right to water actualized in Indonesians daily life. The outcome of this research shows that there are dire problems and challenges in fulfilling human rights to water in Indonesia. Especially when faced with the global agenda of liberalizing and privatizing water, which often contradicts with the idea and efforts to protect human rights to water